Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Film G/30/S PKI telah Berhasil Menanam Kebencian di Hatiku

30 September 2012   13:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:27 1840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13490126941688202653

[caption id="attachment_201826" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi (indonesiarayanews.com)"][/caption]

Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, malam ini merupakan malam yang paling dinantikan oleh anak-anak dan orang tua di desa kami. Mengapa? Malam ini adalah malam wajib nonton di rumah-rumah yang telah memiliki fasilitas Televisi Hitam Putih. TV berwarna belum ada. Yang mempunyai TV Hitam Putih hanya bisa dihitung dengan jari. Mereka yang telah memiliki TV pun hanya menggunakan elemen kering merek GS yang selalu dicas di kota agar bisa menikmati tontonan. Walhasil hampir tiap malam, rumah-rumah yang memiliki TV Hitam Putih di kampungku selalu dipadati pengunjung. Yang paling padat pengunjung biasanya malam ini. Mengapa? Karena guru-guru selalu merekomendasikan anak-anak di sekolah untuk menonton Film G 30 S PKI.

Menariknya, meskipun film ini selalu diputar setiap tahun pada tanggal dan bulan yang sama, orang sekampung, termasuk saya tidak pernah bosan untuk menonton. Karena itu, jam seperti ini saya biasanya sudah di rumah Kepala Sekolah, satu-satunya pemilik TV di gang kami. Lebih cepat, lebih baik jika ingin mendapat tempat di gelaran tikar di ruang TV pemilik rumah.

Biasanya selama film berlangsung di satu-satunya stasiun yang bisa dijangkau, TVRI, mata semua penonton tersedot ke layar kaca. Tidak peduli layarnya berukuran kecil dan gambarnya berpasir lantaran ada gangguan cuaca.

Sejauh yang saya alami, amati, dan rasakan pada saat itu adalah suasana kian mencekam ketika memasuki detik-detik penangkapan, penganiayaan dan pembunuhan para Jendral. Banyak yang menitikkan air mata. Terdengar juga umpatan dan cacian kepada Untung dan kawan-kawan. Tidak ketinggalan para Gerwani dicaci maki beramai-ramai. Itulah puncak dari film tersebut dan ternyata pesannya kesampaian. Menanamkan kebencian abadi kepada PKI dan antek-anteknya di hati masyarakat kecil sampai ke desa-desa. PKI telah menyimpan trauma di anak-anak generasi Orde Baru oleh klimaks yang ditampilkan film karya Arifin C. Noor. Bahkan Presiden Soekarno, Sang Proklamator dibenci oleh pemirsa yang menonton tayangan itu. Cacian pun diberikan kepadanya. Kepahlawanan Soekarno seolah-olah dipetikemaskan melalui tayangan tersebut.

Suasana klimaks ini kemudian akan menjadi tenang kembali karena hati pemirsa perlahan-lahan seperti disiram es oleh tindakan cekatan dan penuh Heroisme dari tokoh Suharto. Ia tampil sebagai pahlawan yang diam-diam mencuri hati seluruh penduduk desa. Ia dipuji, disanjung, dan diberikan jempol secara beramai-ramai seolah-olah ia sedang berada di depan mata seluruh pemirsa yang sedang menonton adegan penyelamatan negara dan Pancasila. Yah, antiklimaks film tersebut memang berhasil mendudukan Soeharto sebagai dewa penyelamat tegaknya kesatuan NKRI dari rongrongan PKI. Soeharto memang telah terlanjur menjadi pahlawan di hati anak-anak generasi Orde Baru di kampung-kampung di seluruh pelosok tanah air yang menyaksikan film G/30/S/PKI.

Yah, sejarah memang ditentukan oleh kekuasaan. Sejarah tidak pernah murni. Karena terkadang kuasa menentukkan tuturan sejarah. Rezim Orde baru adalah simbol sejarah ditentukan serta dikendalikan kekuasaan. Mereka menguasai media, dan media menampilkan sejarah versi penguasa yang lebih merasuk ke hati rakyat. Rakyat tidak diberi ruang untuk mengkritisi sejarah yang mungkin saja dibengkokkan oleh kekuasaan. Rakyat hanya menikmati saja produk sejarah yang terberi tanpa menunjukkan sikap kritis karena rakyatpun tidak diberi ruang untuk mencari informasi alernatif tentang sejarah versi penguasa.

Akan tetapi, yang namanya kebenaran sejarah tidak akan pernah mati. Ia akan selalu mencari saluran penyingkapan dirinya. Proses alitea atau kenyataan sejarah yang menyingkapkan dirinya sendiri kepada publik akan terus mencari cara pengungkapannya. Perlahan-lahan tabir kebenaran sejarah mulai dibuka, meski masih tersisa banyak misteri, yang entah kapan semuanya akan menjadi terang-benderang. Namun di hati generasi Orba yang kritis mulai tumbuh kesadaran untuk meragukan kebenaran sejarah versi penguasa ORBA yang berhasil disosialisasikan secara masif melalui film yang ditanyangkan TVRI.

Secara pribadi, minimal saya tidak lagi melihat PKI sebagai momok menakutkan saat ini. Saya tidak lagi ikut mencaci maki Presiden Soekarno. Kepahlawanannya telah kembali merebut hatiku menggantikan sosok kepahlawanan Presiden Soeharto. Minimal saya tidak lagi latah mencaci maki para Gerwani, Letkol Untung dan kawan-kawannya. Kejahatan mereka seolah telah merasuk dan menumbuhkan kebencian bawah sadarku hingga masa Reformasi. Di masa kini, saya mulai belajar bahwa sejarah tidak pernah hitam-putih, terang-benderang. Sejarah terkadang abu-abu. Waktu akan menyingkapkan semuanya menjadi terang-benderang.

Selamat Merayakan Hari Kesaktian Pancasila

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun