Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tidak Tahu Adat Sama Dengan Biadab?

15 Juni 2012   02:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13397259962044085643

"Kapan kita semua menjadi siap berubah, jika tidak ada yang mulai mendobrak tradisi yang tidak efektif dan efisien seperti itu? Apa yang saya lakukan terlepas itu kontroversial bagi segenap anggota keluarga besar untuk saat itu hendak mau mengatakan bahwa nanti perlahan-lahan semuanya akan berubah."

Semua anggota keluarga marah besar dengan jawaban kritis anak ini dan sebagaimana biasanya palu otoritas diketok dan ia difatwa sebagai anak tidak tahu adat oleh seluruh anggota keluarga besar yang hadir pada kesempatan itu sampai dengan hari ini.

Sekelumit kisah di atas merupakan fenomena gamangnya sebagian besar masyarakat kita dalam memasuki perubahan zaman yang semakin cepat. Hal ini bisa dimengerti karena masyarakat kita terutama masyarakat adat yang tersebar di berbagai belahan bumi nusantara ini mengalami perubahan zaman secara tidak bertahap. Mengapa saya katakan demikian?

Karena konektivitas via tower telkomsel dan indosat yang tersebar di mana-mana, antena parabola yang bisa dibeli dengan harga yang mudah dijangkau, perjumpaan dengan nilai-nilai serta bentuk ungkapan kebudayaan dari tempat lain semakin dipermudah. Dari segi kesiapan, saya harus katakan bahwa kebanyakan masyarakat kita yang pernah saya jumpai terutama di pedalaman-pedalaman belum sungguh-sungguh siap.

Menurut pengamatan saya, sekurang-kurangnya ada dua sikap/reaksi yang seringkali muncul di tengah masyarakat pedesaan/pedalaman/masyarakat adat terkait kemajuan zaman. Pertama, bersikap defensif dalam arti menolak segala bentuk perubahan yang dibawa masuk oleh agen-agen perubahan. Sikap defensif ini nyata dalam keluarga besar dari sang mahasiswa dalam kisah kecil di atas. Di sini, umumnya mereka akan membangun "gheto" atau bunker bawah tanah untuk membentengi diri dari segala bentuk "kemajuan" zaman. Ada yang masih bertahan dan berhasil sampai sejauh ini tetapi tidak banyak. Mungkin yang masih berhasil dengan sikap ini adalah masyarakat adat Suku Badui Dalam. Saya pun berharap mereka akan bertahan dengan kearifan lokal seperti itu sampai kapan pun.

Sikap ekstrim kedua yang saya amati adalah sikap permisif tanpa penegasan jati diri kultural. Sikap ini tampak dalam reaksi ikut arus kemajuan tanpa upaya filterisasi yang memadai. Sikap inilah yang bagi saya telah mendominasi sebagian besar masyarakat kita di daerah pedesaan atau pedalaman, terutama dari kalangan generasi muda. Banyak nilai-nilai kearifan lokal yang dikotaksampahkan alias dikangkangi dan dikorbankan demi sebuah julukan "generasi up to date", gaul, gokil, dan refresh. Apakah up to date-nya ini sungguh-sungguh mendalam? Atakah hanya sisi kulitnya saja? Ketika tata krama, kesantunan, kesopanan, nilai kekeluargaan, kegotongroyongan justru kian dilunturkan oleh sikap individualisme ekstrim yang dibatinkan perlahan-lahan melalui pergaulan lintas batas budaya dari media komunikasi. Sikap inilah yang bagi saya secara pribadi sangat menguatirkan.

Lalu bagaimana sikap yang sepantasnya menghadapi gempuran kemajuan zaman yang agak sulit dibendung oleh aneka pranata tradisional ini?

Jadilah manusia Lintas Budaya! Bagaimana caranya? Manusia lintas budaya adalah manusia yang memiliki kesadaran dan kepedulian budaya, yaitu kemampuan berempati terhadap kebudayaan lain. Identitas dan loyalitasnya melampaui kebudayaan-kebudayaan khusus. Secara intelektual dan emosional komitmentnya adalah kesatuan mendasar umat manusia, namun serentak mengakui dan menghargai perbedaan-perbedaan mendasar antara orang-orang yang berbeda budaya. Ia tidak akan menindas perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, ia mengakui dan menghargai hal yang bernilai dan berarti dalam kebudayaan lain. Ia mencoba memahami apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dipercaya orang-orang dari kebudayaan lain. Di tengah situasi dunia yang rentan terhadap kesalahpahaman yang menjadi pemicu konflik dan benturan antarbudaya, manusia lintas batas dapat menjadi penengah dan jembatan berdasarkan keluasan pengertian intelektual dan kepedulian etis serta kearifan sikapnya.

Kesadaran budaya membantu orang untuk melepaskan diri dari hal-hal lahiriah kebudayaannya, sementara meninggalkan kebudayaannya dan beralih ke kebudayaan lain, lalu kembali lagi dengan lebih bebas dengan kebudayaannya sendiri. Melepaskan diri dari hal-hal yang menjadi bagian identitas dalam kebudayaan lama memasukan orang dalam tiga konteks: konteks budaya sendiri (budaya pertama), konteks budaya lain (budaya kedua), dan konteks kebudayaan ketiga yang menjadi wilayah arsiran antara kebudayaan sendiri dan kebudayaan lain. Perspektif budaya ketiga ini membuat manusia lintas batas budaya akan mudah berelasi secara tulus dengan manusia-manusia dari kebudayaan lain dan mampu menafsirkan dan mengatasi benturan dan konflik budaya.

Melepaskan diri dari satu perspektif monokultural seringkali menyakitkan bila tidak disertai "penemuan kembali" identitas baik dalam kebudayaan asli maupun kebudayaan baru. Perspektif kebudayan ketiga hanya dimungkinkan oleh sintesis nilai-nilai budaya yang diperoleh melalui identifikasi diri kembali dengan atau penempatan diri kembali dalam kedua kebudayaan tersebut. Kebijaksanaan ini diperoleh tidak tanpa sikap kasih. Hanya bila saling mengasihi keunikan orang lain dan menghargai kebenaran yang diyakini oleh masih-masing budaya dan menjadikan kebenaran mereka kebenaran kita juga, kita akan menjadi manusia baru, yang terbentuk dari sintesa kedua kebudayaan.

Kebijaksanaan ini mengandung resiko bahwa apa yang kita yakini benar hanya merupakan sebuah prasangka. Perjumpaan dengan orang lain dari aneka budaya menuntut manusia lintas budaya untuk menangguhkan prasangka-prasangkanya sendiri. Tujuannya untuk mencari dan menemukan titik konvergensi atau kaitan logis-kodrati yang ada dalam pernyataan tentang makna yang diajukan orang lain. Di sini tersirat sebuah undangan untuk menemukan koherensi, perpaduan, atau kaitan logis, kodrati di mana kebenaran ideal bisa dijumpai dan menyingkapkan dirinya untuk dicintai dan dirangkul dengan hangat. Hal ini menyitir kata-kata filsuf postmodern, Gadamer, kita harus bersedia mengakui bahwa orang lain juga benar dan kerelaan mengakui kelebihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun