Pergilah! Pergi bersama mimp-mimpimu. Aku terlahir bukan untuk mimpi-mimpimu. Aku terlahir untuk mimpi-mimpiku. Jangan pernah berharap untuk memilikku. Aku bukan jawaban atas mimpi-mimpimu.
Ilalang. Nama yang pernah singgah di hatiku. Tapi sayang, cinta bukanlah persinggahan. Cinta adalah hidup. Kenyataan yang membuat engkau mempunyai alasan untuk hidup seribu satu tahun lagi. Cinta adalah keabadian. Setiap kali ia datang, ia akan mengingatkan kamu tentang keabadian, tentang pengorbanan. Bukan tentang saat-saat persinggahan dalam hidup.
***
Januari yang lusuh. Ketika kota sesak oleh himpitan kendaraan, manusia lalu lalang entah mereka pergi ke mana. Ia datang padaku. Membisikan kata yang telah lama di dipahatnya dalam hati. Aku telah lama memahat kata ini dalam hati, katanya. Bertahun-tahun, semenjak pertemuan kita yang pertama dan terakhir, aku melukisnya dengan tinta kesetiaan. Kalau aku datang padamu saat ini, aku hanya mau menunjukkan padamu, sudah waktunya engkau harus tahu aku memendam rindu. Begitu ia membisikan kalimat itu penuh kelembutan.
Tapi aku pergi untuk mimpi-mimpiku. Bukan untuk mimpi-mimpimu. Begitu aku menyahutnya. Aku telah berkelana jauh, melintasi gurun, padang belantara, hutan rimba untuk menggapai mimpi-mimpiku. Setiap aku melangkah, kutinggalkan jejak-jejak yang mengingatkan aku pada masa lalu. Tetapi engkau tahu, jejak-jejak itu bercerita tentang mimpi-mimpi yang telah aku lalui. Jejak-jejak itu saksi bahwa aku sedang di jalan mimpi-mimpiku melawan badai gurun, menantang binatang buas di rimba kehidupan, dan menghembus nafas bersama ilalang di padang. Dan engkau memintaku meninggalkan itu semua? Tidak! Tidak! Masih banyak mimpi yang belum aku rajut di bawah semesta ini. Aku akan terus di jalanku. Mimpi kita berbeda. Engkau akan lebih berbahagia di jalan mimpimu.
Mendung di matanya menebal mendengar sahutku. Tampaknya ia kecewa. Aku tahu ia amat kecewa. Bahasa tubuhnya tidak dapat menyembunyikan apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Bahasa tubuhnya berbicara tentang kepedihan yang amat dalam.
Ia menatapku dengan mata kecewa, tak mengira mendengar jawaban seperti itu. Aku telah meninggalkan segala-galanya, orang tuaku, saudaraku, tanah warisan kedua orang tuaku. Dan aku mau mengikuti-Nya.
Lalu, apakah engkau akan meninggalkan aku juga? Sahut perempuan bermata indah di depanku. Aku tidak menjawabnya seketika. Aku menunggu saat yang tepat, saat di mana ia siap untuk mendengar keputusanku. Dunia kita terlampau berbeda. Kita terlahir untuk mimpi-mimpi kita masing-masing. Aku terlahir untuk mimpi-mimpiku. Engkau juga terlahir untuk mimpi-mimpimu. Yang Ilahi memahat dalam hatiku sesuatu yang istimewa bagiku. Dan ia melakukan hal yang sama untukmu.
Engkau belum menjawab pertanyaanku, sahutnya dengan nada kian menyayat. Aku membiarkan emosinya mengalir. Aku tidak akan menyiramkan bensin ke tengah api. Itu berbahaya. Aku berdiam, mencoba menenangkan dirinya yang semakin gusar. Pada waktunya kita akan dihadapkan pada dua pilihan, tetap berada di dunia atau lari darinya? Aku mempunyai opsi pertama. Tetap berada di dunia. Dunia ini indah walau ia seringkali tidak menghiraukan kepedihan kita.
****
Mari kita beranjak dari sini. Ini bukan hari yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang terlalu penting untuk masa depan kita. Aku sudah lapar. Mari kita mencari tempat yang baik untuk mengisi perut kita. Ayo, nanti kamu sakit kalau terlambat makan. Aku menrik tangannya. Dengan hangat ia menyambut. Lalu kami meninggalkan tempat itu.
Di kota tempat aku mencari cahaya kehidupan kami menghabiskan hari itu. Dia bercerita tentang impiannya memeluk masa depan. Di sela perjalanan ia berkisah tentang hari-harinya yang penuh mimpi. Ia berkisah tentang pemuda yang berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan mati sebelum memiliki dirinya. Dengan nada gurau ia menjawab pemuda itu, batas umur manusia, kata sang pemazmur 70 atau 80 tahun jika kuat. Akankah engkau akan menghabiskan sisa hidupmu untuk mengejarku? Ha.....hahahahaha. Ia menertawai kisah lucu itu dan mengakhiri ceritannya; cinta tidak dapat dipaksakan walaupun dunia menawarkan langit sebagai hadiah untuk merebut hati seorang yang dicintai. Cinta itu keikhlasan sama seperti laut yang iklas menampung setiap aliran air dari daratan. Herannya, ia tak pernah penuh, tak pernah tuntas.
Aku menyimak kisahnya dalam diam, meski otakku berkata, dia memahami dengan baik apa artinya mencintai, apa artinya mimpi seorang pemuda yang berjanji untuk mendapatkan cintanya sebelum ia mati. Seolah-olah aku menjadi sadar bahwa bagi sebagian orang hidup adalah mengejar cinta hingga hilang pedih-perih, walau peluru menembus kulit.
****
Kota tua itu menyimpan seribu kenangan. Cuacanya yang dingin membuat sebagian orang enggan mandi di pagi dan sore hari. Kalau toh mereka mandi, mereka memilih untuk menggunakan air hangat. Ada sebuah legenda yang diceritakan turun temurun di kota tua itu. Seorang gadis jatuh hati pada pangeran tampan dari pulau seberang. Tetapi ia tidak dapat menikahi pangeran pujaannya itu. Sebagai tanda cintanya, ia membuat batik bermotif jantung. Mengapa jantung? Karena cinta bersumber pada hati. Dan itu adalah lambang keabadian. Dan perempuan itu berkata, aku akan mati tetapi tanda cinta ini takan lekang oleh ruang dan waktu.
Ia menyambung ceritaku, tetapi sayangnya, di kota tua ini, cuacanya yang dingin tidak saja membuat orang takut mandi tetapi juga seringkali membuat hati setiap orang beku. Aku terperanjat mendengar ucapannya. Apakah yang dimaksudkannya adalah saya? Aku mendengar engkau datang ke kota tua ini untuk mencari cahaya kebenaran. Seperti katamu, engkau meninggalkan orang tua, sanak saudaramu. Bahkan engkau meninggalkan aku juga. Dan engkau berkata, aku datang untuk mencari cahaya kebenaran. Ahhhh, aku merasa itu gombal. Cahaya tidak mungkin membekukan hati. Itu melawan prinsipnya sendiri. Cahaya pasti mencairkan hati yang beku. Kudapati dirimu sebaliknya. Aku mulai belajar tentang keraguan seperti tokoh yang pernah kau ceritakan Descartes.
Hari itu seolah menjadi hari terpanjang yang aku alami dari hari-hari yang pernah terlewati. Aku coba menjadi pendengar setia tanpa menyela setiap perkataan dari mulutnya. Melihat betapa diamnya diriku, ia menjadi heran.
Setelah makan, ia membawaku mengelilingi kota tua itu, menunjukkan kepadanya tempat-tempat wisata yang indah.
Mengapa engkau hanya diam mendengarkan celotehku? Begitu ia membuka pembicaraan di sebuah tempat wisata yang kami kunjungi. Hahahaha..hahahaha.....aku tertawa lepas seolah menunjukkan kepada dirinya tak ada yang aneh dengan sikapku. Memang tak ada yang aneh dengan sikap diamku. Sudah bertahun-tahun aku datang ke kota tua ini untuk mencari cahaya kebenaran.
Satu hal yang aku pelajari adalah bahwa diam mendengarkan termasuk salah satu sisi kebenaran hidup yang sering diabaikan manusia. Banyak orang pandai berbicara, menggunakan logika dalam menuturkan kebenaran. Tak sedikit juga yang berbicara banyak untuk menunjukkan bahwa mereka mengatakan sesuatu kebenaran tentang hidup. Namun tak satupun di antara mereka yang memahami kebenaran hidup muncul dari diam, hening, di hadapan alam, sesama. Aku telah belajar tentang cahaya kebenaran yang lahir dari sikap diam.
Tampaknya engkau semakin bijak. Dan aku berkata, tidak juga. Aku hanya mau belajar menjadi orang bijak. Tidak seorang pun yang sungguh bijaksana dalam hidup ini. Yang ada hanyalah kepingan-kepingan kebenaran. Hanya yang Ilahi yang sungguh-sungguh bijaksana. Itulah alasan manusia merindukan yang Ilahi. Manusia tidak akan bahagia tanpa bersentuhan dengan cahaya kebenaran Ilahi.
Lalu, apakah engkau datang ke sini untuk semuanya itu? Pertanyaan itu muncul spontan dari mulutnya yang manis.
****
Ilalang.
Namamu terlalu indah. Aku telah belajar banyak tentang hidup dari rumput Ilalang. Nenekku dulu sengaja membiarkan Ilalang dekat rumah terus hidup dan menutupi dinding rumah. Ketika saudaraku mencoba mencabutnya ia marah. Saudaraku sempat protes. Bagaimana mungkin nenek membiarkan Ilalang tumbuh liar di belakang rumah? Sekali nenek berkata: rumput itu memang liar. Tapi ia mengajari aku bagaimana mempertahankan hidup di tengah badai. Ia mengajari aku agar tetap hidup walau sesekali sering diinjak-injak sampai hancur.
Dan, kau Ilalang, namamu, hatimu, terpahat dengan indah dalam hidupku. Engkau telah mengajari aku tentang malam-malam indah penuh cahaya pintang maupun malam-malam pekat tanpa cahaya. Hampir saja aku meninggalkan cahaya kebenaran yang telah aku tangkap dan aku jumpai dari perjalananku di kota tua ini. Sekarang aku menjadi sadar bahwa Engkau seberkas pantulan cahaya itu. Namun engkau bukanlah cahaya yang sesungguhnya. Cahaya yang sesungguhnya memancar dari keabadiaan. Aku mau terus belajar menangkap cahaya itu agar bisa menjadi sinar lilin bagi seseorang yang aku jumpai di dalam kegelapan.
Mengapa orang tuamu memberi nama Ilalang? Ia tak menjawab. Mungkin saja ia tak pernah memikirkan hal ini. Tetapi, ah..apalah arti sebuah nama kataku dalam hati. Semua orang memiliki nama. Hidup dan masa depan mereka tak pernah ditentukan oleh nama.
Aku terlahir di sebuah desa yang penuh Ilalang. Maka orang tuaku suka memanggilku Ilalang. Mereka mencintai Ilalang. Rumah kami beratapkan Ilalang. Halaman rumah kami juga penuh Ilalang. Hari-hariku di masa kecil penuh ceria bersembunyi ditengah hamparan Ilalang bersama teman-teman. Tetapi yang paling menarik bagiku adalah saat di mana angin selatan berhembus dengan kencang membuat hamparan Ilalang di sekitar rumahku menari. Dan aku telah belajar menari, meliuk seperti Ilalang. Orang tuaku memangil aku Ilalang karena aku suka dengan Ilalang.
****
Kami menghabiskan hari itu. Ia tetap tak mengerti dan berharap agar aku menari bersamanya seperti Ilalang. Ah Ilalang. Engkau tentu tak suka mendengar keputusanku. Engkau datang mencariku di kota tua yang dingin ini. Aku datang di kota yang sama untuk mencari cahaya kebenaran. Mimpi kita berbeda. Aku tetap yakin walau mimpi kita berbeda kita disatukan oleh alasan yang sama. Kita datang ke kota yang sama untuk mencari sesuatu yang berarti bagi hidup kita. Jalanku, jalan terjal. Tak akan pernah engkau pahami.
Aku telah memilih bagi diriku jalan itu. Dan maaf, di kota tua ini yang Ilahi telah memahat dalam hatiku jalan yang harus kutempuh. Dan itu tentu bukan mimpimu. Tapi jangan kau bersedih lagi. Aku tak sudi melihat mendung di matamu,  juga bulan jingga yang semakin redup di alis lebatmu.   Kau bercita tentang DIA yang kuasa  dan aku berkata, kita disatukan oleh-Nya dalam doa yang sama walau jalan hidup kita berbeda. Ilalang aku tak sudi melihat ombak yang mengalir di pipimu juga tak sudi menatap langkahmu yang lesu di hari kemarin. Andai aku bisa, aku mau menghapus ombak di matamu itu, juga menjadi kakimu tiap kali kau berjalan menyusuri kebun ilalang  tempat kita tidak akan pernah belajar menari bersama tiupan angin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H