[caption id="attachment_171565" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Ilustrasi (http://blokbojonegoro.com)"][/caption] Fenomena yang Sering Terjadi
Seorang petani pernah mengeluh: "suatu ketika ada seorang kepala dinas pertanian menghimbau masyarakat untuk menanam ubi kayu jenis tertentu yang bibitnya dibagikan secara cuma-cuma. Janjinya, akan ada investor yang akan menanamkan modal dalam bentuk pengolahan ubi kayu petani menjadi tepung tapioka. Setelah setahun para petani menanam, tiba saat panen, tidak ada tanda-tanda sedikit pun seorang investor mendirikan pabriknya. Alhasil, ubi yang sudah berisi ditebas, isinya dijadikan pakan ternak."
Di daerah lain, masyarakat diminta menanam bambu sebanyak-banyaknya dengan "proyek sejuta bambu" untuk bahan baku pengolahan kertas. Setelah bambunya beranak pinak, tidak ada juga tanda-tanda kalau ada investor pembuat kertas mendirikan pabriknya di daerah itu.
Di tempat yang lain lagi, masyarakat diminta menanam jarak. Hasilnya pun sama. Sampai jarak menghasilkan buah, tidak ada pabrik yang didirikan untuk mengolah jarak para petani.
Mengikuti kasus-kasus yang demikian, membuat hati ini bertanya: kog tega-teganya para pemimpin mempermainkan rakyatnya ya?
Tidak sadarkah mereka bahwa demi mewujudkan ide mereka, para petani harus mengosongkan lahan mereka dari aneka jenis tanaman pangan lain untuk ditanami komoditi yang mereka tawarkan?
Sikap yang Seharusnya dari Para Petani agar Tidak Mudah Merasa Dijadikan Kelinci Percobaan
Jangan mudah tergiur dengan ide-ide besar dari pemimpinmu jika kemungkinan realisasinya tidak jelas melalui sebuah kajian dan rencana yang matang. Mengapa? Karena ada penyakit yang menjangkiti para pemimpin negeri ini untuk tidak mau melanjutkan ide para pendahulunya. Biasanya bupati yang baru tidak akan melanjutkan program yang sudah berjalan dari pendahulunya. Semuanya mau membangun yang baru dan mubazir juga hasil akhirnya.
Menjadi otonomlah dalam memilih komoditi tanaman perdagangan yang lebih menjanjikan dan mudah dipasarkan di daerah anda. Anda menanam sesuatu bukan karena ikut arus. Misalnya: ketika tetangga menamam vanili, anda pun ikut menanam vanili. Ketika orang sekampung menanam kacang kedelai, anda pun ikut-ikutan menanam kedelai. Hasilnya, anda akan mudah dipermainkan tengkulak dan rentenir.
Jangan hanya mengandalkan satu komoditi saja. Lebih bervariasi dalam menanam. Apabila memiliki cukup banyak lahan pertanian. Ada yang dijadikan ladang/sawah untuk swasembada pangan. Ada juga yang ditanami buah-buahan. Ada juga yang ditanami karet, kopi, coklat, cengkeh atau vanili. Mengapa ini penting? Sebab seringkali terjadi, ketika semua bidang tanah ditanami cengkeh misalnya, petani tidak punya pilihan lain alias tidak memiliki posisi tawar yang kuat ketika harga cengkeh merosot. Pernah di kampung saya, ketika harga vanili meroket dalam dua musim panen berturut-turut, banyak petani cengkeh yang membabat pohon cengkehnya dan menggantinya dengan vanili. Setelah harga vanili merosot dan harga cengkeh melambung, yang tersisa di hati mereka hanyalah kekecewaan yang mendalam.
Kesimpulan
Sekarang saatnya para petani menentukan nasibnya sendiri di atas tanah pertanian yang anda miliki. Jadilah arif dan jangan mudah menelan janji manis para pemimpin anda yang menawarkan komoditi-komoditi baru yang prospeknya belum jelas. Jangan mau dijadikan objek pembangunan dari pemerintah, jadilah subjek pembangunan. Jadilah tuan di atas tanahmu sendiri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H