[caption id="attachment_178230" align="aligncenter" width="648" caption="Pantai Pota Berpasir Putih (dok.pribadi)"][/caption]
Ketika masih berkuliah di Bandung, seorang dosen pernah menyebut bahwa Pulau Flores yang artinya Pulau Bunga hanyalah sebuah fatamorgana. Mengapa disebutnya fatamorgana? Menurutnya, dari penuturan banyak orang yang sudah ke Pulau Flores dikatakan bahwa Pulau Flores hanya berisikan padang belantara, dipenuhi savana, dan stepa yang identik dengan kata kering-kerontang, gersang, panas, dan sangat tidak menarik untuk dilihat. Karena itu, menyebut pulau ini sebagai Flores (Pulau Bunga) baginya hanya sebagai sebuah fenomena fatamorgana agar orang-orangnya kerasan mendiami Pulau yang sebenarnya gersang ini.
Kata-kata dosen filsafat sosial-ku ini sangat menohok di ulu hati saya sebagai orang kelahiran Pulau Bunga ini. Benarkah demikian? Apakah hal ini merupakan sebuah apriori dari orang yang hanya melihat sesuatu hal dari jauh? Karena fatamorgana memang hanya bisa terlihat di kejauhan. Untuk di beberapa tempat di Pulau ini terutama di wilayah Pantai Utara di bagian tengah dan timur dari pulau Flores banyak dijumpai padang savana dan stepa. Akan tetapi, di tempat-tempat lain tidaklah demikian.
Termotivasi oleh anggapan yang sedikit keliru dari salah seorang dosenku ini yang mungkin saja mewakili anggapan sebagian besar penduduk Indonesia, maka dalam sebuah perjalanan di sela-sela waktu liburanku, pada Kamis 17 Mei-Sabtu 19 Mei, aku mengunjungi perkempungan-perkampungan di pantai utara Pulau Flores, tepatnya dari Kota Ruteng menuju Reo dan dari sana menuju Pota dengan menggunakan sepeda motor.
Perjalanan dari Kota Ruteng yang berhawa sejuk (dingin) menuju Reo (Kota Pelabuhan Kapal Barang) yang berhawa sangat panas bisa ditempuh dengan sepeda motor dalam waktu 2 jam dengan kecepatan rata-rata 60-80 Km perjam dan bisa menghabiskan bensin di tanki sepeda motor sebanyak 2 liter.
[caption id="attachment_178176" align="aligncenter" width="583" caption="Persawahan Lodok (Membentuk Jaring Laba-Laba) di Karot dengan Latar Pegunungan (dok.pribadi)"]
Kondisi jalan dari Ibu Kota Kabupaten Manggarai ini menuju Kota Pelabuhan, setengahnya mulus, setengahnya berlubang-lubang dan masih dalam proses pelebaran dan pembenahan. Jalannya berlika-liku menyusuri tebing-tebing pegunungan dan sedikit curam setengah jam sebelum memasuki Kota Reo.
[caption id="attachment_178177" align="aligncenter" width="583" caption="Salah Satu Ruas Jalan di Antara Bongkahan Batu Besar di Wilayah Gapong (dok.pribadi)"]
Pemandangan khas sejak keluar dari Kota Ruteng menuju Reo adalah pegunungan-pegunungan tinggi dengan hutan-hutan alam yang rimbun, persawahan penduduk dan perkebunan kopi, cengkeh dan coklat milik penduduk Manggarai.
[caption id="attachment_178178" align="aligncenter" width="583" caption="Perkampungan, persawahan, dan perkebunan penduduk di atara pegunungan (Dok.Pribadi)"]
Sesampai di Reo-Kota Pelabuhan barang, kita akan langsung merasakan panas khas pesisir pantai. Jadi dalam waktu beberapa menit perjanan, perubahan iklimnya langsung terasa: dari dinginnya pegunungan langsung beralih ke panas. Siap-siap jaket tebal ditanggalkan jika ingin merasa nyaman. Reo meskipun menjadi Kota Pelabuhan andalan distribusi barang termasuk BBM untuk wilayah Manggarai belum bisa dikatakan ramai. Suasana kotanya masih sepi untuk ukuran Kota Pelabuhan di tempat lain.
[caption id="attachment_178256" align="aligncenter" width="583" caption="Sungai Alami Membelah Pegunungan Sebelum Memasuki Kota Reo (dok.pribadi)"]
Mayoritas penduduk di Kota ini adalah pendatang dari Flores dan Bima yang beragama Katolik dan Islam. Kehidupan mereka sangat rukun dan toleran satu sama lain. Biasanya selalu saling terlibat sebagai panitia dalam ivent-ivent keagamaan dari salah satu pihak. Hal ini tampak dalam kepanitiaan perayaan Yubelium atau 100 tahun Gereja Katolik Manggarai yang saya ikuti pada tgl 18 Mei 2012 lalu. Yang menjadi anggota panitia adalah saudara-saudara dari Suku Bima yang beragama Islam. Demikian pun sebaliknya, jika ada sunatan massal atau perayaan besar umat Islam, umat Katolik selalu terlibat dalam kepanitiaan.
[caption id="attachment_178189" align="aligncenter" width="583" caption="Pertunjukan Tarian Perdamaian Diiringi Musik Kasidah Mengisi Perayaan Yubileum          Gereja Katolik Manggarai (Dok.Pribadi)"]
Yang menarik dari Kota Reo adalah pantai-pantainya yang masih perawan. Jarak Kota ke pantai laut Flores sekitar 500 meter. Pantainya berpasir putih dan masih sangat alami.Hampir tidak ada wisatawan yang kita temukan sedang berjemur di pantai, seperti di Bali. Jelas bahwa di Kota ini geliat pariwisatanya belum tampak.
[caption id="attachment_178258" align="aligncenter" width="583" caption="Panorama Sisi Kanan Pelabuhan Reo dengan Perahu Bercadik (dok.pribadi)"]
Setelah sehari mengikuti rangkai perayaan Yubileum Gereja Katolik Manggarai dan mengelilingi Kota Reo dan pantai-pantai sekitarnya, keeskokan harinya, Jumad, 18 Mei 2012, saya meluncur ke arah timur, menyusuri tepi pantai dan pegunungan menuju kota Kecamatan Pota. Ke luar dari Kota Reo, kita akan menemukan sebuah jembatan beton yang cukup panjang untuk menyebrangi Sungai Pesi yang bermuara di Laut Flores. Sungai ini biasanya menjadi pelabuhan bagi kapal-kapal penangkap ikan milik penduduk.
Perjalanan dari Reo menuju Pota sangat mengasikan karena jalur jalannya secara bergantian memasuki pegunungan-menyusuri lembah-sesekali menyurusi pantai Laut Flores. Kondisi jalan, setengahnya mulus dan setengahnya sampai di Pota masih dalam pelebaran dan pembenahan. Pantai-pantai sepanjang Reo-Pota juga tidak kalah indahnya dan umumnya berpasir putih khas pantai Laut Utara.
[caption id="attachment_178193" align="aligncenter" width="583" caption="Pantai Berpasir Putih di Kampung Dampek-Manggarai Timur (Dok.Pribadi)"]
Bapak kelurga di tempat saya menginap mengatakan: "jika belum ke Tonjong, anda belum sampai Pota." Saya pun penasaran ada apa sebenarnya di Tonjong sampai seolah menjadi ikon bagi Pota tersebut. Rupanya setelah menempuh perjalanan 10 menit ke luar perkambungan Pota, sejauh mata memandang kita akan menyaksikan sebuah panorama taman alam nan luas dengan bunga-bunga berwarna merah muda. Rupanya di sinilah tempat tumbuhnya lotus dengan batang yang besar dan tinggi serta berdaun lebar menyerupai keladi. Hamparan teratai ini pas lagi musimnya berbunga. Jelas ini tanaman Lotus yang berbeda dengan teratai, atau dalam nama ilmiah disebut Nelumbo Nucifera memiliki tubuh yang meninggi, tidak seperti Teratai yang melebar. Bunganya berwarna kuning, putih dan merah muda. Kelopak bunganya juga tidak sebanyak Teratai. Bentuk kelopak bunganya besar dan tidak bertumpuk-tumpuk saat mekar, bunganya akan tumbuh menjulang tinggi di atas tangkai. Sedangkan Teratai Teratai, yang memiliki nama ilmiahNymphaeamemiliki lebih banyak variasi warna bunga dari hasil persilangan. Kelopak bunganya banyak dan kecil bertumpuk-tumpuk. Saat mekar, diameter bunganya dapat mencapai 25 cm. Jadi yang tumbuh di rawa-rawa Tonjong-Pota merupakan Lotus.
[caption id="attachment_178201" align="aligncenter" width="583" caption="Hamparan Lotus Merah Muda di Tonjong, Pota, Flores, NTT (Dok.Pribadi)"]
[caption id="attachment_178213" align="aligncenter" width="525" caption="Lotus Pota Sedang Mekar (Dok Pribadi)"]
[caption id="attachment_178210" align="aligncenter" width="486" caption="Lotus pink tertiup angin pegunungan (dok.pribadi)"]
Dari perjalanan singkat menyelusuri sebagian kecil dari Pulau Flores ini, membuat saya yakin bahwa Pulau ini dinamai Flores yang artinya Bunga oleh para penjajah Portugis bukan tanpa dasar. Pulau ini dinamai Pulau Flores karena kaya akan bunga alami. Karena itu, penamaan pulau Flores sebagai Pulau Bunga bukan merupakan sebuah fatamorgana bagi yang memang pernah menjejakkan kakinya dan menikmati panorama alam di sini.
Ruteng, 21 Mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H