Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup Di Antara Orang Dayak Tamambaloh Pedalaman-Perbatasan (4)

22 Maret 2012   01:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:38 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_167591" align="aligncenter" width="448" caption="Sungai Embaloh Yang Jernih dengan Hutannya Yang Lestari Menjadi Pembentuk Identitas Kultural Orang Tamambaloh (Dok.Pribadi)"][/caption]

Gambaran Umum Masyarakat Adat Tamambaloh

Sejarah Masyarakat Adat Tamambaloh

Asal kata Tamambaloh berasal dari sebutan “maam lalo” artinya “baik adanya” yaitu: tanahnya subur, ikannya banyak, alamnya luas, dengan burung dan margasatwa, serta pohon dan tumbuhan yang beraneka ragam.

Menurut penuturan kaum tua, penyebutan ini bermula dari perjalanan rombongan besar nenek moyang yang tinggal tersebar di Batang Bunut (Bunut Hilir) yang kemudian mudik mencari daerah baru ke Nanga Embaloh. Di Nanga Embaloh ini mereka mulai bermukin dan berladang. Ada yang berladang di pesisir Kapuas dan ada juga yang berladang di pesisir sungai Tamambaloh. Dari hasil panen antara kedua tempat ini ternyata yang berladang di pesisir Sungai Tamambaloh lebih banyak hasil padinya daripada yang berladang di pesisir Kapuas. Kelompok yang berladang di pesisir Tamambaloh disebut tau maam lalo artinya: orang yang kaya (banyak padi). Berdasarkan hasil panen ini, para pemimpin rombongan (samagat) berunding untuk menentukan sikap: apakah melanjutkan perjalanan menuju Sungai Kapuas atau masuk dan mudik ke Batang Sungai Tamambaloh untuk menjajaki wilayah perhuluan Sungai Tamambaloh. Kemudian diutuslah beberapa orang untuk menjelajahi Sungai Tamambaloh. Sekembalinya para utusan ini, mereka mengatakan bahwa daerah perhuluan Sungai Tamambaloh layak untuk dihuni dengan menyebutnya sebagai banua maam (daerah baik) karena subur.

Para Samagat kembali berunding untuk menentukan sikap. Dari hasil perundingan itu, terdapat dua pilihan sikap: ada yang setuju masuk ke Sungai Tamambaloh dan ada yang setuju melanjutkan perjalanan ke Hulu Sungai Kapuas. Rombongan yang masuk Sungai Tamambaloh mudik, menyaksikan betapa subur, luas, dan menjanjikannya daerah ini untuk didiami. Mereka terpesona dengan keindahan alam di sepanjang pesisir Sungai Tamambaloh  dan mereka menyebutnya maam lalo artinya “baik adanya” yang di kemudian hari berubah menjadi Tamambaloh hingga saat ini.

Leluhur masyarakat Tamambaloh mulai berladang dari hilir secara berpindah-pindah sehingga sampai ke wilayah perhuluan Sungai Tamambaloh. Adapun daerah-daerah yang berada di wilayah hulu Sungai Tamambaloh yang pernah didiami (Pareoan Banuaka) oleh nenek moyang masyarakat Suku Dayak Tamambaloh secara  turun-temurun meliputi daerah Loben, Karob, Talie, Peang, Tungun, Dajo, Tukalan, Binalik, Banyu, Apeng, Batu Peti, Supape, Malit, Subali, Polo, Paset, Sadap, Mato, Sansulit, Talas, Pinjauan, Balimbis, Bukung, Karaam, Banujung, Talie, Nanga Sunge, Paat, Ulak Pao, Pala Pintas Timbaru dan Sangkoang Kuning sampai ke mPamari’an.

Sebagai bukti historis bahwa Suku Dayak Tamambaloh telah mendiami wilayah DAS Tamambaloh adalah adanya  tempat tinggal penduduk yang terdiri dari beberapa buah rumah betang (sao langke) sebagai ciri khas tempat tinggal Suku Dayak Tamambaloh. Adapun rumah betang (sao langke) suku Tamambaloh di wilayah tersebut meliputi:

1.Rumah betang Banyu dipimpin oleh Samagat Baki Guran, Baki Bato, Baki  Doa. Bekas hunian (belean sao) masih ada sampai sekarang dan bisa dijumpai di wilayah Bayu hulu Sungai Embaloh.

2.Sao langke Supape dipimpin oleh Baki Tumbungdaiyan, Baki Tangkuju, Baki Bangau, Baki Baran. Baki Baran bertunangankan piang Samarai dari Malit. Baki Tangkuju yang kisah hidupnya diceritakan lebih lanjut dalam hikayat Batu Mataso (Batu Matahari) oleh warganya. Jika kita pergi ke Supape, masih kita jumpai belean sao dan kulambu Piang Samarai.

3.Sao Lanke Malit dipimpin oleh Samagat Baki Sadau (anak bungsu dari Baki Rambing) dari saudara Baki Sangun, Baki Nyalai dan Piang Samarai. Adapun  suang saona (warganya) antara lain: Pelai, Awanga, Jalayan, Urom, Rambing. Riwayat hidu[p Baki Sadau dapat dijumpai dalam Sastra Baranangis.

Dengan demikian, seluruh wilayah DAS Tamambaloh termasuk ke uncaknya merupakan wilayah adat masyarakat adat masyarakat Tamambaloh yang diwariskan secara turun-temurun dengan rentang waktu ribuan tahun. Karena itu batas wilayah adat Tamambaloh yang kemudian diambil alih menjadi batas wilayah kecamatan Embaloh Hulu adalah sebagai berikut:

A)Utara: wilayah hulu sungai Tamambaloh sampai wilayah negara RI dengan Negara Serawak Malaysia mulai dari Bukit  Makop, Bukit Batik sampai pada Tinting Lubang Ribut menuju  Kecamatan Embaloh Hilir (Kecamatan Putussibau Utara) di Bukit Lawit (Bukit Uyut) Ulu sungai Menyakan dan sungai Palin.

B)Timur: mulai di Timur Laut berbatasan dengan Kecamatan Embaloh Hilir (Kecamatan Putussibau Utara). Kiri kanan sungai Palin masuk Kecamatan Embaloh Hilir (Kecamatan Putussibau Utara), di setiap Tinting Bukit disepanjang Lauk Rugun masuk wilayah Kecamatan Embaloh Hulu

C)Barat: mulai di Barat Laut berbatasan dengan Kecamatan Batang Lupar di Bukit Pana’ turun ke Munggu’ Prawan terus ke munggu’ Baan sampai ke Ulu sumgai Pakulingan menuju Kalang Tadung sampai di Barat Daya berbatasan dengan Kecamatan Embaloh Hulu dan Kecamatan Bunut Hilir.

D)Selatan: Berbatasan dengan Kecamatan Embaloh Hilir yaitu dari Lauk Rugun ke Sungai Merundop sampai batas Pala’ Pintas dengan Sankoang Kuning menuju ke Barat Daya.

Masyarakat Adat Tamambaloh yang di Embaloh Hulu mendiami beberapa Desa antara lain: Desa Temau, Desa Pulo Manak, Desa Banua Martinus, Desa Banua Ujung, Desa Saujung Giling Manik, dan Desa Ulak Pauk. Umumnya mereka tinggal di Bantaran Sungai Embaloh yang subur kecuali yang di Desa Temau (hidup di bantaran Sungai Embaloh).

Struktur Kemasyarakatan Adat

Sejak zaman dahulu, masyarakat Embaloh terbagi dalam tiga kelompok sosial yakni: Samagat, Pabiring, dan Suang Sao. Golongana Samagat (bangsawan) biasanya menduduki tempat terhormat dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan ini. Hanya dari golongan Samagat yang bisa menjadi seorang Tamenggung atau Pimpinan Tertinggi Masyarakat Adat Tamambaloh. Umumnya keluarga Samagat memiliki banyak tanah.

Sedangkan golongan Pabiring (orang bebas/golongan tengah) biasanya juga memiliki tanah yang luas tetapi tidak seluas yang dimiliki oleh para Samagat. Mereka juga bisa menjadi Kadat (Kepala Adat) di tingkat kampung apabila memiliki pemahaman dan keartifan mengenai adat-istiadat orang Tamambaloh.

Golongan yang terendah adalah para Suang Sao (hamba sahaja/golongan bawah). Peran mereka ini dalam kehidupan masyarakat adat agak terbatas. Kebanyakan tidak memiliki tanah sendiri dan harus menggarap lahan-lahan yang dimiliki oleh kedua golongan di atas.

Segala perkara dalam kehidupan bersama biasanya diselesaikan melalui musyawarah adat di tingkat Kadat. Apabila tidak bisa diselesaikan, permasalahannya akan dibawa ke tingkat ketemenggungan. Biasanya tidak ada persoalan kehidupan bersama yang tidak bisa diselesaikan melalui hukum adat. Karena itu, jarang sekali persoalan/konflik yang terjadi di dalam masyarakat adat Tamambaloh yang dibawa ke meja hijau atau hukum positif. Semuanya diselesaikan dengan asas kekeluargaan melalui hukum adat. Di sini peranan para perangkat adat yakni Seorang Temenggung dan para Kadat-nya sangat vital. Kearifan mereka sangat diperlukan.

Kehidupan Sosial-Kemasyarakatan

Masyarakat Adat Tamambaloh sudah sejak lama terdidik. Pendidikan mereka sudah mulai dirintis oleh para Imam Kapusin yang berkarya di sana tahun 1908. Jauh sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Tamambaloh sudah mulai dididik di sekolah dan asrama yang dibangun serta dikelolah oleh para pastor Kapusin asal Belanda. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak orang Tamambaloh yang saat pada masa lalu hingga saat ini menduduki tempat-tempat utama dalam pemerintahan. Kebanyakan putera-puteri terbaik Tamambaloh yang mengenyam pendidikan tinggi mengabdi tempat lain karena faktor tugas dan pekerjaan mereka.

Yang menetap di kampung sebagian besar adalah para petani, para pedagang, para guru SD-SLTP-SLTA, para pegawai kesehatan, dan para pegawai kecamatan. Karena bantaran Sungai Embaloh sangat subur oleh endapan lumpur dari Hulu Sungai Embaloh, maka para petani Tamambaloh tidak terlalu sulit mengerjakan ladang mereka. Hasil padi sangat mencukupi. Selain itu, masyarakat Tamambaloh juga sudah membudidayakan aneka tanaman perdagangan seperti: karet, gaharu, coklat, dan Tengkawang. Akan tetapi, karet-lah yang menjadi andalah utama sumber pendapatan mereka.

Meskipun masyarakat Tamambaloh sudah membudidayakan aneka tanaman perdagangan, mereka tetap menanam padi. Kegiatan berladang untuk menanam padi ini selain bertujuan ekonomis untuk swasembada pangan, juga bertujuaan kultural. Karena dari aktivitas menanam padi inilah identitas kebudayaan mereka yang terkait dengan mensyukuri roh padi pada Gawai Pamole Beo bisa teraktualisasi. Karena itu, melarang masyarakat Tamambaloh berladang dan menanam padi melainkan menanam sawit sama dengan memberangus kebudayaan Tamambaloh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun