Itaewon untuk merayakan pesta Halloween. Dikutip dari BBC, Ahad, (30/10/2022), tragedi terjadi akibat kerumunan besar Halloween yang melonjak ke jalan sempit di ibokota Korea Selatan. Media lokal Seoul mengatakan, sekitar 100.000 orang berbondong-bondong untuk merayakan pesta tersebut.
Oktober berkabung, belum reda kabar duka Kajuruhan, tragedi kemanusiaan kembali terjadi di negeri Gingseng, Korea Selatan. Dikabarkan sebanyak 154 orang meninggal dunia setelah kerumuman manusia memadatiPejabat pemadam kebakaran, Choi Seong-beom mengatakan, kerumunan terjadi pada Sabtu malam, sekitar pukul 22.30 (13:00 GMT), banyak korban berdesak-desakan dan terinjak sampai meninggal. Salah seorang saksi mengungkapkan melalui kantor berita Yonhap bahwa dia melihat para korban tergencet hingga tewas, "Orang-orang berlapis di atas yang lain seperti kuburan. Beberapa secara bertahap kehilangan kesadaran mereka sementara beberapa tampak meninggal pada saat itu," ungkapnya.
Berbagai kritik masyarakat dilayangkan, terutama kepada pihak kepolisian Korea Selatan yang dianggap gagal dalam mencegah insiden perayaan Halloween yang terjadi di Itaewon. Kepala Biro Manajemen Ketertiban Umum Badan Kepolisian Nasional Hong Ki-hyun mengakui bahwa pihaknya tidak memperkirakan insiden tersebut akan menelan korban jiwa dalam jumlah besar, "Kami memperkirakan banyak orang yang akan berkumpul disana. Akan tetapi, kami tidak menyangka akan terjadi insiden yang menelan korban dalam skala besar," ungkap Hong.
Kabar duka Itaewon turut manarik perhatian masyarakat dunia. Ucapan belasungkawa atas tragedi kelam tersebut juga memenuhi seluruh beranda media sosial, tidak terkecuali presiden Indonesia. Melalui akun Twitternya, Presiden Jokowi menyampaikan belasungkawa atas tragedi Halloween di Itaewon. Ia juga mengatakan bahwa Indonesia bersama rakyat Korea Selatan sangat berduka dan berharap korban yang terluka segara pulih.
Mengutip laman Britannica, perayaan Halloween atau All Hallows' Eve berasal dari festival Samhain dari bangsa Celtic di Inggris dan Irlandia kuno, sebagai bentuk perayaan untuk memulai pergantian musim panas dan panen dengan awal musim dingin yang gelap gulita dan dingin. Halloween identik dengan pesta kostum menyeramkan, dekorasi horor, mengukir labu, permainan trick or treat dan masih banyak kemeriahan yang dirayakan setiap 31 Oktober. Sejak perayaan ini mulai di kenal dunia, berbagai negara turut serta memeriahkan Halloween day, termasuk di Itaewon, Korea Selatan.
Itaewon merupakan distrik populer di kalangan anak-anak muda Korea Selatan. Tempat itu menjadi simbol kehidupan malam yang bebas di sana. Sebagai negara yang berkiblat dengan Ideologi Kapitalisme, Korea selatan sudah kental dengan kehidupan masyarakatnya yang liberal, hedonis dan permisif. Tidak heran banyak industri hiburan berdatangan dan memadati distrik tersebut untuk menawarkan berbagai produk dan jasa. Mereka mewadahi muda mudi di sana berbagai kesenangan materi dan duniawi.
Kita tentu prihatin dan menyayangkan atas tragedi Halloween yang menewaskan ratusan orang. Hanya karena sebuah perta, nyawa melayang.Â
Semenjak adanya pengurangan pembatasan diberbagai negara pasca menurunnya kasus Covid-19, euforia masyarakat untuk mencari hiburan semakin tinggi, bahkan diantaranya banyak yang membuat kerumunan massa.Â
Tragedi ini tentu menyiratkan akan potret kelam kehidupan hari ini. Hal ini tidak terlepas dari gaya hidup liberal dan hedonis yang menjangkiti generasi muda. Mereka mendefinisikan kebahagiaan sebatas berpesta, bersenang-senang dan mengejar kehidupan yang sifatnya materi, tanpa berpikir jauh ke depan.Â
Hal ini juga turut meyuburkan berbagai perilaku maksiat karena pemahaman sekuler dan permisif yang menjadi cerminan peradaban kapitalisme saat ini. Banyak bukti menunjukkan bahwa setiap ada pesta atau hura-hura seringkali beriringan dengan konsumsi, miras, narkoba, bahkan hingga free sex.Â
Dari insiden tragis di Itaewon juga disinyalir adanya pengguna narkoba yang berkelahi dengan beberapa orang sehingga situasi menjadi tidak terkendali dan makin kacau.
Jika menarik kebelakang, kehidupan Korea Selatan saat ini tidak terlepas dari invasi budaya Barat ke negeri mereka. Namun masyarakat mereka mudah menerima dan menganggap wajar karena gaya hidupnya yang cenderung liberal, hedonis, bahkan atheis.Â
Tapi bagaimana dengan jika invasi budaya dan pemikiran asing ini diadopsi negeri-negeri yang mayoritas berpenduduk muslim? Tentu hal tersebut akan berbahaya bagi identitas dan keberlangsungan hidup generasi.
Berkaca dari tragedi Itaewon, tentu sebagai negeri mayoritas muslim, tidak ingin generasi mudanya berkiblat dengan gaya hidup hedonis dan liberal atau bahkan memiliki pemikiran sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dalam kehidupannya.Â
Terlebih generasi muda kita saat ini telah silau dan terpukau dengan serba-serbi Korea Selatan, seperti budaya, pakaian, makanan, cara berbicara, teknologi, pendidikan, dan kemajuan infrastrukturnya. Sudah semestinya hal ini menjadi perhatian seluruh elemen, baik masyarakat maupun pemerintah.
Pemerintah mestinya tidak membiarkan budaya dan pemikiran asing menjamur di Indonesia. Namun, realitanya justru banyak caf dan club yang mengadakan pesta Halloween dan dibiarkan tanpa adanya upaya preventif dari pemerintah.Â
Bahkan bentuk perayaan sejenis yang berasal dari budaya asing seperti tahun baru dan Valentine's day juga tidak pernah dicegah ataupun dilarang. Budaya-budaya dan pemikiran tersebut dibiarkan merasuk ke dalam jiwa generasi muda saat ini seolah-olah tidak berdampak negatif dan wajar sebagai cerminan generasi peradaban milenial.
Adakah manfaat dan dampak positif ekspansi budaya dan pemikiran asing dalam membangun karakter generasi masa depan? yang ada justru para pemuda menjadi penjaja gaya hidup barat yang sekuler, liberal, materialis, dan hedonis.Â
Mereka menjadi pemuda yang hilang jati diri dan mulai terbiasa dengan kehidupan yang menawarkan kesenangan, semisal seks bebas. Bahkan tidak jarang yang sampai melakukan kekerasan seksual, perundungan, tawuran, bunuh diri, aborsi, dan sebagainnya.
Ibarat menanam pohon hingga berbuah, kita tidak akan merasakan manis buahnya jika kita tidak merawatnya sedari awal. Pohon yang bagus pastinya harus selalu diberi nutrisi yang baik agar tumbuh dan berbuah manis.
Analogi tersebut juga sama halnya dengan gambaran generasi muda, penting adanya nutrisi yang baik berupa aqidah Islam yang ditanamkan kepada mereka. Tentunya hal ini perlu peran negara dalam membina dan mendidik calon tunas peradaban tersebut.
Sejatinya, peradaban cemerlang tidak terlepas dapi bagaimana pemimpin dan masyarakatnya, dan para pemimpin besar lahir dari generasi mudanya. Jika kita menginginkan peradaban  yang mulia dan cemerlang, maka negara wajib memberikan perhatian besar pada generasi mudanya. Apa saja yang harus dilakukan?
Pertama, menerapkan pola asuh pendidikan keluarga berdasarkan akidah Islam. Keluarga adalah pintu pertama pembentukan kepribadian generasi, oleh karenanya, orang tua harus membekali diri dengan ilmu agama yang cukup agar mampu mendidik anak-anaknya agar bertaqwa. Kedua, sistem pendidikan berbasis aqidah islam.Â
Sehingga negara harus menyelenggarakan kurikulum yang disusun sesuai akidah islam. Namun, hal ini tidak cukup apabila tidak disokong dengan pembiayaan pendidikan yang dapat dijangkau seluruh masyarakat, sehingga perlu adanya dukungan politik ekonomi islam.
Ketiga, mengkondisikan sosial masyarakat yang kondusif. Hal tersebut dilakukan agar ada aktivitas saling mengingatkan antar individu ataupun kelompok masyarakat. Terakhir adalah penetapan sistem sanksi yang memberi efek jera. Jika negara sudah melaksanakan upaya-upaya preventif di semua aspek, tapi masih saja ada pelanggaran, sistem sanksi syariatlah sebagai pintu terakhir menjaga masyarakat dari perilaku salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H