Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Danau Tiga Warna Kelimutu nan Eksotis Serentak Mistis

13 Juni 2012   09:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 3174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_182449" align="aligncenter" width="500" caption="Danau Kelimutu di Saat Cerah "][/caption]

"Pulau Flores merupakan salah satu Pulau yang kaya akan gunung berapi, baik yang masih aktif maupun telah dinyatakan non aktif. Gunung-gunung berapi ini tersebar mulai dari Kabupaten Manggarai di Ujung Barat sampai di Lararantuka yang merupakan ujung Timur dari Pulau Flores. Dari sebab itu, hampir setiap tahun, penduduk Flores akan mengalami goncangan gempa bumi. Meskipun sejak gempa bumi dengan getaran terkuat yang disusul dengan tsunami di Kabupaten Sikka-Maumere tahun 1992, sampai saat ini belum pernah dialami getaran yang sebesar itu. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat Flores tidak akan mengalami gempa bumi dengan dampak kerusakan sedahsyat itu di waktu-waktu mendatang."

Dampak Psikologis Gempa Bumi Flores Tahun 1992

Goyangan-goyangan kecil di bumi Flores yang selalu terjadi setiap tahun merupakan isyarat dan pratanda bahwa tidak tertutup kemungkinan akan terjadi gempa bumi dan tsunami yang besar di kemudian hari di salah satu kota di pulau bunga ini. Secara pribadi, saya mengalami sendiri betapa gempa bumi terbesar di tahun 1992 masih meninggalkan trauma yang taktersembuhkan.

Untuk orang Flores sendiri yang pernah merasakan gempa bumi terbesar di tahun 1992 pasti mengalami hal yang sama. Gejala traumatis ini tampak ketika terjadi goyangan sedikit saja, membuat orang spontan langsung berlarian dan berhamburan ke luar rumah. Ada sebuah kisah unik akan hal ini dan akan selalu terulang setiap terjadi gempa. Ketika saya masih SMU dan tinggal di asrama di Kabupaten Ngada berkali-kali kami semua, seisi asrama pasti akan berlarian ke luar dari kamar tidur, ruangan kelas, atau kapel jika sedikit saja merasakan goyangan. Fenomena ini masih terjadi sampai hari ini. Beberapa waktu lalu terjadi goncangan gempa dalam hitungan detik, tetapi para seminaris yang sedang berdoa di Kapel, langsung melepaskan buku-buku doa dan berlarian ke keluar menuju halaman terbuka. Padahal dari usia mereka yang rata-rata kelahiran di atas tahun 1992, bisa dipastikan bahwa mereka tidak seharusnya trauma karena ketika gempa bumi dan tsunami yang melanda Kota Maumere di tahun 1992, mereka sesungguhnya belum lahir.

Akan tetapi, sangat boleh jadi ini merupakan efek cerita turun-temurun yang kemudian menulari perasaan traumatis dari generasi sebelumnya kepada generasi mereka. Dan saya rasa ini merupakan salah satu dampak positif di mana anak-anak Flores sejak dini tahu apa yang harus mereka lakukan apabila terjadi gempa bumi yang dahsyat, sehingga mengurangi kisah mati terjebak di bawah reruntuhan bangunan di kemudian hari.

Demikianlah, sisa-sisa pengalaman traumatis dari gempa bumi 1992 yang diwariskan secara terus-menerus kepada generasi berikutnya sebagai langkah antisipatif. Karena itu, kewaspadaan seperti ini perlu terus-menerus dihidupkan karena bukan tidak mungkin suatu saat Pulau ini juga akan mengalami goncangan dahsyat gempa bumi.

Berkat Tersembunyi Di Balik Daerah yang Kaya Gunung Berapi

Selain dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat Flores dengan adanya gempa bumi yang selalu dirasakan hampir setiap tahun. Kehadiran gunung-gunung berapi di Pulau Flores membawa berkat tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Misalnya: di Kabupaten Ngada dengan adanya Gunung berapi Inerie yang katanya sudah tidak aktif lagi, masyarakat desa wisata di sekitar kaki Gunung Inerie bisa menikmati tanah yang subur dan memiliki sumber mata air panas yang selalu dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Sehingga selain kampung adat yang merupakan situs budaya, Kampung Bena, juga mempunyai sumber air panas yang menambah ketertarikan para wisatawan mancanegara untuk mengunjunginya. Gunung Ine Lika yang sepertinya masih aktif di wilayah Soa, Ngada juga mengeluarkan sumber air panas Menge Ruda yang menjadi tempat rekreasi masyarakat Ngada setiap hari. Hampir setiap Hari Minggu, tempat wisata air panas Menge Ruda tidak pernah sepi pengunjung. Belum lagi turis-turis mancanegara yang juga selalu sempat mampir di sana apabila mengunjungi Kabupaten Ngada.

Jika sumber air panas menjadi berkat tersendiri bagi masyarakat Kabupaten Ngada, masyarakat Kabupaten Ende mengalami berkat lain yang jauh lebih spektakuler. Bekas gunung berapi di Kabupaten Ende, sekarang ini menjadi salah satu tempat wisata yang dikenal luas sampai ke manca negara. Apalagi kalau bukan Danau tiga warna Kelimutu.

Danau Tiga Warna Kelimutu

Danau tiga warna kelimutu merupakan kebanggaan bersama masyarakat Indonesia. Danau berwarna merah, hijau, dan putih ini (terkadang berubah warna juga) bukan hanya menjadi kebanggaan masyarakat Flores atau Ende, khususnya, tetapi menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia.

Danau ini terletak di daerah Moni, Kabupaten Ende dan menjadi salah satu objek wisata favorit di Kabupaten Ende. Jika anda ingin melihat Komodo di Pulau Komodo, jangan lupa untuk menyimpangkan kaki anda ke wilayah tengah Pulau Flores ini untuk menikmati panorma Danau Kelimutu. Di danau ini kita akan menikmati indahnya lukisan Sang Pencipta melalui fenomena alam yang agak sulit dijelaskan, meskipun banyak ahli sudah berusaha menjelaskan asal-usul danau tiga warna ini dari erupsi gunung berapi purba dan penyebab adanya macam-macam warna ini dikarenakan Danau Kelimutu memiliki kandungan logam dan lumut di dasarnya.

Penjelasan secara sains ini baru terjadi belakangan ini setelah adanya penelitian para geolog. Namun sebelum adanya Sains dan Ilmu Pengetahuan Modern, masyarakat Ende, khususnya yang berdiam di sekitar Danau tiga warna ini mempunyai mitos tersendiri yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya berkaitan dengan sakralitas Gunung sekaligus Danau Kelimutu ini. Bagi orang Ende, Danau ini merupakan salah satu pusat kebudayaan dan religi asli para leluhurnya. Mereka mempunyai keyakinan bahwa ketiga Danau ini merupakan sebuah khayangan bagi orang sudah meninggal.

Danau Kelimutu Salah Satu Pusat Religi Orang Ende-Lio

Selain menampilkan keindahan panorama alamnya, puncak Kelimutu memiliki arti dan makna religius bagi orang Lio (suku asli yang mendiami Kabupaten Ende). Puncak Kelimutu dipandang orang Ende secara turun-temurun sebagai tempat sakral yang disebut dalam bahasa setempat keli eo bhisa gia (gunung yang sakral). Di gunung inilah terdapat tiga tiwu (danau) yang beraneka warna dan diyakini sebagai tempat kediaman jiwa-jiwa orang yang telah meninggal. Pertama, tiwu ata polo (danau suanggi) yang airnya berwarna merah dan merupakan kediaman bagi arwah orang-orang dewasa. Kedua, tiwu nuamuri jemu (danau pemuda-pemudi) yang airnya berwarna hijau. Danau ini menjadi tempat kediaman orang-orang muda. Ketiga, tiwu ata bupu (danau orang tua) yang airnya berwarna putih. Namun, warna ketiga danau itu sering berubah-ubah: merah menjadi coklat tua, hijau menjadi abu-abu, dan putih menjadi coklat muda.

Keyakinan ini bertolak dari pandangan orang Lio akan tiga penguasa dunia orang mati.  Tiga penguasa ini mendiami tiga tempat yang berbeda, yang semuanya dianggap sebagai tempat angker yakni: Kelimutu, Keli Samba, dan Mutu Busa. Ketiga tempat ini dikuasai oleh tiga sosok yang berbeda yakni Konde, Raja, dan Ratu. Konde adalah penguasa yang mendiami Danau Kelimutu. Ratu, saudari Konde, menjadi penguasa Mutu Busa (sisi sebelah barat Danau Kelimutu-dekat Keli Do). Raja, adik Konde, menjadi penguasa di Keli Sumba.

Orang Lio-Ende, percaya bahwa setiap jiwa orang yang meninggal yang hendak menuju Kelimutu akan melewati sebuah pintu yang disebut Pene Konde (pintu konde). Di pintu ini, setiap jiwa akan diperiksa "status kelayakannya" apakah sudah pantas masuk ke Kelimutu (artinya: mati) ataukah tidak. Jika dianggap belum layak, maka jiwanya akan diusir kembali (hidup lagi) yang disebut dengan konde keda. Karena itu, meskipun sudah meninggal beberapa jam atau beberapa hari, namun jika dianggap belum layak, jiwa akan diusir Konde untuk kembali ke dunia dan hidup kembali. Keyakinan ini dibuktikan dengan kesaksian masyarakat setempat bahwa sering terjadi fenomena seperti itu di masyarakat Lio.

Dengan demikian, bagi orang Lio yang mendiami Kabupaten Ende, danau Kelimutu juga merupakan pusat religi asli para leluhur. Karena itu, mereka harus menjaga harmoni dengan Danau Kelimutu. Perubahan warna Danau Kelimutu bagi masyarakat Lio bukanlah sekedar sebuah fenomena alam, tetapi sebuah isyarat/peringatan akan bencana yang mesti mereka antisipasi. Perubahan warna danau terjadi karena ada ulah-ulang orang Lio yang kurang berkenan di hati Konde, Sang Penguasa Kelimutu.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila anda mengunjungi Danau Kelimutu, anda akan merasakan aroma magis dan mistis. Jika merasakannya, maka jangan lupakan latar belakang yang dijelaskan dalam uraian ini.

Sumber Bacaan:

1. Arnd, Paul, 2002, Du'a Ngga'e: Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio.Maumere:Candraditya.

2. Ozias, Fernandez Stephanus, 1980, Filsafat Alam Dunia (ms).Ledalero: STFK Ledalero.

3. Subagya, Rahmat, 1979, Agama dan Alam Kerohanian di Indonesia. Ende Nusa Indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun