Mohon tunggu...
Fajar Prihattanto
Fajar Prihattanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis ide dan pengalaman

Guru seni rupa, pembuat karya seni (gambar, lukis, film, musik), youtuber, dan penyelam keheningan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi Film Sultan Agung (Biopic, Kolosal, dan Artistik)

27 Agustus 2018   15:04 Diperbarui: 27 Agustus 2018   15:25 3842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa, ritual rutin yang saya lakukan sebelum menonton sebuah film adalah membaca review, trailer, dan behind the scenes. Hal itu mungkin berbeda dengan penonton lain yang menganggap bahwa ritual-ritual tersebut akan merusak  kesucian proses apresiasi film.

Beberapa "bocoran" tersebut memungkinkan film lebih mudah ditebak, mengurangi rasa penasaran dan daya kejut. Khusus film biopic, akan saya tambahi dengan satu ritual lagi, yaitu membaca beberapa literatur tentang tokoh yang sedang dibuat film, minimal dari satu sumber wajib, yaitu wikipedia.

Semua itu saya lakukan agar ketika menonton film saya bisa cepat menyatu dengan film dan tidak terganggu banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang terkadang muncul.

Beberapa film Hanung Bramantyo yang sampai saat ini masih menempel dan sulit lepas dari kepala saya adalah Sang Pencerah, Kartini, dan Tanda Tanya.

Ketiga film tersebut memiliki ciri khas yang sama, yaitu sinematografi yang memikat, plot yang simple namun tetap dinamis, keunikan tema, dan tentu saja kekuatan pesan yang berhasil menancap kuat di dalam pikiran.

Untuk itulah ketika melihat poster dan beberapa cuplikan adegan Film Sultan Agung pada Instagram, saya memutuskan bahwa film ini masuk ke dalam kategori wajib tonton.

Diantara beberapa kelebihan Hanung adalah kemahirannya dalam menularkan kecintaannya pada nuansa masa lalu kepada penonton.

Saya selalu dapat menikmati setiap detail penggambaran suasana lawas pada film Sultan Agung seperti halnya ketika saya menonton Sang Pencerah dan Kartini.

Pada film ini nuansa lawas tersebut dapat tercerap melalui visualisasi kostum, setting latar belakang tempat, grading, dan tentu saja pernak-pernik audio yang sangat detail.

Sejak awal penonton diseret ke suatu padepokan di sebuah pedesaan tengah hutan lengkap dengan suara-suara cenggeretnong, gareng, jangkrik, kicau burung, dan tokek.

Standar saya selama ini ketika melihat film kolosal adalah film-film box office, dan saya sangat terpuaskan film kolosal Sultan Agung. Musik yang megah, berpadu secara "apik" dan epik dengan visual effect dan penggambaran yang digarap secara artistik. 

Hanung juga cukup lihai dalam mengemas film biopic yang terkadang sulit terlepas dari nuansa dokumenter membosankan.

Drama percintaan, keluarga, intrik politik, nasionalisme, laga, heroisme, dan patriotisme dapat melebur dengan baik tanpa terkesan hanya sekedar bumbu atau tempelan belaka pada formula utama biopic.

Nuansa tradisional juga menjadi salah satu formula yang sejak awal hingga akhir terasa sangat kental membangun suasana film.

Selain pakaian dan dialek Jawa, soundtrack dan backsound bernuansa Jawa seperti alat musik gesek rebab dan lagu Ilir-ilir secara melodius serta sangat hati-hati diletakkan pada tempat yang tepat.

Bahkan terkadang seolah layar perak berubah menjadi panggung kethoprak yang mementaskan lakon Sultan Agung secara live di depan saya.

Kemampuan akting semua pemainnya hampir tak ada cela, semua dapat menghidupkan tokoh-tokoh dalam film secara natural dan real.

Tak ada gading yang tak retak, kata-kata mutiara tersebut sepertinya tepat untuk mengawali kritik saya terhadap film Sultan Agung agar tulisan ini lebih lengkap secara konten.

Dua kekurangan film ini menurut saya menyangkut visual effect dan teknik shooting. Beberapa visual effect baik ketika menggambarkan perahu-perahu VOC, arsitektur, dan seting lokasi dari atas terasa kurang real.

Sedangkan untuk masalah teknik shooting adalah fokus kamera yang terkadang kurang tepat menangkap obyek utama.

Kedua hal itu tidak akan tertangkap tanpa pengamatan yang detail, khususnya praktisi film sehingga tidak akan mengurangi keindahan film secara keseluruhan.  

Film ataupun karya seni lainnya merupakan sebuah media untuk menyampaikan suatu ide, kreatifitas, ekspresi, dan pesan dari seniman.

Pesan-pesan di dalam film Sultan Agung cukup banyak, dari pesan-pesan bernuansa Islam, nasionalisme, patriotisme, kebijaksanaan, kesetaraan gender, kelemahan bangsa Nusantara, dan cinta budaya.

Meskipun tidak sekuat pada film Tanda tanya, beberapa pesan yang saya ingat dengan kuat antara lain perkataan Sultan Agung yang menyatakan bahwa sejelek apapun sejarah menulis tentang dirinya karena banyaknya orang yang tidak setuju dengan pengambilan keputusan dalam melawan VOC.

Dia meyakini bahwa perjuangan dalam melawan VOC akan menginspirasi generasi-generasi yang akan datang.

Pesan kebudayaan juga secara tersirat maupun tersurat cukup menonjol, hal itu disampaikan melalui beberapa adegan menari, menabuh gamelan, gerakan-gerakan silat dan penghargaan gelar baru yang diberikan kepada Sultan Agung karena mampu mendakwahkan Islam dengan pendekatan seni budaya tradisional Jawa.

Sehingga sebagai apresiasi saya terhadap film Sultan Agung, saya memberikan nilai 85 dari interval nilai 0-100.

Film ini sangat layak ditonton baik remaja, dewasa, maupun orang tua. Pecinta film, maupun orang yang tidak suka dengan film namun ingin belajar sejarah. Negarawan, budayawan, maupun agamawan.

Selamat Menonton.

***

Fajar Prihattanto
(Guru Seni Budaya dan filmmaker)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun