Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Kebudayaan Bajawa Sekilas Pandang

12 Januari 2012   14:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:58 11495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada tiga jenis rumah adat (Sao Meze) yakni Sao Saka Pu’u (rumah pokok), Sa’o saka lobo (rumah pendamping rumah pokok) dan sejumlah Sao Pibe/Dai (rumah adat lainnya dari para anggota suku/klan). Sao keka/sao keka.

Proses membuat rumah adat yang harus dilalui adalah:

  • Zepa Kolo : mempersiapkan alat ukur yang terbuat dari bilah-bilah bambu.
  • Ka Kolo/Basa Mata Taka.Upacara yang dilakukan sebagai awal dari proses pembuatan rumah adat.
  • Gebhe Puu Kaju. Upacara pembasmian tunas-tunas kayu yang kayunya telah diambil untuk material rumah adat baru. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha bahwa pohon yang telah diambil untuk material rumah tumbuh(bertunas) maka akan membawa sial bagi penghuni dan ana sa’o (anggota rumah/suku).
  • Bama Ngaru Kaju. Bahan sa’o yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku/anggota sa’o yang akan dibangunn.
  • Weti. Weti adalah proses untuk memahat atau relief atau simbol-simbol tradisional orang Ngadha.
  • Tore ngawu. Membawa semua material sa’o dari tempat persiapan akhir menuju ke dalam kampung.
  • Tere Leke/Tere Pudha. Acara Zia Ura Ngana Basa Leke yaitu pengorbanan hewan korban (babi) dalam rangka menyucikan semua meterial sa’o yang akan dibangun terutama leke sebagai bahan dasar sekaligus pemberian makan kepada leluhur.
  • Mula Leke: adalah pemasangan tiang sa’o (leke) sebanyak 4 (empat) buah yang terbuat dari kayu hebudengan bantuan alat ukur yang terbuat dari bambu yang disebut Suru Nuba.
  • Se’a Tenga : Tenga adalah balok besar penghubung antar leke. Se’a tenga leke adalah pemasangan balok besar (tenga) untuk menghubungkan atau mengikat antar leke.
  • Dolu/fedhi wae/dolu wae : menentukan rata atau tidaknya leke yang telah dipasang dengan mericiki air pada pertengahan tenga, bila jatuhnya atau mengalirnya air tegak lurus dari atas ke bawah berarti posisileke dan tenga yang telah dipasang sudah pas.
  • Soka Leke : Soka leke pada dasarnya adalah sebuah maklumat atau pernyataan dari para pemilik sa’o atau anggota suku kepada khalayak tentang kesanggupan anggota suku serta proses yang telah dilalui sesuai dengan tahapan-tahapan dalam membangun sa’o mereka.
  • Remi Ube/Kobo Ube. Pemasangan ube sa’o secara keseluruhanselain pintu atau pene sa’o dengan urutan sebagai berikut : Ulu-wewa , kemo-pali (belakang-depan, kiri-kanan). Ulu-wewa melambangkan mama atau induk yang melahirkan, sedangkan kemo-pali melambangkan anak yang dilahirkan, sehingga sebagai mama harus dipasang terlebih dahulu sebelum anak.
  • Wa’e Sa’o. Memberi atap rumah adat. Atap rumah adat tradisional biasanya dari ilalang.
  • Tege Sua Sa’o dan Kawa Pere.Tahapan ini adalah proses lanjut yg dilaksanakan setelah pembangunan atap rumah selesai yakni memasukkan symbol-simbol penting yang merupakan lambing dan identitas rumah yakni Sua Sa’o (lambang hak atau yang disebut juga dengan sertifikat tradisional) dan Kawa Pere (lambang kebesaran, kewibawaan sesuai dengan status rumah adat di dalam sebuah suku).
  • Ka Sa’o. Acara puncak sebagai pentabisan rumah adat yang baru sebagai pertanda bahwa rumah adat ini dinyatakan sehat seseuai dengan ketentuan adat untuk dihuni oleh Ana Sa’o. Pada acara ini biasanya dipentaskan tarian Jai Laba Go dan diikuti dengan penyembelihan kerbau dan babi. Tahapan ini akan dihadiri oleh semua Ana Woe (anggota suku/klan), Wai Laki (kelurga besar karena hubungan perkawinan),Lobo Tozo tara dhaga (kerabat jauh dan hubungan perkawinan).

[caption id="attachment_155249" align="aligncenter" width="640" caption="Contoh Rumah Adat Bajawa di Kampung Gurusina (Sumber:baltyra.com)"]

13263824871997499222
13263824871997499222
[/caption] Akhir Kata

Dari uraian di atas tampak bahwa pandangan kosmologi orang Bajawa sangat mempengaruhi cara hidup mereka. Pemahaman bahwa ada kekuatan lain (yang mutlak) yang menguasai semesta baik di tingkat atas maupun bawah melahirkan sejumlah upacara/ritual adat yang pada intinya "memohon" keselamatan, restu, dan ucapan syukur atas apa yang telah dialami oleh setiap orang Bajawa dalam hidup pribadinya, di dalam kelurga, di dalam suku maupun di dalam kampung.  Muara dari semua upacara ini, adalah menjaga harmoni dengan sesama, alam semesta, dan Sang Penguasa Jagat Raya. Kesatuan dengan alam sebagai makrokosmos sangatlah penting bagi orang Bajawa karena tindakan melukai sesama, mencederai yang lain dapat mengundang murkan alam. Karena itu, sejumlah upacara yang terkait religiusitas asli yang dipaparkan di atas merupakan upaya untuk meredakan murka alam dan Penguasa Jagat Raya atas kehidupan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun