“Barna! Buka pintunya, cepat!” Bentak Imron rentenir pasar menggedor-gedor pintu kontrakkan Barna.
Tak berapa lama pintu kayu bercat kusam kontrakkan Barna dibuka dari dalam.
Barna keluar ketakutan, ia tidak berani menatap Imron yang berambut gondrong, berperawakan besar penuh tato bersama seorang temannya tak kalah mengerikan mimik mukanya, berdiri di belakang Imron.
“Maaf bang, hari ini aku belum bisa bayar sisa cicilan sekaligus bunganya.” Ujar Barna yang berbadan kecil gemetaran.
“Bulan depan baru bisa melunasi semua sisa hutang aku berikut bunga bang.” Lanjut Barna.
“Heh, lo bilang hari ini mau bayar semua sisanya. Sekarang mundur lagi. Emang elo yang ngatur?”
“Berarti udah dua kali lo minta mundur. Kalau gitu, bunganya jadi tambah empat kali lipat!” Hardik Imron semena-mena sambil menarik kaos Barna dengan kasar mendekati wajah Imron yang bermuka beringas dan bau alkohol yang menyengat.
“Kok gitu bang?”
“Diam lo! Pilih mana motor lo gue bawa atau bayar. Ngerti?”
“Jangan bang, tanpa motor ini aku engga bisa nyari duit bang,” ratap Barna semakin panik.
“Gue yang atur, dasar semut!” Ujar Imron mengitimadasi Barna.