[caption id="attachment_179724" align="aligncenter" width="641" caption="Kumpulan Recehku yang Tidak Akan Bisa Dipakai Lagi Selama di Ruteng-Flores (dok.pribadi)"][/caption]
Pagi ini saya mengalami hal aneh ketika pergi berbelaja di Kota. Karena belanjaan banyak, saya memilih untuk tidak membawa sepeda motor dan menggunakan angkutan kota. Di sini, Ruteng-Flores, mobil angkutan Kota disebut Otto Bemo. Jangan bayangkan Angkutan Kota di sini seperti angkutan kota di Jakarta atau Bandung yang walaupun bodinya udah ringsek dan peyot-peyot asalkan mesinnya Oke, tetap beroperasi. Di sini, otto bemo sungguh-sungguh didandan rapih, bodinya dilukis dengan aneka gambar dan ditempeli aneka stiker.
Selain itu, otto bemo tidak dikenal dengan nomor-nomor, tetapi ditulisi dengan nama menurut selera pemiliknya, misalnya: Cinta Indah, Cinta Damai, Grasela, Widuri, Heldish, dll. Lalu, bagaimana kita membedakan bemo mana yang menuju tempat yang ingin kita tuju? Dengarkan saja teriakan kondekturnya (disini disebut Konjak-meski bukan kondektur Jakarta hehehe) yang bergantung di pintu masuk Bemo. Sepanjang jalan, jika melewati rumah penduduk dan melihat ada penumpang yang berdiri di tepi jalan, Konjaknya akan aktif berteriak menyebutkan arah yang hendak dituju misalnya: "Kota.....kota....kota...kota!" Itu berarti bahwa bemo tersebut menuju kota Ruteng.
Hal unik lain yang kutemukan di dalam otto bemo di sini, yang membedakan dengan angkutan umum di Bandung dan Jakarta adalah "full musik." Rata-rata otto bemo di sini seperti sebuah diskotik berjalan. Sepanjang jalan, penumpang akan disunguhkan dengan musik-musik yang berdentum keras dari speaker bazoka yang diletakkan dibawah kedua sisi tempat duduk penumpang. Banyangkan bagaimana sakitnya telinga anda ketika harus mendengarkan dentuman bass dari speaker sambil duduk berdesakan di dalamotto bemo yang seukuran mobil carry. Bagi orang yang sudah biasa, akan merasa nyaman-nyaman saja.
Ada satu hal yang unik juga di dalam angkutan kota adalah meriahnya hiasan entah boneka, patung, dan aseroris lainnya yang diletakkan di dashboard mobil. Bagi masyarakat di sini terutama kaum muda (anak-anak SMU) semakin menarik tampilan body angkutannya, semakin berdentum musiknya, semakin meriah dandanan otto bemonya, semakin wangi angkutannya, maka akan semakin diminati juga. Karena itu, saya bayangkan jika angkutan kota Bandung dan Jakarta beroperasi di sini pasti tidak akan mendapatkan penumpang. Yakin deh!
[caption id="attachment_179715" align="aligncenter" width="648" caption="Penampang Dalam Otto Bemo dengan Asesoris Meriah & Full Musik (dok.pribadi)"]
Angkutan seperti inilah yang saya tumpangi pagi tadi ke Kota. Hal aneh yang kualami adalah ketika turun dari otto bemo dan membayar ongkosnya. Karena terbiasa, saya selalu menyediakan recehan pecahan seratus dan lima ratus rupiah untuk angkutan dan parkir. Betapa terkejutnya saya ketika Konjak menolak recehan saya berjumlah Rp 2000 sambil berkata: "Om, uang logam (recehan) tidak dipakai di sini lagi. Om harus bayar pake uang daun (uang kertas)." Saya pun terpancing dan bertanya: "emangnya kenapa dengan uang logam, toh jumlahnya Rp 2000?" "Pokoknya tidak bisa om, karena uang logam sudah tidak diterima lagi di mana-mana baik di warung, toko, dan pom bensin," konjaknya pun tetap berkeras. Penasaran dengan jawabannya, saya pun mengajukan pertanyaan: "jika demikian, mengapa negara masih menciptakan uang logam? Apakah Flores bukan lagi termasuk wilayah negara Indonesia, sehingga tidak mau menerima uang logam?" Saya perhatikan, konjaknya kebingungan mau menjawab apa atas pertanyaan yang saya ajukan. Untuk tidak memperpanjang waktu, saya pun mengalah dan mengeluarkan lembaran 2 ribuan dari kantong celana dan memberikannya kepada Sang Kondektur sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Rupanya pengalaman membayar angkutan juga sama ketika berbelanja di toko dan terbukti benar apa yang dikatakan oleh Sang Konjak tadi. Toko-toko pun tidak menyediakan pecahan uang recehan. Harga-harga barang selalu dibulatkan. Dengan demikian, tidak ada item barang apa pun di sini, termasuk kantong kresek yang harganya Rp 500. Uniknya, ketika ada harga yang harus menuntut kembaliannya berupa uang receh, dengan santainya para pelayannya mengembalikannya dengan permen. Sekali lagi saya terpancing dan bertanyakepada seorang pelayan: "Bu, saya minta kembaliannya berupa uang Rp 500 dan bukan sebutir permen mentos!" Dia pun membalas: "om, di sini uang logam tidak dipakai lagi, sehingga kami tidak mempunyai persediaan uang logam." Karena jengkel saya pun nyeletuk: "apakah ibu akan menerima, jika saya membeli barang ibu dengan sejumlah permen?" Lagi-lagi pelayan tersebut tidak bisa menjawab dan saya pun mengalah karena pembeli lain yang antri di belakang saya  sudah tidak sabar lagi. Saya pun menerima permen mentos dengan perasaan dongkol.
Semua pengalaman aneh pagi ini membuat saya bertanya-tanya: mengapa hanya di Kota Ruteng (mungkin saja di seluruh wilayah di Pulau Flores) tidak menerima uang recehan lagi? Apakah ada unsur permainan dan monopoli dari para pelaku pasar untuk menentukan harga minimal dari sebuah barang di Ruteng ini, sehingga pecahan Rp 100 dan Rp 500 tidak ada nilainya lagi?
Oleh karena itu, jika teman-teman hendak ke Flores, jangan pernah mencoba membayar apa pun menggunakan uang receh. Simpanlah uang receh kalian untuk digunakan di tempat lain sesudah anda beranjak dari Pulau ini. Di sini, uang receh tidak dihargai!
Tanya kenapa? Mumet dah!
Ruteng, 30 Mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H