Mohon tunggu...
Fajar Upper
Fajar Upper Mohon Tunggu... -

Peminum kopi sachet dan pembeli rokok eceran. Co Founder http://www.esensiana.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengubah Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar, Langkah Cerdas Mengatasi Dua Masalah dalam Sekali Kerja

5 Oktober 2017   14:25 Diperbarui: 6 Oktober 2017   01:47 3012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari, kita, baik secara sadar maupun tidak, memproduksi sampah sebagai konsekuensi dari aktivitas kita. Sebagian dari sampah yang kita hasilkan merupakan sampah plastik yang begitu sulit diurai secara alami. Namun demikian, sifat plastik yang mudah digunakan serta murah, membuatnya menjadi pilihan utama dalam berbagai pengemasan produk yang kita gunakan. Tak hanya itu, kantong plastik juga merupakan hal yang sulit untuk dihindari ketika kita membeli sesuatu.

Dengan begitu banyaknya produk yang menggunakan kemasan plastik, sulit bagi kita untuk lepas dari ketergantungan akan plastik. Menurut penelitian dari Indonesia Solid Waste Assosiation (InSWA), rata-rata orang Indonesia memproduksi 0,5 Kg sampah setiap hari dan 13 persen dari jumlah itu merupakan sampah plastik.

Dengan melihat produksi sampah per individu tersebut, maka wajar kalau secara nasional negara kita juga mengalami permasalahan terkait sampah. Saat ini kita berada di peringkat dua sebagai negara penghasil sampah terbesar di dunia. Dengan produksi sampah yang mencapai 64 juta ton per tahun. Kita hanya satu tingkat lebih baik dari China selaku penghasil sampah terbanyak dunia. Yang lebih mengerikan, 14 persen dari 64 juta ton produksi sampah nasional adalah sampah plastik. Dengan angka itu berarti dalam waktu satu tahun saja, akan ada 9,52 juta ton sampah plastik.

Dalam laporan terpisah, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) melaporkan sampah kantong plastik yang dihasilkan mencapai 10,95 juta lembar per tahun. Maka jika persoalan ini dibiarkan terus menerus tanpa mendapat penanganan yang tepat, tidak berlebihan jika mengatakan Indonesia lambat laun akan tenggelam dalam tumpukan sampah yang dihasilkan penduduknya sendiri.

Saat ini, berbagai kelompok maupun pemerintah memang tidaklah tinggal diam dalam menghadapi persoalan sampah. Mereka terus berupaya menciptakan berbagai terobosan dan inovasi. Salah satu inovasi yang tercipta dari pengolahan sampah plastik ini adalah penggunaanya dalam campuran aspal yang beberapa waktu lalu diujicobakan. Hanya saja, dengan produksi sampah plastik yang demikian cepat, tidak mampu diimbangi dengan tingginya pengaspalan jalan yang melibatkan plastik. Sehingga perlu banyak inovasi lain untuk bisa mengatasi krisis lingkungan akibat pesatnya peningkatan sampah plastik.

Selain krisis lingkungan, Indonesia juga mengalami krisis energi. Terutama pada energi berbasis bahan bakar minyak. Betapapun Indonesia dijuluki zamrud katulistiwa, negara kaya raya yang memiliki cadangan minyak berlimpah, tapi jika terus menerus diekplorasi cadangan minyak tersebut akan habis. Energi fosil yang berupa cadangan minyak dan gas bumi tersebut diperkirakan akan habis dalam 12 tahun mendatang.

Rentang waktu tersebut adalah waktu yang sebentar untuk merubah haluan dari kebiasaan menggunakan energi fosil menjadi menggunakan energi alternatif, misalnya, energi nabati. Selain itu, penggunaan energi nabati memerlukan persiapan infrastruktur dari mulai on farm hingga off farm-nya. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan pangannya saja, negara kita masih harus mengimpor berbagai komoditas pertanian.

Maka penggunaan sumber-sumber lain sebagai energi alternatif adalah kemungkinan yang harus disambut baik. Salah satunya adalah pemanfaatan sampah plastik menjadi bahan bakar pengganti minyak bumi.

Inovasi ini memang bukanlah barang baru bagi dunia energi tanah air. Namun demikian pemanfaatannya yang masih kecil membuatnya harus terus disosialisasikan sekaligus terus disempurnakan. Hal ini penting karena dengan mengubah sampah plastik menjadi energi alternatif berarti kita sudah menyelesaikan dua masalah besar dalam satu langkah kerja. Di satu sisi kita mengurangi jumlah sampah plastik yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terdekomposisi, di sisi lain kita menyediakan energi alternatif sebagai pengganti energi fosil yang cadangannya kian hari kian menipis.

i-59d67e1a7a70f12c17221722.png
i-59d67e1a7a70f12c17221722.png
Pemanfaatan sampah plastik menjadi energi alternatif ini sebenarnya relatif sederhana. Sistem kerja yang digunakan adalah dengan pirolisis. Yakni suatu proses dekomposisi termokimia suatu bahan melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen atau pereaksi kimia lainnya, di mana material mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas. Gas yang dihasilkan dari proses pirolisis ini didinginkan sehingga bentuknya akan menjadi cair.

Secara teknis, sampah plastik dipanaskan dalam sebuah tabung reaktor hingga meleleh lalu menguap. Uap yang dihasilkan dari pemanasan sampah plastik kemudian disalurkan melalui pipa menuju kondensor atau pendingin. Dengan begitu, uap akan berubah menjadi cair. Cairan inilah yang selanjutnya dapat diolah menjadi bahan bakar setara minyak tanah, premium, maupun solar, tergantung dari proses lanjutan yang dilakukan.

Dalam skala kecil kita bisa memanfaatkan benda-benda sederhana untuk membuat instalasi pengubah sampah plastik menjadi minyak ini. Pengalam penulis, ketika mensosialisasikan teknik ini saat KKN dulu, tabung reaktor dan kondensor bisa dibuat dari drum ataupun kaleng bekas. Juga dengan pipa yang bisa memanfaatkan pipa bekas. Dengan kata lain, teknik konversi sampah plastik menjadi minyak ini merupakan inovasi yang cukup mudah dan bisa diterapkan di banyak tempat.

Sebagai pemanas tabung reaktor kita dapat menggunakan api dari sampah organik yang telah diubah menjadi biogas untuk pembakaran awal. Jika sudah jadi, kita bisa menggunakan sebagian minyak yang telah dihasilkan untuk proses pemanasan berikutnya.

Namun demikian diperlukan upaya serius dari berbagai pihak untuk mensukseskan penggunaan energi alternatif tersebut. Selain diperlukan kesadaran masyarakat sebagai pengguna, juga perlu dukungan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Kerapkali, pengembangan energi alterntif terhambat oleh kebijakan dan birokrasi pemerintah yang berbelit-belit.

Lebih dari itu, akademisi dan perusahaan juga memiliki peranan penting dalam upaya konversi sampah plastik ke minyak ini. Para akademisi dituntut untuk melakukan penelitian lanjutan dan penyempurnaan instalasi agar tercipta efisiensi pengolahan. Sementara perusahaan, terutama yang bergerak di bidang energi, memiliki tanggungjawab moral untuk mendukung gerakan tersebut. Dengan kemampuan kapital yang dimiliki, perusahaan bahkan bisa memodali biaya riset sekaligus mengkomersialkannya jika produk telah benar-benar jadi.

Dengan kata lain, keberhasilan dari penggunaan energi alternatif ini merupakan kerja bersama dari berbagai pihak. Tanpa itu, mustahil perubahan besar bisa dilakukan. Karena seringkali, sebagai bangsa yang besar kita mengecilkan diri dengan bekerja secara parsial. Oleh karena itu diperlukan kebesaran hati dari semua pihak untuk dapat bekerjasama. Ingat, sinergi adalah energi. Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun