Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengemis Jalanan: Berpura-pura ataukah Sungguh-sungguh Miskin?

4 Februari 2012   15:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:04 2282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_158993" align="aligncenter" width="580" caption="Sumber Gambar Ilustrasi:kfk.kompas.com"][/caption]

Semasa masih tinggal di sebuah asrama di Bandung, kediaman kami sering dikunjungi oleh banyak orang tak dikenal dengan penampilan lusuh, kumal, untuk meminta sumbangan. Biasanya, yang paling rajin membukakan pintu dan memberikan sumbangan adalah adik-adik tingkat dari berbagai pelosok di Indonesia yang masih terbilang lugu dengan cara hidup perkotaan.

Sementara itu, yang merasa senior karena telah lama hidup di Bandung, seringkali cuek saja ketika ada yang berpenampilan kumal mampir di depan pintu asrama dan mengebel. Bagi para senior ini, para pengemis yang saban hari mampir di asrama hanya berpura-pura berpenampilan lusuh, mengarang cerita sedih, melakoni wajah memelas untuk membangkitkan rasa belaskasihan dari para calon korban. Tetapi sesungguhnya tidak semuanya benar-benar miskin dan tidak mampu bekerja.

Pernah ketika melewati suatu jembatan penyeberangan ada seorang ibu dengan anak di gendongan menyodorkan tangan ke arah para pejalan kaki yang sedang lewat. Kebetulan kami, sebagai mahasiswa baru juga melewati jembatan tersebut bersama beberapa senior yang diperintahkan oleh Bapak Asrama untuk memperkenalkan kami jalan-jalan di kota Bandung. Kami pun melewati ibu dengan anak di dalam gendongannya. Seorang sahabat pemula, memberikan lembaran lima ribu rupiah kepada ibu pengemis itu. Apa yang terjadi selanjutnya sungguh mengejutkan saya dan membekas hingga saat ini. Senior kami mulai menceramahi kami bermacam-macam hal. Intinya, ketika masuk kota-kota besar di tanah Jawa, jangan mudah tertipu dengan penampilan orang. Banyak yang berpura-pura miskin. Mereka yang mengemis adalah orang-orang malas, karena tidak memanfaatkan anggota tubuh yang utuh pemberian Tuhan untuk bekerja keras, membanting tulang, dan memperoleh rezeki dan makan dari hasil keringat mereka sendiri. Seorang senior pun mengatakan: "hati-hati dengan pengemis apalagi yang menggendong anak kecil di perempatan jalan, di emperan pertokoan, jembatan penyebrangan, atau yang mampir ke rumah. Mereka itu diorganisir, diberi makan, dan anak dalam gendongan mereka terkadang adalah anak-anak sewaan." Duh....bagi saya yang masih baru memasuki Kota Bandung pada saat itu sangat terkejut mendengar penjelasan senior saya dan bertanya-tanya: benarkah kenyataannya memang demikian?

Akan tetapi, sebuah pengalaman lain mengubah kembali cara pandang saya yang penuh curiga akan "lakon kemiskinan palsu" seperti yang disampaikan senior-senior saya. Suatu ketika terjadi pergantian Bapak asrama, seorang pastor tua asal Belanda. Ia dipindahkan dari pedalaman Kalimantan dan menjadi Bapak Asrama kami yang baru. Beliau juga baru di Kota Bandung.

Ketika hari pertama, sepulang kuliah, di meja makan, saat makan bersama, dia mengisahkan pengalaman hari itu di asrama. "Tadi siang, ketika kalian di kampus, ada seorang ibu dengan anak kecil datang ke rumah kita, mengebel pintu. Saya pun membukakan pintu dan menanyakan ada keperluan apa. Sambil menenangkan anak dalam gendongannya yang merengek-rengek, ia mengatakan dengan wajah memelas bahwa ia dan anaknya sudah ditinggalkan suami, tanpa rumah, sudah seharian tidak makan. Saya pun tergerak dan menawarkan beras, tetapi dia menolaknya, karena tidak ada tempat untuk memasak. Saya menawarkan nasi, dia pun menolak karena terburu-buru, katanya. Akhirnya, saya memberikan dia uang sebesar Rp 200.000 agar dia bisa membeli makan dan susu anaknya."

Mendengar penuturan Bapak Asrama kami tersebut, seorang senior nyeletuk: "Pastor terlalu lugu. Ibu tuh bohong. Ibu dengan ciri-ciri itu sering mampir kemari, tetapi kami cuekan saja karena kami tahu dia datang selalu dengan cerita yang sama untuk menjerat orang-orang baru di rumah ini. Sayang dah, uang sebanyak itu diberikan kepada orang yang tidak tepat."

Jawaban pastor tua kemudian menyentak sanubariku yang terdalam. "Ingatlah dan catatlah kata-kataku hari ini! Hidup di kota besar seringkali membuat hati kita yang awalnya lembut dan hangat menjadi keras dan dingin terhadap penderitaan sesama. Hidup di kota memang sulit dan penuh intrik. Tetapi, jangan sampai menutup mata hati kita terhadap penderitaan sesama. Bagi saya, tidak peduli apakah ibu itu dan yang lainnya menipu untuk mendapatkan bantuan. Menipu atau tidak, itu urusan dia dengan Yang Di Atas. Kewajibanku hanyalah membagikan apa yang kupunya kepada mereka yang meminta pertolongan. Saya tidak merasa rugi karena kehilangan uang Rp 200.000 jika kemudian ternyata kata-katamu benar bahwa ibu itu telah menipu. Karena tugasku bukan meneliti apakah ia berpura-pura miskin atau tidak sebelum memberi. Kewajibanku memberikan tanpa memandang apakah ia benar-benar miskin atau berpura-pura berpenampilan miskin. Itulah ketulusan."

Kami terdiam. Meski ada yang kemudian berkomentar di belakang sesudah jam makan bersama. "Kita lihat saja, apakah ia konsisten dengan kata-katanya, ketika banyak orang dengan penampilan seperti itu menyerbu rumah ini di hari-hari yang akan datang." Ternyata, sepanjang kami hidup bersama pastor tua asal Belanda ini, kami menyaksikan bahwa ia tetap konsisten dengan prinsip dan keyakinannya. Meskipun bagi sebagian teman mengatakan: "yang lugu seperti dia pasti akan menjadi sasaran empuk orang-orang dengan niat jahat." Tetapi bagiku, ia telah mengajarkan kepadaku apa artinya ketulusan itu dengan teladan hidupnya.

Sumber: Buku Harian pribadi, sebuah catatan usang di masa lalu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun