Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Untuk Apa Belajar..

4 April 2011   16:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:07 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita belajar untuk menjadi orang yang terdidik dan tercerahkan. Terdidik secara intelektual saja tidaklah cukup, jika tidak tercerahkan. Orang yang terdidik tetapi tidak tercerahkan bukannya memberdayakan orang lain, tetapi memperdayai orang lain. Sebaliknya, Seorang yang terdidik dantercerahkan akan bertumbuh dalam berbagai aspek kehidupan: fisik, mental, intelektual, moral, spiritual, etc.

Karena itu, pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenarnya. Pendidikan semestinya bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa dan berimplikasi kuat pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal ini perlu ditegaskan kembali, karena tingkat pendidikan yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian. Sebaliknya, kadang-kadang meningginya tingkat pendidikan malah berimplikasi pada makin meningkatnya ketergantungan kepada pihak-pihak lain.

Selain itu, meningkatnya ilmu pengetahuan semestinya akan membuat yang bersangkutan semakin lapang jiwanya, semakin luas batinnya dan semakin arif kepribadiannya. Namun ternyata tidak selalu demikian. Seseorang yang lebih tinggi kapasitas pengetahuannya belum tentu lebih bijak dan arif perilakunya. Pada kenyataannya sering kita temui seorang yang lebih tinggi kedudukannya yang notabene lebih mapan kapasitas intelektualnya, lebih tinggi strata keilmuannya menjadi lebih picik pikirannya, tidak lebih arif kebijaksanaannya dan menjadi otoriter kekuasaannya. Kita selayaknya gelisah, untuk apa kita himpun informasi dan ilmu sebanyak ini kalau ia malah meningkatkan akses kita ke kemungkinan degradasi moral, karena yang kita ketahui itu-karena sesuatu dan lain hal- tidak bisa atau terpaksa tidak kita kerjakan.

Di sini, dunia pendidikan kita terjebak pada kata “How to use”, sehingga melahirkan produk sarjana konsumtif yang tidak kreatif. Lembaga-lembaga pendidikan akhirnya berfungsi sebagai pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja yang terampil dan terlatih. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerjemahan tujuan pendidikan yang menyesatkan. Penerjemahan tujuan pendidikan secara tidak sadar selalu dibawa pada aspek/orientasi lapangan kerja, memperoleh kursi dimana, gajinya berapa, fasilitasnya apa, dan sebagainya. Dengan demikian, ketika produk sarjana ini dihadapkan pada realita kesempatan kerja yang sempit mereka tidak mampu untuk berfikir alternatif memanfaatkan ilmu dan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang produktif.

Kenyataan umum di atas sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Sejak abad yang lalu, banyak orang mulai menyadari adanya ‘krisis dalam dunia pendidikan tinggi.’ Pendidikan tinggi dianggap hanya menghasilkan mesin-mesin dan robot-robot yang tidak punya budi dan hati (spiririt). Pendidikan tinggi hanya fokus pada pengembangan intelektual yang mengarah pada praktek keilmuan. Akibatnya, pendidikan tinggi hanya menghasilkan ‘tukang-tukang.’ Hal ini dikarenakan pendidikan tinggi telah mengabaikan pendidikan hati dan budi beserta unsur-unsur rohani. Maka di awal abad ke-20, Max Weber, berkaitan dengan perkembangan kulural, dalam The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism (1905), memprediksi situasi buruk dunia dengan berkata: “specialist without spirit, sensualist without hart.” Allan Bloom, dalam The Closing of American Mind (1987), menyatakan adanya dekadensi moral dalam diri mahasiswa (Amerika). Bruce Wilshire dalam The Moral Collapse of the University: Professionalism, purity, and Alienation (1989), menegaskan isu tersebut dengan menyatakan adanya kehancuran moral universitas. Apa yang diperkirakan Weber ditegaskan kembali oleh Mark R. Schwehn dalam artikel “The Academic Vocation: ‘specilist without spirit, sensualist without hart?’ dan buku Exiles from Eden: Religion and the Academic Vocation in America (1992). Rentetan keprihatinan ini menuntut adanya ruang dan waktu khusus untuk pembinaan heart dan spirit, bukan hanya mind dan hand.

Menjelang abad ke-21, dalam dunia pendidikan tinggi disadari adanya diskoneksi dan diskontinuitas (gap) antara dunia pendidikan dengan dunia kemasyarakatan. Realitas ini merangsang refleksi dalam pendidikan tinggi hingga terjadi perubahan visi seperti yang dinyatakan dalam World Conference on Higher Education yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1998. Pendidikan tinggi yang semula menekankan dua pilar akademik, yaitu learning to know dan learning to do menambahkan dua pilar non akademik, yaitu learning to be dan learning to live together. Karena itu, pendidikan tinggi mutlak menyediakan bukan hanya fasilitas untuk mengembangkan intelektual, tetapi juga untuk pematangan mental, moral, dan spiritual.

Learning to Know (aspek intelektual/koginitif): mengembangkan Logos

Logos berarti pengetahuan, rasio. Seseorang yang mengembangkan logosnya secara memadai akan memiliki kemampuan analisis dan pemahaman yang dalam, pengetahuan yang luas, konsep teoretis yang matang, visi yang brilian, dan keinginan terus untuk mencari kebenaran tanpa memutlakan keyakinan tertentu. Orang semacam ini bisa rendah hati, terbuka, dan jujur dalam melihat dan mencari kebenaran seperti kata pepatah: “bagaikan padai, semakin berisi semakin merunduk.” Orang semacam ini akan mempunyai kebijaksanaan. Learning to know bukan hanya menjadikan seseorang dengan gelar yang setinggi mungkin (S1, S2, S3, dll), tetapi orang yang selalu mau terbuka untuk belajar, mau dibentuk sepanjang hidupnya entah oleh situasi dan kondisi hidup, pekerjaan, keluarga dan orang-orang yang dijumpai dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Berkaitan dengan logos ini, para mahasiswa diarahkan untuk memperdalam pengetahuan di bidangnya masing-masing sampai bisa menguasai bidang ilmunya tersebut (spesialis), sehingga dia tahu bagaimana mepergunakan ilmunya itu ketika terjun di tengah masyarakat atau dalam dunia kerja. Aristoteles berkata bahwa orang yang berpengetahuan adalah pribadi yang memiliki otoritas, yaitu kemampuan untuk membawa orang lain menuju kesempurnaan, memotivasi orang lain untuk mengembangkan dirinya. Kalau tidak punya otoritas logos, para ilmuwan ini menjadi sinis, otoriter, keras kepala, dan irasional.

Learning to do: mempraktikkan ilmunya (ethos)

Ethos berarti tempat hidup yang dapat diartikan dengan juga sebagai disposisi batin atau karakter. Dari akar kata yang sama, muncul ethicos yang berarti teori kehidupan yang kemudian menjadi etika, yaitu cara untuk mengatur hidup sehingga bermakna. Makna hidup ini bisa dikaitkan dengan techne, yaitu kapasitas untuk berbuat atau membuat sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan. Maka, ethos bisa dianggap sebagai keahlian untuk berbuat sesuatu sesuai dengan pengetahuannya.

Seseorang yang mengembangkan ethosnya akan memiliki keahlian yang memadai untuk merealisasikan logosnya. Ia menjadi seorang ahli berbuat dan bertindak. Pada titik ini, pengetahuan bukan lagi sekedar konsep teoretis, tetapi lebih dari itu yakni direalisasikan dalam praksis. Orang yang tidak berhasil mewujudkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari berarti orang yang gagal mengembangkan logosnya. Sedangkan orang yang mampu merealisasikan ilmunya akan terlihat lebih percaya diri, menggunakan keahlian dan kompetensinya untuk kesejahteraan bersama. Sebaliknya, bagi yang tidak mempunyai ethos, dia akan merasa rendah diri, minder, kurang percaya diri, menutup diri, dan berpandangan negatif. Seorang yang berethos adalah seorang ahli yang mampu mewujudkan visi dan misi hidupnya, merealisasikan ilmu yang dipelajarinya waktu kuliah. Ia tidak hanya tahu secara teoretis tentang bidang ilmu yang digelutinya, tetapi juga akan mampu mempraktikannya. Karena itu, ethos dalam learning to do mewujudkan logos secara konkret.

Learning to be: eros

Eros dalam arti positif dipahami sebagai daya hidup yang mendorong seseorang untuk merealisasikan dirinya sebagaimana adanya. Eros inilah yang menyebabkan manusia sadar diri sebagai makhluk seksual dengan nafsu dan nalurinya entah sebagai pria maupun wanita. Pengakuan dan penerimaan identitas seksual ini mutlak hidup sehat seraya menerima dirinya sebagai rahmat dan berkat. Seseorang yang mengembangkan erosnya secara memadai akan menyadari identitas seksualnya dan menghidupinya sesuai dengan logos dan ethosnya dalam keseimbangan.

Karena itu, kita perlu belajar untuk menjadi diri kita sendiri agar kita menjadi mantap dengan diri kita sendiri. Kita mesti bisa menerima diri dengan penuh syukur entah sebagai pria maupun wanita dengan segala gejala erosnya. Di samping itu, kita dimampukan melihat sejarah hidup di masa lalu dan berdamai dengannya, hingga bisa sungguh menjadi diri yang bebas pada masa kini tanpa dibebani bayang-bayang gelap masa lalu. Bagi orang yang bereros, ia akan mampu mengendalikan dirinya, tahu menempatkan diri dan menjadi pribadi yang matang. Orang yang hidupnya semerawut dan tidak tahu menempatkan diri dengan baik di dalam kontek budaya dan lingkungan tertentu adalah orang yang belum mampu mencapai eros dalam belajar.

Learning to live together: pathos

Pathos biasanya dipahami sebagai emosi, rasa, keprihatinan, yang ada kaitannya dengan penderitaan atau pergulatan hidup. Seseorang yang mengembangkan pathosnya akan memiliki rasa solider dan rasa kemanusiaan yang terungkap dalam simpati dan empati pada hidup orang lain. Dengan demikian, ia akan hidup bukan lagi semata-mata untuk dirinya sendiri, melainkan untuk belajar hidup bersama dan demi orang lain. Orang yang tidak punya pathos akan menampakkan sikap hidup yang individualistis, narsistik, dan hedonistis. Orang yang punya pathos akan mampu membangun hidup bersama di tengah mayarakat dengan penuh harmonis. Dia tidak akan menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi, suku, kelompok, dan golongannya sendiri. Mereka mampu hidup berdampingan dengan damai bersama orang dari suku, agama, dan budaya yang berbeda.

Dengan demikian, kita belajar bukan hanya untuk mengetahui banyak hal (to know), tetapi bisa mempraktikan ilmu (to do) dalam dunia kerja, dengan tujuan ganda yakni untuk semakin menjadi diri sendiri yang otentik, matang, dewasa dalam berbagai aspek kehidupan (to be) serta semakin dimapukan untuk membangun hidup bersama yang harmonis dengan sesama, alam, dan lingkungan (to live together). Inilah keempat hal yang akan membuat kita bukan hanya menjadi terdidik saja, tetapi tercerahkan secara lahir dan batin. Semakin tinggi sekolah bukan berarti merasa diri hebat dan tahu segalanya, tetapi semakin rendah hati dan mau belajar terus-menerus dari yang lain sebab “di atas langit masih ada langit.”

Orang yang terdidik dan tercerahkan adalah orang yang secara inteletual berkembang seiring dengan aspek moral dan spiritual. Banyak orang di Indonesia yang terdidik, tetapi tidak tercerahkan secara moral dan spiritual. Akibatnya, kolusi, korupsi, dan nepotisme meraja lela di negara kita (peringkat ke-3 dunia) karena banyak sarjana kita tidak tercerahkan secara moral dan spiritual. Kita mau menjadi sarjana seperti apa? Jika seseorang bertumbuh dalam keempat aspek di atas, maka ia akan menjadi insan yang terdidik dan tercerahkan, insan yang tidak sekedar berintelektual tetapi berbudaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun