Mohon tunggu...
Fajar Prihattanto
Fajar Prihattanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis ide dan pengalaman

Guru seni rupa, pembuat karya seni (gambar, lukis, film, musik), youtuber, dan penyelam keheningan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mafia Sholawat, Dakwah Spiritual dalam Balutan Keindahan Seni Budaya

31 Oktober 2018   19:30 Diperbarui: 10 Maret 2019   13:12 3299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto : Dokumen Pribadi

Ketika pertama kali saya mengetahui istilah Mafia Sholawat, secara otomatis pikiran terpola untuk merumuskan sesuatu hal yang ganjil. Pada bagian belakang (sholawat) terdapat istilah yang mengarah pada nilai positif, religius dan suci. Sangat kontras dengan kata pada bagian depan (mafia), yang mengarah pada hal negatif, sangar, dan gelap. Saya yakin, pergolakan pikiran tersebut juga dirasakan oleh banyak orang yang belum mengetahui kepanjangan dan makna di balik istilah Mafia Sholawat.

Mafia Sholawat merupakan kepanjangan Manunggaling Fikiran lan Ati dalem Sholawat. Bersatunya pikiran dan hati dalam sholawat. Secara eksplisit kepanjangan tersebut masih menyisakan misteri karena identik dengan istilah yang cukup keramat, "Manunggaling Kawula lan Gusti". Sebuah ajaran seorang tokoh sufi yang sangat fenomenal, Syekh Siti Jenar. Meskipun bagi orang yang sudah mempelajari sejarah sufisme dan kebatinan Jawa, istilah tersebut sebenarnya istilah yang biasa saja.

Kembali pada istilah Manunggaling Ati lan Fikiran. Jika dipahami secara mendalam, kunci kebahagiaan hidup manusia ditentukan oleh menyatunya pikiran dan hati. Hati dan pikiran selalu sejalan seirama, tidak saling bertentangan, keduanya digunakan secara proporsional. Juga mengandung makna kejujuran. Mungkin itulah makna sebenarnya Manunggaling Fikiran lan Ati (Mafia). Tidak merujuk pada ajaran Manunggaling kawula lan Gusti ala Syekh Siti Jenar yang terkenal hanya mengedepankan aspek ma'rifat dan mengabaikan aspek lainnya, khusunya syariat. 

Secuil informasi dan asumsi tersebut saya dapatkan ketika takdir mengharuskan saya untuk mengenal lebih dekat Mafia Sholawat, khususnya pada tokoh KH Ali Shodiqin, atau yang biasa diebut dengan sapaan Gus Ali Gondrong/Abah Ali. Garis takdir tersebut terwujud melalui sebuah amanah dari pihak panitia untuk membuat sebuah video publikasi dan mendokumentasikan acara pengajian dan sholawat akbar pelantikan Pengurus MWC NU Kecamatan Batuwarno. Untuk menggali informasi lebih dalam tentang Mafia Sholawat, berbagai literatur menuntun saya untuk mendapatkan beberapa informasi tentang Gus Ali.

Blog dan youtube cukup mengenalkan saya pada sosok Gus Ali yang tak hanya nyentrik dari segi penampilan, namun juga teknik dan materi dakwahnya. Pada saat rapat koordinasi panitia, ketua Banser menyampaikan bahwa pengajian Gus Ali berbeda dengan pengajian kebanyakan, karena jamaah Mafia Sholawat berasal dari berbagai kalangan. Bahkan kalangan yang selama ini dianggap marjinal. Kaum marjinal dan kental dengan nuansa hitam tersebut misalnya mantan preman, anak jalanan, WTS, pemabuk, dan penjudi.

Waktu yang dinantikan tiba. Gambaran umum tersebut tidak jauh dengan apa yang saya alami ketika menghadiri langsung pengajian Gus Ali. Bahkan kenyataan melebihi ekspektasi saya sebelumnya. Dari sekian banyak pengajian yang pernah saya ikuti, selama ini yang paling berkesan dan sesuai dengan hati saya adalah Pengajian Maiyah Cak Nun, dakwah dialogis yang membuka peluang komunikasi tak hanya satu arah, membahas materi yang ringan hingga berat, dan semuanya dibalut dengan nuansa seni. Setelah menghadiri langsung pengajian Gus Ali Gondrong, maka saya mendapatkan alternatif pengajian yang menurut saya juga tak kalah menarik.

Pengajian Mafia Sholawat mampu meramu formula materi keagamaan, nasionalisme, kebebasan, kemanusiaan, cinta, sosialisme, dan seni budaya menjadi satu kesatuan yang utuh dan indah. Dengan sangat berani, Gus Ali menyampaikan bahwa Pengajian Mafia Sholawat adalah Pengajian Pacul, "sing papat aja ngasi ucul". Maksudnya jangan sampai jamaah Mafia Sholawat melupakan 4 prinsip atau tingkatan pemahaman syariat, tarikat, hakikat, dan ma'rifat. Hal ini cukup unik, karena masalah tarikat, hakikat, dan ma'rifat jarang sekali dibahas pada pengajian-pengajian umum. Biasanya 3 permasalahan ini dibahas dalam ruang-ruang eksklusif dan terbatas. Bahkan beberapa kalangan menganggap bahwa pembahasan 3 hal tersebut sebaiknya dihindari karena berbagai alasan.

Pendekatan pada Tuhan melalui kebaikan tingkah laku, ibadah, dan akhlak yang baik merupakan manifestasi ma'rifatullah.  Pesan-pesan perdamaian, ukhuwah Islamiyah, tidak membeda-bedakan sesama manusia, cinta sesama makhluk beberapa kali disampaikan sebagai penerjemahan makna hakikat tujuan diciptakannya agama. Laku-laku spiritual melalui dzikir, sholawat, doa, dan tari sufi merupakan sebuah upaya tarikat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Semua itu tak lepas dari upaya-upaya untuk menaati hukum-hukum syariat yang menjadi dasar pelaksanaan ajaran agama Islam.

Beberapa hal yang unik pada pengajian Mafia Sholawat, Gus Ali sering mengajak jamaah untuk menikmati keindahan dunia spiritual dalam artian yang sebenarnya. Jamaah diajak untuk bersholawat, bersenandung, berdzikir, melambaikan tangan, berdoa, dan diakhiri dengan pengusapan pada wajah dan dada. Sehingga para jamaah merasakan kesejukan jiwa secara langsung, dan tak jarang perasaan sejuk dan damai tersebut bertahan dalam waktu yang lama. 

Pernah sekali Abah Ali mengajarkan tentang cara pembukaan cakra dan amalan pagar badan melalui dzikir. Gus Ali menyarankan jika ada keluarga yang sakit sebaiknya dibawa ketika menghadiri Mafia Sholawat, karena sudah terbukti banyak orang sakit yang sembuh setelah menghadiri pengajian Mafia Sholawat. Proses penyembuhan tersebut dilakukan oleh Gus Ali dengan cara mengajak untuk meniatkan diri menyembuhkan penyakit, dan melakukan suwuk melalui makanan, minuman, bersalaman, memukul kepala, dan lain-lain.

Gus Ali menjelaskan alasan menjual beberapa sarana penolak santet, pembuang penyakit, pagar badan, dan sejenisnya ketika pengajian Mafia Sholawat. Hal itu dilatar belakangi oleh peristiwa duka masal lalu, kakeknya meninggal disebabkan oleh santet. Gus Ali juga menjelaskan bahwa bagi warga NU, rajah, laku-laku tarikat dan sejenisnya merupakan hal yang biasa dilakukan karena semua memiliki dasar dari kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Semua bermuara pada upaya dan doa kepada Allah Swt semata, jauh dari niat menduakan Allah Swt atau kemusyrikan. Ibarat orang sakit yang menggunakan obat, maka obat tersebut hanyalah sarana yang diberikan Allah Swt untuk menyembuhkan suatu penyakit.

Abah Ali sering mengingatkan pentingnya nasionalisme. Fenomena pembakaran "bendera tauhid" yang dilakukan oleh Banser tak luput dari pembahasan. Menurut Gus Ali, bendera pada zaman Nabi Muhammad Saw tidaklah seperti bendera yang selama ini digunakan sebuah ormas terlarang, yang kebetulan sama dengan bendera yang dibakar oleh Banser. Karena ketika zaman Nabi Muhammad Saw menyebarkan Islam, belum ada harokat seperti yang tertulis pada bendera yang dianggap bendera Nabi Muhammad Saw ketika perang. Gus Ali juga menjelaskan, bendera Nabi Muhammad Saw digunakan hanya ketika terjadi perang. Dikhawatirkan jika bendera tersebut dikibarkan pada suasana damai seperti di Indonesia, akan menimbulkan kekacauan/panasnya suasana. Namun Gus Ali mempersilakan jika memang ada orang yang berniat untuk mengibarkan bendera tauhid tersebut dengan niat yang berbeda.

Salah satu kunci kebahagiaan menurut Gus Ali adalah hilangnya rasa kebencian kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan. Sesuai dengan slogan Mafia Sholawat, "Berbeda itu tidak masalah, yang masalah jika kita membeda-bedakan". Perbedaan aliran, organisasi, agama, pilihan, sebaiknya tidak menimbulkan rasa benci di antara sesama manusia.  Perbedaan merupakan sunnatullah yang tak dapat dihindari.

Peran kelompok musik dan penari sufi Semut Ireng cukup penting dalam menjaga mood penonton. Mereka mengiringi sholawat dan dzikir yang digunakan untuk koor massal sepanjang acara. Uniknya lagi, tidak hanya lagu-lagu religi, beberapa lagu Superman is Dead dan lagu nasional juga dibawakan.

Tak heran jika ada beberapa kalangan yang pro maupun kontra dengan pengajian ala Mafia Sholawat. Namun bagi saya memang di sinilah keunggulan Gus Ali Gondrong yang berhasil menarik berbagai kalangan. Kehadiran beberapa kalangan yang dianggap berasal dari "dunia hitam" merupakan fenomena menarik, karena hal itu sangat jarang terjadi. Mayoritas pendakwah hanya berhasil menarik simpati "jamaah putih" saja.

Sering Gus Ali mengajak jamaah untuk bertaubat, bersedekah, menghadiri majelis-majelis pengajian, beribadah ke masjid, dan ibadah-ibadah lainnya.  Kentalnya nuansa nasionalisme, dzikir, dan amar ma'ruf nahi munkar selaras dengan salah satu slogan Mafia Sholawat :

NKRI harga mati

Sholawat sampa mati

Taubat sebelum Mati


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun