Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tidak Tahu Adat Sama Dengan Biadab?

15 Juni 2012   02:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13397259962044085643

[caption id="attachment_182666" align="aligncenter" width="590" caption="Ilustrasi Perjumpaan Aneka Budaya (laut dan karang) & Membentuk Arsiran (Dok.Pribadi)"][/caption]

Pada suatu kesempatan seorang mahasiswa pulang libur ke kampung halamannya. Ketika sedang asyik menikmati liburan, salah seorang paman, adik ibunya meninggal dunia. Menurut tradisi kebudayaan setempat yang menganut sistem matrilineal (mengacu pada garis keturunan ibu), pihak keluarga yang sedang berduka harus menyambangi seluruh anggota keluarga besar entah karena sedarah atau karena hubungan  tali perkawinan.

Dari sebab itu, keluarga ini menentukan siapa saja yang akan menjadi utusan keluarga yang harus menyambangi setiap rumah keluarga besar untuk membawa berita duka secara lisan. Sang Mahasiswa ini juga didaulat menjadi seorang utusan untuk menyampaikan pesan ke semua anggota keluarga garis keturunan ibunya yang tidak sedikit jumlahnya serta tersebar di berbagai kampung/daerah. Merasa lelah menyambangi rumah-rumah keluarga, akhirnya ia mengambil keputusan untuk melawan tradisi dengan mengirimkan sms berantai ke seluruh anggota keluarga besar ibunya yang tersebar di berbagai tempat. Walhasil, keluarga besar ibunya tersinggung berat, merasa tidak dihargai. Ada yang datang, tetapi lebih banyak yang tidak datang melayat dan mengikuti upacara adat kematian menurut tradisi setempat.

Setelah hari penguburan Sang Paman, seluruh keluarga besar berkumpul untuk membicarakan upacara kenduri (neku-dalam istilah budaya setempat) sebagai bentuk penghormatan puncak bagi orang yang sudah meninggal karena kesepuhan dan ketokohannya. Pada kesempatan itu, terbongkarlah unek-unek di hati keluarga besar ibunya karena merasa tidak dihargai oleh keponakan almarhum yang memberitahu mereka hanya melalui sms. Mendengar semuanya itu ayahnya langsung memarahi anaknya yang telah menjadi mahasiswa tersebut.

"Dasar anak tidak tahu adat! Apa gunanya kamu disekolahkan? Kamu disekolahkan agar lebih mempertajam mata hatimu untuk memahami sungguh tradisimu dengan lebih baik, bukan untuk merusak warisan tradisimu yang telah berlangsung lama." Anaknya tidak menerima begitu saja kata-kata ayahnya.

"Pertama-tama, saya meminta maaf kepada seluruh keluarga besar karena mungkin saja cara saya telah melukai perasaan seluruh keluarga besar terutama dari pihak mama."

Kedua, saya tetap dan akan selalu mencintai budaya/tradisi kita. Namun, saya hidup dan dibesarkan dalam zaman yang telah berubah. Saya juga tahu bahwa yang namanya kebudayaan itu ada isi dan bungkusnya. Isinya itu menyangkut nilai-nilai kehidupan yang hendak diwariskan kepada generasi muda. Sedangkan bungkusnya itu lebih terkait dengan cara atau bentuk pengungkapan terhadap nilai-nilai itu. Dulu nenek moyang kita belum kenal telpon dan HP. Hidup mereka pun kebanyakan berkosentrasi di beberapa kampung yang terdekat dan jarang yang merantau ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu, untuk mengukapkan nilai penghargaan terhadap seluruh keluarga besar, seorang utusan akan dikirim menyampaikan berita apa pun juga termasuk berita duka."

"Akan tetapi, kita sudah hidup di zaman yang berbeda. Karena transportasi, pendidikan yang kian memadai serta beragamnya pekerjaan, keluarga besar kita mulai tersebar di mana-mana. Kita juga memiliki telepon dan HP yang bisa memudahkan kita untuk berkomunikasi satu sama lain. Pertanyaan saya kepada ayah adalah: apakah salah jika saya menggunakan HP untuk mengirim sms kepada seluruh keluarga besar ibu? Saya tetap menghargai mereka, karena itu saya tetap berusaha memberitahu seluruh anggota keluarga besar ibu perihal kematian paman dengan cara atau dalam bentuk sms."

Setelah hening selama beberapa waktu, ayahnya angkat bicara.

"Untuk saat ini, masyarakat kita belum siap menerima cara seperti yang kamu lakukan. Buktinya, sebagian besar anggota keluarga kita dari pihak mama-mu tersinggung berat dan tidak datang."

Tidak puas dengan jawaban ayahnya, anaknya terus ngotot.

"Kapan kita semua menjadi siap berubah, jika tidak ada yang mulai mendobrak tradisi yang tidak efektif dan efisien seperti itu? Apa yang saya lakukan terlepas itu kontroversial bagi segenap anggota keluarga besar untuk saat itu hendak mau mengatakan bahwa nanti perlahan-lahan semuanya akan berubah."

Semua anggota keluarga marah besar dengan jawaban kritis anak ini dan sebagaimana biasanya palu otoritas diketok dan ia difatwa sebagai anak tidak tahu adat oleh seluruh anggota keluarga besar yang hadir pada kesempatan itu sampai dengan hari ini.

Sekelumit kisah di atas merupakan fenomena gamangnya sebagian besar masyarakat kita dalam memasuki perubahan zaman yang semakin cepat. Hal ini bisa dimengerti karena masyarakat kita terutama masyarakat adat yang tersebar di berbagai belahan bumi nusantara ini mengalami perubahan zaman secara tidak bertahap. Mengapa saya katakan demikian?

Karena konektivitas via tower telkomsel dan indosat yang tersebar di mana-mana, antena parabola yang bisa dibeli dengan harga yang mudah dijangkau, perjumpaan dengan nilai-nilai serta bentuk ungkapan kebudayaan dari tempat lain semakin dipermudah. Dari segi kesiapan, saya harus katakan bahwa kebanyakan masyarakat kita yang pernah saya jumpai terutama di pedalaman-pedalaman belum sungguh-sungguh siap.

Menurut pengamatan saya, sekurang-kurangnya ada dua sikap/reaksi yang seringkali muncul di tengah masyarakat pedesaan/pedalaman/masyarakat adat terkait kemajuan zaman. Pertama, bersikap defensif dalam arti menolak segala bentuk perubahan yang dibawa masuk oleh agen-agen perubahan. Sikap defensif ini nyata dalam keluarga besar dari sang mahasiswa dalam kisah kecil di atas. Di sini, umumnya mereka akan membangun "gheto" atau bunker bawah tanah untuk membentengi diri dari segala bentuk "kemajuan" zaman. Ada yang masih bertahan dan berhasil sampai sejauh ini tetapi tidak banyak. Mungkin yang masih berhasil dengan sikap ini adalah masyarakat adat Suku Badui Dalam. Saya pun berharap mereka akan bertahan dengan kearifan lokal seperti itu sampai kapan pun.

Sikap ekstrim kedua yang saya amati adalah sikap permisif tanpa penegasan jati diri kultural. Sikap ini tampak dalam reaksi ikut arus kemajuan tanpa upaya filterisasi yang memadai. Sikap inilah yang bagi saya telah mendominasi sebagian besar masyarakat kita di daerah pedesaan atau pedalaman, terutama dari kalangan generasi muda. Banyak nilai-nilai kearifan lokal yang dikotaksampahkan alias dikangkangi dan dikorbankan demi sebuah julukan "generasi up to date", gaul, gokil, dan refresh. Apakah up to date-nya ini sungguh-sungguh mendalam? Atakah hanya sisi kulitnya saja? Ketika tata krama, kesantunan, kesopanan, nilai kekeluargaan, kegotongroyongan justru kian dilunturkan oleh sikap individualisme ekstrim yang dibatinkan perlahan-lahan melalui pergaulan lintas batas budaya dari media komunikasi. Sikap inilah yang bagi saya secara pribadi sangat menguatirkan.

Lalu bagaimana sikap yang sepantasnya menghadapi gempuran kemajuan zaman yang agak sulit dibendung oleh aneka pranata tradisional ini?

Jadilah manusia Lintas Budaya! Bagaimana caranya? Manusia lintas budaya adalah manusia yang memiliki kesadaran dan kepedulian budaya, yaitu kemampuan berempati terhadap kebudayaan lain. Identitas dan loyalitasnya melampaui kebudayaan-kebudayaan khusus. Secara intelektual dan emosional komitmentnya adalah kesatuan mendasar umat manusia, namun serentak mengakui dan menghargai perbedaan-perbedaan mendasar antara orang-orang yang berbeda budaya. Ia tidak akan menindas perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, ia mengakui dan menghargai hal yang bernilai dan berarti dalam kebudayaan lain. Ia mencoba memahami apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dipercaya orang-orang dari kebudayaan lain. Di tengah situasi dunia yang rentan terhadap kesalahpahaman yang menjadi pemicu konflik dan benturan antarbudaya, manusia lintas batas dapat menjadi penengah dan jembatan berdasarkan keluasan pengertian intelektual dan kepedulian etis serta kearifan sikapnya.

Kesadaran budaya membantu orang untuk melepaskan diri dari hal-hal lahiriah kebudayaannya, sementara meninggalkan kebudayaannya dan beralih ke kebudayaan lain, lalu kembali lagi dengan lebih bebas dengan kebudayaannya sendiri. Melepaskan diri dari hal-hal yang menjadi bagian identitas dalam kebudayaan lama memasukan orang dalam tiga konteks: konteks budaya sendiri (budaya pertama), konteks budaya lain (budaya kedua), dan konteks kebudayaan ketiga yang menjadi wilayah arsiran antara kebudayaan sendiri dan kebudayaan lain. Perspektif budaya ketiga ini membuat manusia lintas batas budaya akan mudah berelasi secara tulus dengan manusia-manusia dari kebudayaan lain dan mampu menafsirkan dan mengatasi benturan dan konflik budaya.

Melepaskan diri dari satu perspektif monokultural seringkali menyakitkan bila tidak disertai "penemuan kembali" identitas baik dalam kebudayaan asli maupun kebudayaan baru. Perspektif kebudayan ketiga hanya dimungkinkan oleh sintesis nilai-nilai budaya yang diperoleh melalui identifikasi diri kembali dengan atau penempatan diri kembali dalam kedua kebudayaan tersebut. Kebijaksanaan ini diperoleh tidak tanpa sikap kasih. Hanya bila saling mengasihi keunikan orang lain dan menghargai kebenaran yang diyakini oleh masih-masing budaya dan menjadikan kebenaran mereka kebenaran kita juga, kita akan menjadi manusia baru, yang terbentuk dari sintesa kedua kebudayaan.

Kebijaksanaan ini mengandung resiko bahwa apa yang kita yakini benar hanya merupakan sebuah prasangka. Perjumpaan dengan orang lain dari aneka budaya menuntut manusia lintas budaya untuk menangguhkan prasangka-prasangkanya sendiri. Tujuannya untuk mencari dan menemukan titik konvergensi atau kaitan logis-kodrati yang ada dalam pernyataan tentang makna yang diajukan orang lain. Di sini tersirat sebuah undangan untuk menemukan koherensi, perpaduan, atau kaitan logis, kodrati di mana kebenaran ideal bisa dijumpai dan menyingkapkan dirinya untuk dicintai dan dirangkul dengan hangat. Hal ini menyitir kata-kata filsuf postmodern, Gadamer, kita harus bersedia mengakui bahwa orang lain juga benar dan kerelaan mengakui kelebihannya.

Salam Bingung dan Mumet dah!

Sumber Bacaan:

Huntington, Samuel P.,2001,  Benturan Antarperadaban.Yogyakarta:Penerbit Qalam.

Adeney, Bernard T., 2000, Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

Gadamer, Hans-Georg., 1979, "The Problem of Historical Consciouness," dalam Robinow, Paul and Sullivan, Willian (eds.), Interpretative Social Science. Berkeley: California University Press.

Muliana, Deddy, dan Rakhmat, Jalaludin (eds.)., 1998, Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun