Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Seni Ikonografi Masyarakat Dayak Tamambaloh

20 Desember 2011   07:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:00 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masyarakat Dayak Tamambaloh secara turun-temurun mendiami Bantaran bagian Hulu Sungai Embaloh. Kekhasan masyarakat Tamambaloh dibandingkan dengan Suku lain bisa dikenal melalui pernak-pernik khazanah kebudayaannya. Salah satu yang menjadi kekhasan kebudayaan masyarakat adat Tamambaloh adalah Seni ikonografinya.

Diakui oleh beberapa tokoh adat bahwa Seni ikonografi di kalangan masyarakat adat Tamambaloh kurang berkembang di zaman sebelum kehadiran Gereja Katolik, meskipun untuk kepentingan pribadi terkait dengan pembuatan peti mati, rumah betang, Seni ikonografi tetap hidup. Hal ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan asli masyarakat Tamambaloh bahwa yang berhak membuat ukiran ikonografi hanyalah orang-orang khusus melalui ritus dan aturan tertentu. Pandangan asli ini diakui oleh beberapa seniman ikonografi menjadi penghalang kreativitas dari para seniman.

Akan tetapi, situasi ini mulai berubah di era tahun 1960-an, ketika Gereja Katolik sangat mendukung penggunaan Seni ikonografi sebagai desain interior bangunan Gereja, Kapel, dan sarana-prasarana rohani lainnya. Untuk di Kecamatan Embaloh Hulu, perkembangan seni Karawitan mulai didorong oleh Pastor Hoogland, SMM, seorang misionaris Belanda. Beliau mulai mengumpulkan para Seniman ikonografi untuk melukis ikon di beberapa bagunan milik Gereja Katolik Paroki Santo Martinus seperti di  Gereja, Rumah Sakit, kediaman para biarawan-biarawati, Gedung serba guna, dll. Dukungan moral dan apresiasi yang tinggi dari Gereja Katolik terhadap warisan leluhur Dayak Tamambaloh sangat mendorong perkembangan Seni Ikonografi Banuaka Tamambaloh di kemudian hari.

Mengenal Beberapa Bentuk Seni Ikonografi Masyarakat Dayak Tamambaloh

Talayong/Kalangkang

[caption id="attachment_150035" align="aligncenter" width="648" caption="Karawitan Talayong (Lokasi Gambar: Interior Gereja St Martinus-Dok.Pribadi)"][/caption]

Talayong/Kalangkang merupakan tempat sesajian yang berisi bermacam-macam hasil jerih payah dan usaha masyarakat Tamambaloh selama setahun. Berbentuk segi empat, terbuat dari papan atau bambu yang dianyam dengan rotan sebagai preketnya, biasanya berukuran kurang lebih 1-2 meter. Proses pembuatannya biasanya dilakukan secara adat Jarat tangan, Isauti, yang disusul dengan doa-doa agar pembuatnya tidak asau atau mendapat musibah. Talayong/Kalangkang merupakan simbol ucapan syukur masyarakat Tamambaloh kepada Sampulo Padari (Sang Pencipta). Pada acara Pamole Beo (pesta syukur panen khas masyarakat Tamambaloh), Kalangkang menjadi salah satu perlengkapan upacara yang paling utama. Ketika upacara adat Pamole Beo berlangsung, seluruh warga rumah betang (rumah panjang khas masyarakat dayak) akan mengelilingi Talayong sambil bernyanyi, menari dan mengucapkan doa-doa permohonan kepada Sampula Padari.

Surang Kale (orang-orangan) yang bergandengan tangan mengitari Talayong merupakan simbol masyarakat Tamambaloh yang selalu saling beragandengan tangan dalam membantu sesama (Sikondo, Sasaio, dan Sikatio). Artinya, hidup manusia haruslah untuk berbagi dengan sesama.

Kangkuang

[caption id="attachment_150039" align="aligncenter" width="648" caption="Kangkuang (lokasi gambar: interior Gereja Santo Martinus-Dok.Pribadi)"][/caption]

Kangkuang merupakan salah satu alat musik tradisional masyarakat Dayak Tamambaloh yang terbuat dari batang kayu utuh, tanpa persambungan. Batang kayu ini dibuat sedemikian rupa dengan pahat tradisional, dibentuk, dilubangi di bagian tengahnya sebagai penggema bunyi apabila dipukul. Proses pembuatannya melalui sebuah ritus adat khusus dengan doa-doa khusus pula. Tujuannya agar warga dan pembuatnya tidak mengalami musibah dan agar bunyi yang dihasilkan oleh alat tersebut nyaring kedengarannya. Kangkuang juga berfungsi sebagai alat yang dibunyikan untuk mengumpulkan warga masyarakat adat dan biasanya ditempatkan di depan Balai-balai adat. Teknik dan irama dalam membunyikannya pun berbeda-beda sesuai jenis pesan yang ingin disampaikan kepada seluruh warga masyarakat. Misalnya: bunyi ada pesta berbeda dengan bunyi ketika ada bahaya atau kematian. Dari jenis bunyi yang dihasilkan oleh Kangkuang ini, warga bisa menangkap pesan apa yang hendak disampaikan oleh penabuhnya.

Sang Penguasa (Ikon Kosmologi Dayak Tamambaloh)

[caption id="attachment_150042" align="aligncenter" width="648" caption="Sampulo Padari (Lokasi Gambar: Interior Gereja Santo Martinus-Dok.Pribadi)"][/caption]

Ikon Sampulo Padari di atas merupakan simbol keyakinan asali masyarakat adat Dayak Tamambaloh akan Zat Tertinggi/Penguasa Alam Semesta. Masyarakat adat Dayak Tamambaloh secara turun-temurun telah meyakini bahwa dunia ini ada Penguasanya. Penguasa ini terdiri dari penguasa alam bawah (Banua Tindanum), yang digambarkan dengan Baroae' (Naga), Penguasa Alam Tengah (Banua Mantuari/ Manusia), dan Penguasa Alam Atas ( Banua Mataso) yang disimbolkan dengan gambar Burung Enggang. Bagi masyarakat Tamambaloh, kedamaian dan ketentraman hidup di alam ini akan dirasakan bila di antara ketiga pengusa itu terjadi harmoni. Kekuasaan di alam ini akan menjadi bencana apabila di antara penguasa dan seluruh penghuni alam ini ingin saling menguasai. Di antara ketiga penguasa ini harus tunduk kepada penguasa seluruh alam semesta (Sampulo Padari).

Lumpang Painyuman [caption id="attachment_150049" align="aligncenter" width="648" caption="Lumpang Painyuman (Lokasi Gambar: Interior Gereja Paroki Santo Martinus-Dok.Pribadi)"][/caption]

Lumpang Painyuman merupakan cawan minum tradisional masyarakat adat Tamambaloh yang terbuat dari bambu yang dipotong pada salah satu buku dan membentuknya di salah satu ujung ruas. Alat ini biasanya digunakan untuk tempat hidangan berupa minuman, baik di dalam keluarga maupun untuk Manyialo Tamue (menjamu tamu) dalam keluarga atau dalam sebuah upacara adat. Lumpang ini tampak indah ketika ditambah dengan ukiran dan aksesoris yang khas dan beragam.

Pohon Kehidupan/Kayu Belian [caption id="attachment_150058" align="aligncenter" width="648" caption="Pohon Kehidupan/Simbol Jaring-Jaring Kehidupan (Lokasi Gambar: Gereja Santo Martinus-Dok.Pribadi)"][/caption]

Kayu besi/kayu endemik hutan Kalimantan. Pohon ini biasa digunakan sebagai tiang rumah betang yang umumnya berdiri di atas rawa. Kayu ini merupakan kayu kelas satu karena kekuatannya. Semakin direndam ke dalam air semakin kuat dan bertahan ratusan tahun. Bagi masyarakat Tamambaloh, pohon ini merupakan lambang bahwa di antara sesama makhlum di bumi ini saling berhubungan membentuk sebuah jaring-jaring kehidupan. Binatang membutuhkan tumbuhan, manusia membutuhkan tumbuhan, manusia membutuhkan binatang, sehingga tumbuhan dan binatang perlu dilestarikan oleh manusia. Kedamaian di alam, kesejahteraan bagi penghuni alam ini akan terpelihara dengan baik apabila sesama makhluk dapat saling menjaga keharmonisan hubungan dalam kehidupan ini. Tetapi dari antara semua makhluk di bumi, ada makhluk yang selalu mengintai untuk menggoda dengan bujuk rayunya yakni penguasa alam bawah.

Sao Langke

[caption id="attachment_150064" align="aligncenter" width="648" caption="Sao Langke/Rumah Adat Khas Tamambaloh (Lokasi Gambar: Interior Gereja Santo Martinus-Dok.Pribadi)"][/caption]

Sao Langke merupakan pusat seluruh kehidupan masyarakat adat Tamambaloh. Rumah Betang (Sao Langke) bagi masyarakat adat Banuaka' Tamambaloh tidak sekedar tempat berlindung dari panasnya terik mentari, guyuran hujan , serangan musuh dan binatang buas. Sao Langke mempunyai makna filosofis yang melambangkan persatuan, semangat gotong-royong, tepo seliro, dan kerja sama seluruh elemen masyarakat adat. Sao Langke merupakan pusat pewarisan kekayaan budaya kepada generasi penerus.

Lukisan ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat Tamambaloh di zaman jadul. Kehidupan mereka pada masa lalu hanya bergantung pada alam. Hutan dan sungai merupakan "Mega Mall" bagi masyarakat. Ingin makan daging dan sayur, tinggal ambil di hutan. Ingin makan ikan, tinggal pasang bubu dan nyelam di sungai.

Aneka Kerajinan Tangan dan Kesenian yang Terancam Punah [caption id="attachment_150073" align="aligncenter" width="622" caption="Aneka Kerajinan Tangan dan Kesenian Tradisional yang Hampir Punah (Lokasi Gambar: Interior Gereja Santo Martinus-Dok.Pribadi)"][/caption]

Menurut kesaksian beberapa tokoh adat, semua  perlengkapan tradisional yang ada dalam Karawitan di atas teracam punah karena ketiadaan minat dari generasi muda untuk menekuni cara pembuatannya. Yang tersisa di rumah-rumah betang hanyalah barang-barang pusaka warisan zaman bahula. Tuung, Basi, Apang, Sumpitan, Katalangan, Kanduayang, Saparu, Tepa' Katu, dan hasil budaya tradiosional lainnya tinnggal nama dan ada dari antaranya tidak lagi dibuat oleh generasi muda. Apa penyebabnya? Apakah akibat kemajuan?

Baroae Raksasa Penggoda [caption id="attachment_150120" align="aligncenter" width="640" caption="Baroe Raksasa (Lokasi Gambar: Interior Gereja Santo Martinus-Dok.Pribadi)"][/caption]

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat Tamambaloh meyakini bahwa hidup ini penuh dengan godaan. Godaan duniawi ini dilambangkan dengan seorang gadis cantik, molek, menawan. Di balik kecantikannya terkandung niat si jahat untuk menggoda, menjanjikan kekayaan, kenikmatan, dan kekuasaan tanpa batas. Namun sesungguhnya semuanya itu hanyalah fatamorgana yang dapat membuat manusia menjadi makhluk yang haus akan kenikmatan, kekayaan dan kekuasaan tanpa batas, sehingga menjadi tamak/serakah terhadap makhluk lainnya termasuk kepada alam semesta dan sesama manusia.

Seeokor Baroe' raksasa (naga raksasa) yang berwajah garang dan siap memangsa menggambarkan bahwa setiap akibat dari godaan dan tawaran duniawi yang menjanjikan kesenangan dan kemewahan dapat merusak keharmonisan alam semesta. Jika keharmonisan hilang, maka penguasa alam semesta akan murka dan menurunkan bencana bagi manusia melalui tanda-tanda alam seperti banjir, kemarau panjang, dan wabah penyakit. Untuk bisa mengembalikan keharmonisan ini perlu melakukan adat ngapon (minta maaf) kepada Sampulo Padari atau Penguasa Alam Semesta.

Demikianlah sekilas pengenalan karya seni ikonografi masyarakat adat Tamambaloh. Semoga memperkaya pemahman pembaca akan salah satu kekayaan kebudayaan masyarakat Indonesia dan memotivasi generasi muda untuk melanjutkan karya-karya para leluhur di tengah arus perubahan zaman yang kian menderu.

Sumber Informasi: Wawancara dengan beberapa tokoh adat yang paham tentang Budaya Tamambaloh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun