[caption id="attachment_312082" align="aligncenter" width="630" caption="Illustrasi (lensaindonesia.com)"][/caption]
Pernyataan "politik (itu) untuk kebaikan" hingga kini belum juga menjadi aksioma umum dalam tatanan kehidupan politik di negara kita (tentu Indonesia bukanlah satu-satunya). Dalam negara-negara yang konstelasi politiknya mantap dan beradab, orang dapat dengan mudah mengafirmasi pernyataan tersebut.
Sementara untuk masyarakat suatu negara yang tata kehidupan politiknya "karut marut", pernyataan "politik (itu) untuk kebaikan" mungkin terdengar menggelikan. Telinga dan pikiran masyarakat kita pun belum lazim dengan ungkapan demikian yang hendak menyelaraskan politik dan kebaikan sedemikian rupa tanpa kesan kontras antara keduanya.
Potret buram sejarah politik Indonesia sedikit banyak telah memengaruhi cara pandang kita terhadap politik. Fenomena permainan "uang" dan "sembako," praktik-praktik anarkis dan saling menjatuhkan dalam merebut kursi, mentalitas "orang-orang terpilih" yang hanya bernafsu untuk meraup harta dan kekuasaan tanpa visi-misi yang jelas, semakin memberikan gambaran yang "keruh" mengenai wajah politik. Wajah keruh perpolitikkan kita kian didukung oleh menjamurnya kampanye hitam melalui aneka media sosial semacam facebook, twitter, dll.
Ketidaknetralan media-media mainstream juga ikut berperan memperkeruh wajah perpolitikkan di tanah air. Media-media yang sudah terbelah mendukung salah satu capres sibuk menonjolkkan sisi buruk/negatif dari lawan-lawan politik yang tidak didukung.
Yang paling kentara adalah TV one dan Metro TV: yang satu sibuk mengulek kelemahan Jokowi, yang lain sibuk mengobok-obok masa lalu Prabowo. Berita-berita positif tentang kedua tokoh ini semakin dilihat tidak objektif lagi oleh masyarakat yang sudah terbelah dalam dua kubu. Inilah fakta pesta demokrasi yang kian menjadi ajang democrazy! Semuanya ini semakin meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa politik itu kotor.
Apakah politik itu kotor? Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, telah menggagas politik sebagai "ilmuinduk tentang yang baik." Tujuan politik adalah apa yang baik bagi manusia. Perlu diketahui bahwa Aristoteles berbicara tentang politik selalu dalam hubungan eratnya dengan etika. Menurut Aristoteles, aktivitas politik harus selalu mengandaikan kematangan etis-moral.
Karena itu, siapapun yang hendak terjun ke dunia politik sejatinya harus terlebih dahulu membekali diri dengan nilai-nilai etika yang memadai. Dengan kata lain, para politisi harus sadar bahwa aktivitas politik mereka tidak dapat tidak bermuara pada kebaikan dan kebahagiaan hidup masyarakat (warga negara). Mereka tidak berpolitik untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
Jika politik bertujuan semata-mata untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama dalam negara, mengapa muncul paham "politik itu kotor"? Sekurang-kurangnya ada dua hal yang melatari lahirnya pandangan negatif tersebut.
Pertama, terjadi reduksi dalam pemahaman terhadap politik, di mana politik melulu dimengerti sebatas rangkaian aktivitas Pemilu dengan segala atribut yang terlibat di dalamnya (Partai-partai politik, para caleg, kampanye, KPU dan seterusnya).
Dalam hal ini, pengalaman akan realitas anarkis, kebrutalan, praktik-praktik kotor seputar Pemilu, semuanya itu telah menjadi lahan potensial yang membentuk gambaran tentang politik sebagai entitas kotor. Itu berarti bahwa aktivitas politik dalam suatu negara jauh dari kemantapan etis. Maka label kotor dari politik tersebut lahir bukan tanpa alasan. Umumnya pandangan demikian muncul dari kalangan masyarakat bawah yang telah berkali-kali merasa dipermainkan, diperalat, dimanfaatkan dan diterlantarkan oleh "kalangan terpilih".