[caption id="attachment_245029" align="aligncenter" width="400" caption="Illustrasi (shutterstock.com)"][/caption]
Penghargaan yang akan diterima Presiden SBY sangat boleh jadi merupakan sebuah momentum untuk membantah soroton dunia internasional terkait peningkatan kekerasan atas nama agama di Indonesia yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa sorotan yang terjadi sejak 2012-2013. Karena itu, penghargaan ini bagaikan "buah simalakama" bagi Presiden SBY.
PBB
Akhir Mei 2012, Indonesia menjadi sorotan dalam sidang Kelompok Kerja Universal Periodic Review Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Di dalam pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, dicecar pertanyaan seputar meningkatnya penyerangan atas gereja dan kelompok minoritas (Disini). Pada November 2012, Kepala Komisi Tinggi HAM PBB, Navi Pillay mengutuk kekerasan atas nama agama di Indonesia (Disini).
HRW (Human Right Watch)
Pada Februari 2013, HRW menerbitkan dokumen penelitian terkait bentuk-bentuk kekerasan atas nama agama setebal 109 halaman, berjudul Atas Nama Agama:Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia (Silahkan Download pada link tersebut). Di dalam dokumen ini diakui bahwa Indonesia memang sedang bergerak mantap menuju penguatan demokrasi dan penghargaan HAM. Namun, HRW juga mengkritisi kepemimpinan Presiden SBY yang kurang tegas terhadap aneka bentuk kekerasan atas nama agama. Presiden SBY dikatakan inkonsisten dalam membela kebebasan beragama. Karena itu, HRW merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah SBY:
- Tak berkompromi dengan premanisme agama. Tiap kekerasan terhadap minoritas harus dipidanakan.
- Langkah-langkah tegas terhadap para pejabat daerah yang tak menghormati putusan pengadilan soal kebebasan beragama, termasuk pembangunan rumah ibadah.
- Satuan tugas dan Presiden Yudhoyono harus bekerja untuk memastikan bahwa contempt of court (tindakan menghina peradilan) dipakai sebagai pijakan untuk menskors para pejabat daerah bila aturan baru soal pemerintahan daerah dirancang, dan mendesak parlemen menciptakan undang-undang soal contempt of court.
- Mengevaluasi peraturan dan keputusan terkait agama, guna mengidentifikasi pasal-pasal yang merintangi kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani, disertai tenggat waktu untuk merevisi atau mencabut pasal-pasal itu.
- Mengembangkan capaian nasional dalam prinsip-prinsip kebebasan beragama dan toleransi beragama, termasuk program pendidikan yang dikembangkan melalui media dan sekolah, serta kebijakan dan tanggapan lebih tegas pada hasutan kekerasan terhadap minoritas agama, termasuk mendudukkan persoalan itu dengan jelas saat kebebasan berekspresi menjadi hasutan untuk kekerasan.
Secara khusus, HRW merekomendasikan kepada Presiden SBY untuk:
- Memerintahkan polisi untuk tegas terhadap aksi-aksi kekerasan agama, memusatkan pada para pelaku kekerasan, bukannya korban kekerasan, dengan hukuman pidana para pelaku itu sepadan dengan beratnya kejahatan.
- Mengambil tindakan disipliner terhadap semua pejabat pemerintah, termasuk menteri agama, yang bikin pernyataan atau terlibat tindakan yang mempromosikan diskriminasi atau memaklumkan kekerasan agama.
- Menggunakan kekuasaan Presiden, termasuk kendali alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada pemerintah daerah, untuk memberi sanksi bagi para pejabat daerah yang menentang putusan pengadilan.
DEPLU AS
Tiga hari lalu Deplu As mempublikasikan soal peningkatan intoleransi hidup beragama di Indonesia dan mengatakan bahwa pemerintahan SBY dianggap gagal melindungi hak-hak kaum minoritas. Kekerasan atas nama agama meningkat dikarenakan kurang adanya political will dari penguasa untuk menegakan supremasi hukum terhadap para pelaku kekerasan atas nama agama (Religious Freedom In Indonesia).
Di tengah-tengah sorotan dan tekanan dunia internasional terkait peningkatan bentuk-bentuk kekerasan atas nama agama yang disebut sebagai salah satu bentuk tindakan intoleransi yang terkait dengan lemahnya pemerintahan Presiden SBY dalam usaha menegakan supremasi hukum, Â sebuah lembaga internasional bernama The Appeal of Conscience Foundation (ACF) yang sama-sama berkedudukan di Amerika malah menilai sebaliknya. Presiden SBY dinilai mampu menciptakan kondisi postif bagi terbentuknya iklim toleransi antarumat beragama di Indonesia. Sehingga SBY dianggap telah berhasil selama masa kepemimpinannya dalam mewujudkan iklim toleransi yang positif bagi setiap pemeluk agama di Indonesia.
Dari situ tampak bahwa di tengah sorotan dan tekanan dunia internasional terkait peningkatan kekerasan atas nama agama di Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden SBY, malah ada satu lembaga independen yang menilai sebaliknya.
Tentu saja hal ini akan menjadi sebuah "sensasi tersendiri" bagi publik internasional ketika Presiden SBY benar-benar mau menerima penghargaan tersebut.
Atau bisa jadi ketika Presiden SBY melalui kurir istana menyatakan akan tetap menerima penghargaan tersebut, bagi pihak istana, kesempatan ini merupakan sebuah momentum bagi Presiden SBY untuk menepis pendapat dunia internasional selama ini seperti yang diungkapkan oleh PBB dan HRW. Dengan menerima penghargaan ini seolah-olah mau mengatakan bahwa laporan HRW dan sorotan PBB tidak benar. Buktinya, Presiden SBY malah mendapatkan penghargaan yang melemahkan hasil penelitian HRW dan soroton PBB.
Namun, akan menjadi buah Simalakama bagi Presiden SBY: Jika World Statesman Award ditolak berarti membenarkan sorotan dunia internasional di atas, jika diterima tetap juga akan ditertawakan publik internasional. Maju kena, mundur kena.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H