Dari sebab itu, tidaklah mengherankan jika banyak petani Manggarai sangat bergembira ketika tiba musim memanen kopi seperti saat ini. Mereka begitu antusias memanennya karena harus berebutan dengan luwak atau Musang dan tikus-tikus nakal. Biasanya kopi yang telah memerah (unggul) dan telah menguning (Kolumbia) akan dipetik dari pohonnya. Pada pagi hari, seluruh anggota keluarga akan berangkat menuju kebun kopi yang umumnya jauh dari perkampungan untuk memanen kopi yang telah matang. Biji-biji kopi segar ini akan dikumpulkan dalam sebuah wadah yang mudah dijinjing berupa berek (anyaman daun pandan menyerupai ember) atau ember-ember bekas, sebelum dimasukan dalam karung untuk dipikul ke rumah pada sore hari. Dengan demikian, seluruh hari dari pagi hingga sore akan dihabiskan di kebun kopi. Kebanyakan mereka akan memilih untuk memasak dan menikmati makan siang di kebun kopi.
[caption id="attachment_181697" align="aligncenter" width="501" caption="Kopi yang Sudah Dipetik dan Disimpan Sementara Diember untuk Mudah Nenteng (Dok.Pribadi)"]
Pada sore hari, karung-karung yang berisi kopi akan dipikul ke rumah dan dikumpulkan. Biasanya, pada hari berikutnya, ditunjuk salah satu anggota keluarga untuk tinggal di rumah saja guna menumbuk kopi-kopi tersebut atau menggilingnya secara manual. Tujuannya memisahkan kulit luar dari bijinya. Prosesnya bisa memakan waktu berjam-jam karena harus sungguh-sungguh bersih dan terpisah antara kulit luar dan biji kopi yang masih memiliki satu lapisan kulit yang lebih keras di dalamnya.
[caption id="attachment_181698" align="aligncenter" width="437" caption="Penggilingan Kopi Tahap Pertama (dok.pribadi)"]
Setelah semuanya telah digiling atau ditumbuk, biji-biji kopi akan dijemur sampai beberapa hari sampai benar-benar kering. Untuk itu, sangatlah diperlukan sinar matahari yang cukup. Hal ini tentu mengandaikan iklimnya bersahabat. Cuaca mendung atau hujan sangatlah tidak mendukung kelancaran proses ini.
Setelah beberapa hari atau bahkan minggu (tergantung cuacanya), apabila kopinya sudah benar-benar kering, para petani kopi akan menumbuk atau menggiling untuk yang kedua kalinya. Tujuannya, untuk memisahkan biji-biji kopi yang siap dijual atau disangrai untuk dijadikan tepung kopi. Tujuannya untuk memisahkan lapisan kulit kopi yang kedua yang lebih keras dari lapisan kulit yang pertama dari biji-biji kopi.
[caption id="attachment_181790" align="aligncenter" width="525" caption="Kopi yang Telah Digiling & Dijemur (dok.pribadi)"]
Biji kopi yang telah dibersihkan pada tahap kedua inilah yang akan dijual kepada para tengkulak kopi. Bisa disimpan sebagian untuk konsumsi pribadi. Kopi-kopi yang siap diolah ini dihargai oleh para tengkulak di Kota Ruteng saat ini dengan bandrol harga Rp 32.000 per kilogram untuk kopi unggul/kolumbi. Sedangkan kopi Arabika atau Robusta dinilai lebih rendah harganya. Harga satuan perkilogram ini tidak cukup untuk membeli 1 sak semen atau 1 kg paku, atau satu lembar  seng, yang harganya 2 sampai 3 kali lipat harga kopi perkilogramnya. Inilah yang menurut saya ketidaksebandingan tersebut. Tanya kenapa? Pusing jadinya kalau mau menelusuri akar permasalahannya.
Untuk yang dikonsumsi sendiri, biasanya biji-biji kopi tersebut akan disangrai di wajan sampai benar-benar menghitam warnanya serta telah menebarkan aroma harum. Kadangkala untuk menambah rasa yang berbeda, masyarakat menyangrai kopi bersama dengan kulit kayu manis atau jahe yang telah diiris-iris menjadi potongan kecil. Setelah disangrai, biji-biji kopi hitam tersebut akan ditumbuk/dimol menggunakan lesung dan alu, diayak beberapa kali sampai menemukan tepung-tepung halus yang siap untuk diseduh dengan air panas dan gula sebagai penghilang rasa dingin di pagi hari.
Dari proses ini, ternyata tidak sedikit orang yang terlibat untuk menjadikan kopi hangat tersaji di hadapan kita.
NIKMATI FOTO-FOTO LAIN DI: