Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keluarga Adalah Kondom Utama

21 Juni 2012   17:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_183926" align="aligncenter" width="510" caption="Ilustrasi (dewarahayu.wordpress.com)"][/caption]

Hari-hari ini, jagad kompasiana ramai membahas Menteri Kesehatan yang baru terpilih yang mencanangkan penanggulangan HIV/AIDS pada situasi emergensi di negeri beragama ini dengan KONDOM. Kondom=karet sintetis yang membalut alat kelamin pria selama permaian ranjang nan sederhana, namun cukup sexy menjadi topik hangat jagad Kompasiana. Banyak opini muncul dan berkembang yang disertai penilaian, evaluasi, krtikan, bahkan hujatan baik dalam tulisan maupun komentar. Ada yang mengatakan bahwa kebijakan Ibu Menkes ini pragmatis, mengambil jalan pintas, dan seperti kehilangan akal dan daya untuk menanggulangi HIV/AIDS. Bahkan ada yang mengatakan solusi ini dangkal dan tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya yaitu "habitus sex bebas" yang menggejala di Indonesia.

Tidak sedikit yang menggugat kadar iman dan moralitas dari Ibu Menkes yang beraninya menawarkan pembagian kondom sebagai solusi. Yah, namanya sebuah kebijakan yang baru digagas dan dilemparkan ke publik tentulah akan menuai berbagai tanggapan. Tanggapannya tidak bisa diharapkan seragam dengan jawaban "setuju" dari masyarakat, karena isi kepala dan isi hati jutaan warga Indonesia beragam. Pro dan kontra dalam tanggapan itu hal yang lumrah, wajar, dalam iklim demokrasi seperti ini. Tentu dengan melemparkan ide ke publik seperti itu, Ibu Menkes juga mengharapkan feed back dari seluruh elemen masyarakat. Dinamika tanggapanya sudah mulai terasa dan menghangat khususnya di jagad kompasiana ini.

Tawaran Ibu Menkes yang baru merupakan "sebuah terobosan kontroversial" di dalam iklim, budaya, dan tradisi yang masih kental dengan rasa malu, risi, dan mementingkan "rasa" ala orang Timur (Antroplogis Timur). Bagi dunia barat yang rasional-praktis-pragmatis, tentulah apa yang disampaikan oleh Ibu Menkes, sejauh sebagai kebijakan negara dalam tupoksinya sebagai menteri kesehatan akan disambut sedikit baik. Karena dunia barat katanya, relatif lebih mudah menerima ini.

Untuk konteks Indonesia, apa yang ditawarkan Ibu Menkes perlu waktu untuk bisa dipahami sungguh, diterima dengan hati jernih, dan ditindaklanjuti. Prosentase perealisasian idenya ini mungkin akan tertatih-tatih mengingat bahwa kultur keindonesiaan kita belum siap dengan terobosan progresif seperti ini. Padahal yang dimaksudkannya adalah tindakan kuratif serentak preventif bagi yang "sudah terlanjur."

Meskipun katanya kita negara beragama, berketuhanan yang mahaesa, menganut kultur ketimuran yang kuat mengedepankan "rasa malu," toh masyarakat kita "tidak malu-malu" untuk mengumbar hawa nafsunya secara sembarangan. Karena itu, AIDS yang biasanya diplesetkan para dokter "Akibat Itunya Dipakai Sembarangan" dan HIV yang berarti "Hemangnya I Vikirin"  dengan Dikau Tuhan dan Moralitas Puritan-Mu, justru semakin menunjukan angka signifikan kenaikan di negeri beragama dan bermoral teguh ini.

Pertanyaan mencuat, darimana kita harus memulai memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Indonesia yang kian mengganas ini menurut data yang tercatat di KEMENKES?

Pertama, sebagai tindakan kuratif sekaligus preventif, sah-sah saja jika para punggawa kesehatan negeri ini melemparkan ide dan mewujudkannya dengan sosialiasi HIV/AIDS. Namun, persoalan ini jangan sampai membuat negara campur tangan terlalu dalam pada hak-hak privat setiap warga negara untuk menerima atau menolak jika hal itu bertentangan dengan keyakinan dan moral yang dianutnya. Intinya, lakukanlah tanpa paksaan/intimidasi. Dan saya pikir tidak mungkin akan terjadi intimidasi di negara yang kian menguat iklim demokrasinya ini, yang saking menguatnya semenjak reformasi malah jadinya bablas.....eits....menyimpang...kembali ke topik!

Kedua, keluarga sebagai sel terkecil masyarakat, agama, dan negara  harus diperkuat. Jangan tunggu pendidikan nilai-nilai moral dan proses internalisasi nilai-nilai itu di sekolah, mesjid, gereja, atau oleh petugas kesehatan. Batinkanlah nilai-nilai itu sebagai filter bagi anak-anak kita masing-masing mulai dari dalam rumah kita sendiri. Didiklah anak untuk bisa menjadikan nilai-nilai moral/etika atau agama agar nilai-nilai itu menjadi nilai mereka sendiri. Kalau batin mereka kropos, maka ketika mereka keluar pintu rumah anda, apakah mereka harus terpaksa disangui kondom? Pendidikan nilai yang kuat sampai pada internalisasi yang sungguh akan membuat batin kita sebagai orang tua akan aman ketika anak-anak kita melangkah ke dunia luar yang jauh dari pengawasan kita. Dunia luar di sini termasuk dunia HP, Internet, Radio, Televisi yang mereka tonton di dalam kamar, di dalam rumah kita sendiri. Karena itu, pentinglah pendidikan seks dan nilai-nilai moral/iman/etika, sejak dari dalam keluarga sambil menyesuaikannya dengan umur dan daya tangkap mereka. Back to Home ini yang utama! Tugas negara dan punggawa kesehatan tidak bisa mengambil alih apa yang menjadi tugas orang tua dan anggota keluarga!

Bagi saya lembaga dan lingkungan di luar rumah, entah sekolah, kampus, mesjid, gereja, wihara, dll, hanyalah melanjutkan, memperkuat dasar pendidikan nilai yang sudah dimulai dari dalam keluarga sendiri. Karena itu, jangan pernah membiarkan anak-anak kita yang lucu bertumbuh dalam kekosongan cinta, kehausan perhatian, dan kehampaan nilai-nilai kehidupan. Curahi mereka bukan dengan emas, permata, mobil mewah, hp super canggih (materi), melainkan cinta, ketulusan, dan kasih sayang. Anak yang bertumbuh dalam suasana kasih suci di dalam rumah tangga yang dilihatnya dengan mata, dirasakannya dengan hati dari keteladanan orang tuanya tidak akan kehausan kasih sayang dan mencari kasih sayang palsu di luar rumah melalui jarum suntik, pria tidak benar, wanita penggoda, dll. Teladan kasih sayang dan kesetiaan keluarga (bukan kondom!) adalah benteng pertama dan utama serta menjadi senjata pamungkas pencegahan laju perkembangan HIV/AIDS di negeri ini.

Angka HIV/AIDS meningkat bagi saya merupakan indikator lemahnya penghayatan kasih sayang, kesetiaan, dan cinta yang tulus keluarga-keluarga di Indonesia. Keluarga yang rapuh menghasilkan generasi muda yang rapuh dan menjadi sampah bagi negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun