Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Money

Sawit: Solusi Ekonomi Rakyatkah?

17 Maret 2012   04:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:55 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kelangkaan energi yang menimpa bangsa-bangsa di dunia, para pemimpin bangsa mulai mencari alternatif energi terbarukan. Karena disadari bahwa cadangan energi fosil akan habis. Karena itu,sumber energi terbarukan mulai digalakan. Beberapa jenis tanaman cukup menjanjikan untuk dijadikan sebagai sumber energi alternatif seperti jagung, kacang kedelai, jarak, enau dan sawit.

Dalam rangka mengatasi kelangkaan energi inilah, lahan-lahan pertaniaan di wilayah tropis menjadi incaran para investor. Hutan-hutan dan lahan gambut dibuka dan ditanami aneka tanaman tersebut tidak terkecuali hutan-hutan di Indonesia. Karena sawit menjadi favorit/primadona, maka pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya menjadi target utama pengembangan komoditi sawit oleh pemerintah Indonesia.

Mengapa menjadi target? Karena pulau-pulau tersebut dianggap masih mempunyai lahan kosong alias lahan tidur. Akibatnya, pulau-pulau tersebut dikapling-kapling, dipetakan dan dijual ke berbagai investor. Pemiliknya bukan lagi rakyat yang lahir turun-temurun di atas pulau-pulau tersebut, tetapi para pemodal baik lokal maupun mancanegara. Maka bukan rahasia lagi, jika tanah, hutan, sungai, gunung di pulau-pulau tersebut dikuasai oleh segelintir orang kaya berkat “perselingkuhan mesra” dengan penguasa lokal, sementara rakyat yang menghuni pulau-pulau tersebut dijadikan “orang asing” di atas tanah dan pulaunya. Semuanya untuk apa dan untuk siapa? Atas nama UUD 1945 bahwa tanah, air, udara, dikuasai oleh negara dan digunakan sebanyaknya-banyaknya bagi kesejahteraan rakyat, pemerintah mengambil alih seluruh lahan masyarakat lokal, masyarakat adat di pulau-pulau tersebut untuk diserahkan kepada pihak lain untuk dikelolah dan rakyatnya sendiri yang menghuni pulau-pulau tersebut dijadikan “kuli” di atas tanah leluhur mereka.

Sebenarnya untuk kemajuan siapa? Untuk kesejahteraan siapa? Yang ada hanyalah untuk kesejahteraan elit-elit penguasa di tingkat lokal. Meski rakyat di pulau-pulau tersebut hidup dalam kemiskinan, para pejabatnya bergaya seperti pengusaha. Karena mereka bukan hanya hidup dari gaji, tetapi terutama dihidupi oleh para pengusaha melalui fee-fee yang mereka dapatkan dalam proses perizinan, pengoperasian, dan pasca pengoperasian perusahaan-perusahaan skala besar. Karena itu, para penguasa lokal di atas dasar UU otonomi daerah menggunakan berbagai macam cara untuk memasukkan sebanyak mungkin investor di atas tanah rakyatnya untuk ditanami sawit. Hutan yang dijaga oleh masyarakat adat secara turun-temurun diambil alih, dijadikan wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) melalui konsep tata ruang kabupaten dan kemudian diserahkan kepada pengusaha sawit. Sementara itu, PERDA yang mengakui HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT tidak akan pernah dibuat. Inilah yang sebetulnya bentuk baru dari penjajahan alias NEOKOLONIALISME.

Oleh karena itu, merupakan sikap yang tepat ketika seluruh masyarakat adat Embaloh Hulu mendesak Bupati Kapuas Hulu untuk menghormati kedaulatan rakyatnya mengelolah tanah, air, dan hutan mereka sendiri dengan beberapa poin tuntutan berikut ini:

a. Menolak Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan perusahaan besar lainnya di wilayah Masyarakat Adat Kecamatan Embaloh Hulu.

b. Meminta Pemerintah daerah Kabupaten Kapuas Hulu Untuk Membatalkan Izin-izin Perkebunan Kelapa sawit dan perusahaan besar lainnya di wilayah masyarakat Adat Kecamatan Embaloh Hulu

c. Menuntut Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan Dewan Perwakilan Daerah ( DPRD) untuk membuat peraturan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat (wilayah Adat, Hukum adat, dan adat istiada).

d. Meminta Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu untuk mengembalikan peruntukkan dan pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat adat Kecamatan Embaloh Hulu

e. Menuntut Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu mengubah tata ruang wilayah yang berkaitan dengan Areal Penggunaan Lain ( APL ) di Kecamatan Embaloh Hulu supaya pengelolaannya di kembalikan kepada masyarakat adat

f. Mendorong perumusan tata ruang wilayah Kabupaten Kapuas Hulu dengan melibatkan peran serta masyarakat adat.

Pertanyaannya, mengapa sampai ada penolakkan seperti ini? Karena sebagian besar wilayah Embaloh Hulu saat ini sudah menjadi bagian dari Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). Masyarakat sudah iklas menyerahkan sebagaian besar dari hutan adat mereka yang secara turun-temurun dilestarikan dengan mengedepankan kearifan lokal untuk dikonservasi oleh negara demi kepentingan banyak orang. Masyarakat adat sadar bahwa tanah dan hutan yang telah dikonservasi tidak bisa mereka kelolah untuk ditanami padi, karet, coklat, dll untuk keperluan keluarganya.

Karena itu, masyarakat ingin mempertahankan lahan mereka yang tersisa, yang tidak termasuk dalam areal TNBK untuk dikelolah oleh anak-cucu mereka di kemudian hari. Dari sebab itu, merupakan sebuah tindakan irosional dan semena-mena jika PEMDA Kapuas Hulu malah merampas tanah dan hutan masyarakat adat sekecamatan Embaloh Hulu yang tesisan dan yang merupakan kawasan penopang TNBK untuk diserahkan kepada PT Rimba Utara agar dikonversi menjadi lahan sawit meskipun masyarakat setempat terus melancarkan aksi penolakkan.

Apa pun yang terjadi masyarakat adat sekecamatan Embaloh Hulu tetap bersikukuh mempertahankan lahan mereka yang tersisa dan siap mengusir siapa pun yang mengantongi izin Bupati Kapuas Hulu di wilayah mereka demi masa depan anak cucu mereka dan demi pesan leluluhur mereka: “kami tidak mewariskan apa pun juga untuk anak cucu kami. Yang kami warisi hanyalah tanah yang subur, air sungai yang jernih, hutan yang lestari, dan udara yang bersih. Karena itulah napas kami orang Dayak!” Memang tanah, air, dan hutan adalah pembentuk identitas kultural masyarakat Dayak. Jika salah satu diambil atau dirusak maka tidak ada lagi identitas kultural Dayak di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun