Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengapa Anda Takut Asing dan Aseng?

19 Juli 2019   13:46 Diperbarui: 19 Juli 2019   14:13 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, terpantau dari media sosial,menyeruak ketakutan berkelebihan (fobia) di kalangan segelintir masyarakat Indonesia terhadap dominasi 'asing' (Amerika) dan 'aseng' (China) terhadap kedaulatan bangsa Indonesia.

Ketakutan ini sedemikian akutnya, sehingga bisa dibilang sudah mengarah kepada fobia. Hal ini semakin terasa ketika bertepatan dengan momen PILPRES untuk menentukan pemimpin bangsa. Di media sosial dan di warung kopi bertebaran komentar-komentar warganet yang 'menuduh' kandidat tertentu pro aseng dan asing. Tentu semua tuduhan ini tidak selalu berdasarkan fakta/data, tetapi lebih bersifat propaganda dan agitatif karena juga 'digosok' dan 'digoreng' oleh para elit yang memiliki kepentingan politis/ekonomis tertentu di Indonesia.

Terhadap semua fenomena tersebut, tentu publik yang kritis dan reflektif bertanya-tanya: apa penyebabnya?

Ada banyak faktor pemicu fobia masyarakat terhadap dominasi asing dan aseng. Salah satunya yang saya amati dan ulas di sini adalah secara filosofis sosiologis.

Secara filosofis, ketakutan terhadap dominasi asing/aseng hanyalah ungkapan lumrah dari reaksi spontan/kejutan atas globalisasi. Globalisasi yang melipat dunia menjadi selebar layar android/komputer meruntuhlan semua batas-batas teritorial tradisional. Semua kebudayaan dan nilai saling terhubung dan bertarung di jagad maya.

Ada dua reaksi yang bisa saja muncul di kalangan masyarakat. 

Pertama, beradaptasi dengan semua hal melalui proses seleksi dan tetap menunjukkan identitas/jati diri/kedaulatan sendiri karena memandang globalisasi merupakan sebuah keniscayaan yang takterhindarkan. 

Kedua, menutup diri karena merasa diri inferior atau gagap untuk beradaptasi dengan hal-hal baru/asing/aseng. Ini yang disebut dengan 'jurus siput' alias bersembunyi di dalam cangkang nan nyaman karena merasa diserang. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh segelintir masyarakat Indonesia yang fobia terhadap asing dan aseng. 

Sejarah dunia membuktikan bahwa, reksi defensif bangsa untuk menutup diri dari pengaruh globalisasi adalah kenaifan belaka dan tidak akan bertahan lama.

Karena itu, sikap adatif dan optimis adalah sikap yang tepat untuk dipegang kaum milenial. 

Di zaman teknologi informasi ini, kaum milenial perlu belajar dari sikap Presiden Jokowi yang terus mengobarkan optimisme bahwa bangsa Indonesia dengan kekayaan budayanya tidak perlu merasa malu/inferior alias 'kutu kupret' dalam pergaulan internasional/antarbangsa/anatarbudaya. Sebab hanya mereka yang adaptif yang akan tetap eksis dalam dunia yang terus berubah.

Salam optimis bersama Presiden Jokowi. Bersama Jokowi-Amin, yang optimis dan adaptif bangsa ini akan maju tanpa harus kehilangan kedaulatannya sebagai negara bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun