Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

78 Persen Wilayah Pemekaran Gagal, DPR Masih Mau Tambah 5 Lagi

25 Oktober 2012   02:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:25 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Indonesia merdeka sampai dengan saat ini, sangat dirasakan bahwa pembangunan di Indonesia sangat tidak berimbang untuk semua propinsi, wilayah dan pulau. Konsep pembangunan yang diakibatkan oleh tata pengelolaan negara yang sentralistik menjadikan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) dirasakan seolah-olah dianatirikan. Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera menjadi maju pesat dalam banyak hal sementara pulau-pulau lain harus tertatih-tatih untuk membenahi diri. Bahkan fakta real jika orang melakukan perjalanan dari arah Barat menuju ke Timur dari negeri ini, akan sangat terasa nuansa perbedaannya: makin ke wilayah Timur dari negeri ini makin terasa kesan keterbelakangannya dibandingan wilayah-wilayah Barat negeri ini. Pembangunan yang tidak seimbang oleh sentralisasi kekuasaan disinyalir sebagai salah satu faktor munculnya ketimpangan ini selain bahwa dari sejarahnya, sejak masa penjajahan pulau-pulau di wilayah Barat negeri ini memang telah diperlengkapi dengan infrastruktur yang baik.

Karena itu, tuntutan akan adanya desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah mulai terasa kian menguat terutama dari wilayah-wilayah yang selama ini merasa dianatirikan dalam pembangunan oleh pemerintah pusat. Dalam kerangka mengakomodir kerinduan masyarakat arus bawah inilah maka mulai ditetapkan Undang-undang yang mengatur otonomi daerah sembari tetap mengacu pada UUD 1945 pasal 18, yakni: UU No. 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2003.

Berdasarkan Undang-undang ini, Otonomi daerah kemudian dipahami sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Adapun yang menjadi tujuan utama dari diberlakukannya Otonomi Daerah tidak lain merupakan upaya untuk menjawab konteks yang melatarbelakangi semakin kuatnya tuntutan untuk Otonomi Daerah yakni: 1) demi peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik; b) Untuk pengembangan kehidupan demokrasi; c) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; d) demi pemerataan pembangunan; e) untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI;  f) guna mendorong untuk pemberdayaan masyarakat sehingga menjadi subjek pembangunan dan bukan dijadikan objek pembangunan; g) demi menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Hal ini berarti bahwa untuk menjadi otonom semua daerah harus memenuhi syarat yang dituntut dalam pasal 5 UU di atas yakni: Administratif, yang mana harus disetujui oleh DPRD dan Gubernur untuk tingkat propinsi, sedangkan untuk kabupaten/kota meliputi persetujuan DPD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota; Teknik yang terdiri dari berbagai macam faktor: kemampuan ekonomi, potensi daerah; social budaya, Social politik, kependudukan, luas daerah, Pertahanan, dan keamanan; fisik yang meliputi paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, paling sedikit 4 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, serta paling sedikit 4 kecamatan untuk pembentukan kota.

Mungkin saja DPR RI Komisi II merasa bahwa lima daerah yang diajukan sudah memenuhi syarat-syarat yang dimaksud, sehinga dalam Raker yang berlangsung Senin (22/10) ditetapkan sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) yakni: Provinsi Kaltara, Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), Kabupaten Manokwari Selatan (Papua Barat), Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua Barat), dan Kabupaten Pesisir Barat (Lampung) (Bisa dibaca di Kominfo).

Keputusan baru dari Komisi II DPR ini dirasakan syarat kepentingan apalagi hasil lobi karena tidak memperhatikan data yang dikemukan oleh Kemendagri. Menurut Kemendagri 78 % wilayah pemekaran gagal. Adapun yang menjadi dasar utama kegagalan ini menurut pemerintah adalah otonomi daerah seolah menjadi "ajang untuk membagi-bagi kue kekuasaan oleh oknum-oknum tertentu." Hal ini didukung oleh evalusi yang dilakukan Kemendagri atas 57 dari 205 daerah pemekaran yang baru muncul mulai periode 2000-2011 dimana tingkat kegagalannya mencapai 78 % (Wawancara Perwakilan Kemendagri dengan RRI).

Pertanyaannya adalah jika prosentase kegagalan wilayah-wilayah yang baru dimekarkan masih sangat tinggi, mengapa harus disetujui wilayah pemekaran baru? Yang ada saja belum berhasil, lalu menetapkan yang baru. Seharusnya pemerintah berkonsentrasi terlebih dahulu mengawasi, memotivasi, dan mendukung upaya-upaya peningkatan kinerja dari wilayah-wilayah pemekaran yang sudah ada. Usulan-usulan wilayah pemekaran lainnya dipending dulu.

Akan tetapi, palu sudah dibunyikan. Wilayah yang  dimekarkan kini semakin bertambah 5 yang berarti juga menambah alokasi APBN untuk wilayah-wilayah tersebut. Sementara APBN yang dialokan pusat selama ini ke wilayah-wilayah pemekaran baru TIDAK UNTUK KEPENTINGAN MASYARAKAT TETAPI LEBIH BANYAK DIGUNAKAN UNTUK BELANJA PEGAWAI DAN PEMBANGUNAN GEDUNG.

Sejauh mana kelima wilayah baru yang dimekarkan dapat memanfaatkan APBN yang dialokasikan pusat untuk kepentingan masyarakat di daerahnya? Jangan sampai jatuh lagi dalam hal yang sama yakni sekedar membangun gedung-gedung baru/fasilitas pemerintahan dan belanja pegawai. Untuk para penguasa baru di 5 wilayah yang baru dimekarkan "jangan menjadi raja-raja kecil di daerah anda." Pemekaran wilayah bukan berarti berbagi kue kekuasaan bagi anda-anda yang dipercaya rakyat memimpin di daerah anda masing-masing!



HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun