Bagi masyarakat Bajawa, seseorang dinyatakan mulai dewasa apabila ia sudah mengalami datang bulan (ngodho wula). Sejumlah upacara dilakukan khusus untuk wanita yakni:
- Lege Mote (konde rambut). Khusus untuk anak perempuan rambut tidak boleh dicukur lagi dan dibiarkan panjang supaya bisa dikonde.
- Peti Kodo dan Sipo Sapu (memberi pakaian). Peti kodo artinya memberi pakaian kepada anak perempuan sedangkan sipo sapu memberi pakaian pada anak laki-laki. Mereka yang beranjak remaja tidak boleh telanjang lagi.
- Kiki Ngi’i (potong gigi): bertujuan untuk mendewasakan seorang gadis sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut.
Upacara Dewasa
Bagi masyarakat Bajawa, kedewasaan ditandai dengan perkawinan. Untuk sampai pada jenjang perkawinan, ada beberapa tahap yang dilewati:
- Beti tei tewe da moni neni. Tahap perkenalan antara pria dan wanita biasanya pada saat pesta adat Reba(pesta syukur panen tahunan).
- Beku mebhu tana tigi. Pihak laki-laki mengadaptasi diri dengan gadis dan keluarga gadis, tetapi tetap tidur terpisah. Sang pria tidur bersama saudara laki-laki dan ayah dari calon istrinya. Sehari-hari ia harus terlibat penuh dalam ritme dan aktivitas hidup seluruh keluarga besar calon istrinya. Di sinilah, sang pria diberi kesempatan untuk mengenal lebih dekat keluarga gadis pujaannya sekaligus akan dinilai oleh seluruh anggota keluarga besar gadis pujaannya: apakah seorang yang rajin, jujur, setia, atakah sebaliknya. Singkatnya, menghindari kesan membeli kucing dalam karung. Jika pria merasa Oke dengan pilihannya, ia dapat memutuskan untuk mengajak keluarganya meminang sang gadis. Jika tidak cocok, dia berhak menolak atau ditolak oleh pihak keluarga wanita.
- Bere tere oka pale: keluarga pihak laki-laki datang meminang anak gadis. Sang gadis diminta secara baik-baik oleh pihak keluarga pria. Pada kesempatan inilah kedua belah pihak dapat mendapatkan kepastian mengenai kelanjutan hubungan mereka. Rejo kaju...
- Idi Nio Manu: Keluarga laki-laki beriringan menuju rumah calon besan membawa sejumlah barang sebagai prasyarat untuk pertunanganan adat.
- Zeza/ Sui tutu maki Rene. Zeza merupakan tahapan puncak dalam mengesahkan pasangan wanita dan laki-laki untuk hidup berdampingan sebagai suami dan istri. Dalam bahasa adat disebut ”lani seli’e, te’e setoko’ (tidur beralaskan satu tikar dan satu bantal). Pada kesempatan ini kedua mempelai, secara adat sudah resmi dan sah menjadi suami dan istri. Akan tetapi, mereka belum diperbolehkan tidur bersama dan melakukan hubungan layaknya suami dan istri karena secara agama Katolik, perkawinan mereka belum sah. Karena itu, setelah tahap ini biasanya dilanjutkan dengan kursus persiapan perkawinan (KPP) sebagai syarat untuk pernikahan secara Katolik. Apabila tahap ini sudah dilewati, maka kedua mempelai akan mengikrarkan janji setia di hadapan Allah di gereja. Dengan demikian, apa yang telah diikat oleh adat, semakin diperkuat lagi melalui ikatan taktercaikan oleh agama. Setelah pernikahan agama dilangsungkan barulah kedua mempelai menjadi suami dan istri yang sah dan diperkenankan untuk tidur bersama.
Upacara Kematian
Masyarakat Bajawa memandang kematian sebagai ’Dewa da Enga atau Nitu da Niu’. Dewa adalah kekuatan di atas yang baik (Dewa Zeta) yang memberi kehidupan dan kematian. Nitu adalah kekuatan di bawah yang jahat (Nitu zale) yang bisa mencabut nyawa manusia secara paksa. Karena itu di kalangan masyarakat Bajawa ada dua jenis kematian:
- Mata Ade: Mati yang wajar karena penyakit medis. Upacara penguburan melalui tahap: Roko (memandikan dan memberi pakaian), Basa Peti (membuat peti mati), koe gemo (menggali kubur), gai boko(melepaspergikan jenasah), pa’i (menghibur keluarga selama tiga malam) dan Ngeku (kenduri) yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa babi, kuda atau kerbau.
- Mata Golo. Mati yang tidak wajar akibat kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh. Biasanya jenasah mereka tidak diperkenankan dibawa masuk ke delam rumah. Upacara penguburan melalui proses: Pai api (menjaga mayat halaman rumah), tau tibo ( upacara mencari penyebab kematian), keo rado (upacara pembersihan),tane (menguburkan mayat) dan e lau kora (membuang seluruh peralatan yang dipakai ke arah matahari terbenam). Upacara ini biasanya terkesan menyeramkan, karena diyakini bahwa orang yang kematiannya tidak wajar, pasti di masa lalu dari leluhurnya pernah mengalami hal yang serupa atau melakukan tindakan yang merupakan aib (misalnya:incest) yang tertutup. Karena itu, harus dicari sumber penyebabnya dengan acara pa'i tibo dan disembuhkan akar masalahnya melalui upacara rekonsiliasi dengan masa lalu. Jika upacara tidak dilakukan maka bala yang sama akan terus menghantui ank cucu sampai tujuh turunan berikutnya.
[caption id="attachment_155246" align="aligncenter" width="648" caption="Pembunuhan Hewan Kurban (Kerbau) dalam Salah Satu Upacara Adat"]
Masyarakat Bajawa mengenal sejumlah upacara pembersihan diri atau pemulihan diri antara lain:
- Upacara Woko Liko Kada. Upacara pemulihan bagi seorang yang telah membunuh sesamanya dan telah menjalankan hukuman penjara. Ia dinasehati agar ’Sau ma’e Ngada Bhuja ma’e laji’ (parang dan tombak jangan lagi memakan korban). Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi untuk rekonsiliasi dengan semua pihak termasuk dengan alam. Karena diyakini bahwa tindakan membunuh sesama juga merusak keharmonisan dengan alam semesta.
- Upacara Rubu Rao.Upacara pemulihan nama baik seseorang yang telah dicemari oleh seseorang. Pelaku dinasehati dengan ungkapan adat ’Toke ma’e deke mote ma’e weo’ (jangan mencemari nama orang lain). Rekonsiliasi dengan sesama oleh karena lidah manusia yang setajam belati.
- Upacara Dhoro Ga’e/Nuka Nua.Upacara pemulihan seorang perempuan (rang Ga’e) yang kawin dengan laki-laki rang bawah (bukan ga’e). Umumnya mereka diusir dari kampung dan setelah beberapa tahun mereka kembali ke kampung dengan upacara ’Nuka nua’ (masuk kampung).
- Upacara Sebhe Bhaku dan Basa Nata Rogho. Upacara pemulihan bagi laki-laki dan perempuan yang berzinah namun keduanya tidak bersedia untuk hidup bersama sebagai suami istri . Untuk jenis kesalahan ini pihak laki-laki dikenakan sangsi adat berupa kerbau atau kuda sesuai dengan peraturan adat yang berlaku dan harus meminta maaf kepada seluruh penghuni kampung atas kekhilafan yang telah mereka lakukan.
- Upacara Kati. Upacara pemulihan bagi seorang pria yang berzinah dengan istri orang (pela). Pihak laki-laki selalu pada posisi ’salah’ meskipun mungkin kenyataannya ia digoda oleh perempuan. Pihak laki-laki wajib membawa sejumlah barang (kati) ke rumah suami dari istri yang dizinahi. Suami dari istri yang berzinah jika menerima kati, wajib memulihkan kembali perkawinan mereka dengan tetap saling memaafkan. Kati: inde loda/ukuran.
- Upacara Sewu Ngewu. Upacara pemulihan dalam bencana kebakaran kampung. Upacara ini melalui beberapa tahap yakni Zoze Api (memutuskan hubungan dengan kutukan api), Kago Te’e Bola (memasukan barang-barang ke dalam rumah), Pa’i Tibo Taki Api (mencari petunjuk ritual tradisional untuk mengetahui sebab-sebab kebakaran), Sewu Ngewu (menyembelih kerbau) sebagai hewan kurban.
Upacara Bercocok Tanam
Masyarakat Bajawa memandang bertani dan beternak sebagai suatu keharusan dan sumber kehidupan yang pertama dan utama. Ini terungkap dalam bahasa adat: ’Bugu kungu, uri logo’ (kuku tumpul dan punggung terbelah: makan dari hasil kerja keras mengolah tanah). ’Tuza mula, wesi peni’ (harus menanam dan beternak). Ucapan syukur atas hasil panen dilakukan dengan pesta adat yang disebut Reba dan rasa gembira dinyatakan dengan tarian ’O Uwi’ (memuja ubi, makanan nenek moyang suku Bajawa). Tarian tandak bersama sambil menyanyi membentuk sebuah lingkaran.
Upacara Membangun dan Masuk Rumah Adat
Bagi masyarakat Bajawa, rumah adat adalah lambang kekuatan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilambangkan dengan ’Lasu Wisu’ dan perempuan dilambangkan dengan ’Lia loki’. Pertemuan antara lasu wisudan lia loki membuat rumah adat menjadi kuat.