[caption id="attachment_167185" align="aligncenter" width="605" caption="Kondisi Jalan Putussibau-Perbatasan Malaysia 2010: Ketika Kami Harus Turun Bus (Dok.Pribadi)"][/caption]
Tanggal 14 Oktober 2010, dengan menggunakan Bus umum aku bertolak dari Putussibau menuju Banua Martinus, tempat di mana aku akan menetap untuk berkarya di sana. Banua Martinus merupakan Ibu Kota Kecamatan Embaloh Hulu. Sebagai orang baru, saya merasa langsung diterima oleh orang-orang Embaloh Hulu yang berada di dalam bus. Mereka begitu ramah dan mulai bercerita tentang daerah mereka yang sedikit memberikan gambaran kepada saya tentang situasi, kondisi, dan budaya dari orang-orang Embaloh Hulu.
Sepanjang jalan dari Putussibau (Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu) menuju Banua Martinus, masih kujumpai hutan-hutan alam yang diselingi dengan ladang padi para petani serta kebun-kebun karet penduduk. Pemandangan ini berbeda sekali dengan pemandangan sepanjang perjalanan Pontianak-Putussibau yang kulihat sebelumnya.
Ketika sampai di salah satu jembatan, salah seorang penumpang memberitahuku nama jembatan tersebut, namanya Laukrugun. Kuperhatikan di air sungai yang mengalir di bawah jembatan itu sangat jernih. Pohon-pohon besar dan rindang seperti pohon Kansurai (bunga dan buahnya menjadi makanan ikan) masih tegak berdiri di sekitar sungai. Tidak jauh dari Sungai yang jernih tersebut ada sebuah gang masuk dan rupanya di situ ada sebuah rumah panjang yang dihuni oleh Suku Iban. Laurugun menjadi kampung perbatasan antara Kecamatan Embaloh Hulu dan Kecamatan Putussibau Utara.
Melewati kampung Laukrugun masih dijumpai hutan-hutan alam, perkebunan karet penduduk, bekas-bekas ladang yang mulai ditanami karet. Kurang lebih 10 menit kemudian, kami memasuki jembatan yang kedua. Penumpang di sampingku langsung memberitahu namanya jembatan Mungguk. Air Sungai yang mengalir di bawahnya juga masih tampak jernih, meski pohon-pohon besar dan rindang seperti pemandangan di jembatan Laurugun tidak kujumpai di situ. 10 meter dari Sungai Mungguk tersebut ada rumah penduduk berjajar di tepi jalan. 100 meter dari Sungai Mungguk tampak berdiri kokoh sebuah rumah yang memanjang. Penumpang di sampingku memperkenalkan bahwa di kampung Mungguk mayoritas penduduknya dari Suku Dayak Iban sama dengan yang di Kampung Laukrugun.
Pemandangan setelah melewati kampung Mungguk agak berbeda. Tidak tampak lagi hutan-hutan alam di tepian jalan. Rimbunan pepohonan tampak di kejauhan. Yang terlihat di sepanjang jalan setelah Kampung Mungguk adalah kebun-kebun karet milik penduduk dan ladang-ladang padi. Tampaknya daerah Mungguk jauh lebih gersang karena banyak perbukitan.
Sepuluh menit kemudian, di ujung jalan aspal yang bagus, bus mulai memasuki jalan tanah dengan batu-batu lepas dan berlumpur. Kampung pertama yang terlihat di awal jalan buruh menuju Martinus adalah Kampung Sungai Utik. Di sini berdiam Suku Dayak Iban juga. Sama seperti Kampung Laukrugun, kampung Sungai Utik letaknya tidak tepat di tepi jalan, 100 meter dari jalan raya lintas utara-perbatasan. 20 meter dari gang masuk ke Kampung Sungai Utik, ada sebuah jembatan dan dibawahnya mengalir Sungai Utik yang sama seperti kedua Sungai sebelumnya terlihat sangat jernih. Di sekitarnya pun masih tampak pepohonan yang rimbun. Pokok-pokok karet yang siap ditoreh juga mulai nampak di tepi-tepi jalan sesudah jembatan Sungai Utik.
Tidak jauh dari Kampung Sungai Utik, terlihat di tepi jalan sebuah bangunan rumah betang modern, berdinding semen, beratapkan seng dan tanpa tiang-tiang yang menandakan sebuah rumah panggung khas Dayak. Di sebelah kanan jalan, berhadapan dengan rumah betang berdiri sebuah bangunan memanjang dan dari halamannya terlihat tanda-tanda sebuah sekolah dasar. Inilah Kampung Pulan (Kulan=dalam bahasa asli) yang didiami oleh Suku Dayak Iban. Tidak jauh dari rumah betang Pulan, ada sebuah jembatan dan di bawahnya mengalir Sungai Pulan. Sama seperti ketiga Sungai sebelumnya, Sungai Kulan masih terlihat sangat jernih, aneka pepohonan rimbun terutama durian dan Tengkawang masih menghiasi tepiannya.
Melewati jembatan Kulan, perjalanan kami agak terhambat karena kondisi jalan sepanjang 100 meter sangat berlumpur dan dalam. Beruntung Sopirnya cukup lihai dan menguasai medan, sehingga mobil tidak tertahan atau terbenam di dalam lumpur. Kondisi jalannya benar-benar seperti sawah yang siap ditanami padi atau menyerupai sebuah kubangan kerbau. Setelah 15 menit berkubang di dalam lumpur, bus pun bisa keluar dengan selamat dan hatiku pun merasa plong. Sepanjang jalan setelah kubangan bus tersebut masih dijumpai hutan-hutan alam di sisi kiri-kanan jalan, perkebunan karet, dan ladang-ladang padi penduduk.
Sesudah kampung Kulan dijumpai sebuah Jembatan beton yang panjangnya serupa dengan keempat jembatan sebelumnya. Di bawahnya mengalir Sungai Langan yang juga masih tampak jernih karena di tepiannya masih tumbuh aneka pohon nan rindang. Tidak jauh dari Sungai Langan ada sebuah rumah panjang modern di sisi kanan jalan. Bentuknya seperti rumah panjang Kulan: berdinding semen, tanpa tiang-tiang penyangga, dan beratapkan seng. Ini disebut Kampung Ungak. Penduduknya juga dari Suku Dayak Iban.
Bertetangga dengan Kampung Ungak, di sisi Kiri jalan juga terdapat sebuah rumah panjang dengan model yang sama. Rumah panjang ini dihuni oleh Suku Dayak Iban juga. Ini dinamakan Kampung Apan. Tidak jauh dari betang Apan berdiri berdampingan bangunan SD dan SLTP. Sekitar 200 meter dari persekolahan tersebut ada sebuah jembatan. Di bawahnya mengalir Sungai Apan dan masih terlihat jernih meskipun pepohonan nan rimbun tidak tampak di tepiannya.
Sesudah perkampungan Aban masih terlihat hutan alam di tepian jalan diselingi ladang-ladang padi penduduk, perkebunan coklat dan karet milik penduduk. Daerah Apan dan Ungak kelihatannya jauh lebih sempit dibandingkan kampung-kampung Iban sebelumnya. Namun, kedua kampung ini terlihat lebih ramai dari kampung-kampung sebelumnya, karena ada warung-warung dan toko berdiri tepi jalan. Selain itu, adanya SLTP juga membuat kampung ini kelihatan lebih ramai.
Kurang lebih 2 Km dari Apan, dijumpai lagi sebuah rumah betang campuran tradisional-modern: berbentuk panggung, berdiding kayu, tetapi beratapkan seng. Ini disebut kampung Sei Tebelian yang dihuni juga oleh mayaritas Suku Dayak Iban. Di samping betang mengalir Sungai Tebelian yang tidak terlalu lebar dan masih terlihat jernih. Sepanjang perjalanan setelah melewati kampung Sei Tebelian masih dijumpai hutan-hutan alam di tepian jalan, diselingi kebun-kebun karet dan ladang padi milik penduduk. Tiga kilometer dari kampung Sei Tebelian dijumpai lagi kubangan bus sepanjang 50 meter. Karena kubangannya lebih dalam, maka kondektur meminta semua penumpang turun dan berjalan kaki, membiarkan sopir dan kondektur berusaha mengeluarkan bus dari belitan lumpur. Kurang lebih 10 menit bermanuver kiri-kanan, bus pun bisa keluar dengan selamat dari dalam kubangannya dan kami pun boleh diperkenankan numpang kembali untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak jauh dari kubangan lumpur dijumpai rumah-rumah penduduk yang tersebar dan berjejer di tepian jalan. Tidak ada lagi rumah panjang yang terlihat di tempat ini. Di sini disebut kampung Kerangkang. Yang mendiami kampung ini adalah orang-orang Dayak Tamambaloh. Mungkin karena penduduknya tidak tinggal di rumah betang, maka perkampungannya tampak lebih luas dari kampung-kampung Suku Iban sebelumnya. Di dekat perkampungan juga ada sebuah jembatan dan di bawahnya mengalir Sungai Temau nan jernih. Di tepian Sungai Temau masih berdiri kokoh pohon-pohon besar dan rimbun. Di daerah ini makin banyak dijumpai perkebunan karet di tepian jalan. Pokok-pokok karet sangat subur dan sudah ditoreh.
Setelah Kampung Kerangkang (1O Km), mulai terlihat warung-warung dan penginapan sederhana di tepian jalan. Inilah kampung Mataso, persimpangan menuju Banua Martinus. Bus pun keluar dan belok ke kiri dari jalur jalan lintas utara Putussibau-Perbatasan Malaysia menuju pusat Kecamatan Embaloh Hulu. Kampung pertama yang dijumpai adalah Kampung Pinjauan dengan sebuah rumah betang, Kampung Belimbis dengan sebuah rumah betang yang sudah hangus dilalap si jago merah pada tahun sebelumnya dan masih dalam proses pembangunan ulang, ada gang masuk menuju Kampung Bukung, kampung Keraam yang menjadi pusat Paroki Santo Martinus, Banua Martinus, Banua Ujung, dan di ujung aspal yang bagus ada kampung Teliai. Semua kampung ini dihuni Suku Dayak Tamambaloh dan di belakang semua perkampungan ini mengalir sebuah Sungai Besar, Sungai Embaloh nan jernih dan asri. Jarang dijumpai rumah panjang khas Tamambaloh di wilayah ini kecuali di Pinjauan, Belimbis, Bukung dan Keraam. Sebagai sebuah pusat Kecamatan, kampung-kampung ini terlihat lebih ramai karena letakknya berdampingan satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, sampailah saya di tempat tugasku yang baru dengan membawa satu pertanyaan besar: mengapa orang Dayak hidup di tepian sungai? Mengapa perkampungan mereka selalu berdekatan dengan sungai-sungai yang terjaga dan terawat baik. Rupanya Sungai yang jernih dan hutan yang lestarilah yang menghidupi mereka. Karena dari kedua hal ini mereka dihidupi. Sungai dengan banyak ikan menjadi jaminan lauk-pauk bagi mereka, tempat mereka mandi, mencuci, dan minum. Hutan yang lestari merupakan penjamin bagi air yang jernih, sumber makanan bagi ikan dan labi-labi yang menjadi lauk pauk mereka. Selain itu, hutan yang lestari juga menjadi pembentuk identitas kultural mereka. Karena itu, apabila hutan dirusak, air menjadi tidak jernih. Identitas kultural mereka pun teracam punah. Di tempat inilah aku akan memulai hari-hariku bersama mereka, mengabdi sampai batas waktu tidak tentu. Tekadku tetap bulat: “Masyarakat Embaloh Hulu tidak perlu sawit dan tambang untuk membuat mereka sejahterah. Alam mereka yang lestari telah menyejahterahkan mereka.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H