Mohon tunggu...
Fajar Saputro
Fajar Saputro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jukir Tua

22 Agustus 2018   16:26 Diperbarui: 22 Agustus 2018   16:33 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Murah sekali, pak! Lantas bagaimana dengan nasib saya selanjutnya?"

"Wi, aku cuma kepala desa. Tak bisa memikirkan nasib orang perorang."

"Ini namanya pemaksaan!"

"Kau yang menentukan nasibmu sendiri, Wi. Aku sudah berusaha mencarikan jalan tengah untukmu. Terimalah keadaan ini sebagai kenyataan."

***

Pintu rumah Nyuwito digedor. Ia terbangun dari tidurnya, membukakan pintu. Belum habis kegundahan hatinya akan nasib tanah leluhurnya---sekarang ia dikagetkan oleh suara gedoran pintu di malam yang pekat.

Ketika pintu dibuka, beberapa orang asing tengah berdiri di beranda rumahnya. Ada tiga orang: bersepatu lars panjang, badannya tinggi besar, dan model rambut yang dicukur cepak. Mereka bertiga terlihat seragam. "Kamu Nyuwito?" tanya salah satu tamunya. Belum sempat ia menjawab, ketiga orang asing itu pergi meninggalkannya yang tengah gemetar di ambang pintu.\

Setelah kejadian itu, hari-harinya terasa tak nyaman. Nyiwito merasa sedang diikuti ke mana pun ia pergi: sawah, ladang, bahkan ketika berjualan di pasar. Sering ia melihat laki-laki dengan model rambut cepak mondar-mandir di pematang sawahnya, laki-laki itu terus memperhatikan gerak-geriknya. Dan yang paling sering ia alami adalah, ketukan pintu di malam hari yang hanya sekadar bertanya namanya lalu pergi.

Keteguhan hati Nyuwito untuk mempertahankan tanah warisan, membuat ia harus menerima perlakuan fisik. Pernah suatu hari, ketika Nyuwito sedang tekun-tekunnya mencangkul tanahnya di ladang, beberapa orang mendatanginya dan menodongkan bedil di kepala.

 Pertanyaan mereka masih sama: "kamu Nyuwito?" lalu mereka pergi begitu saja. Tapi gertakan itu tak membuat Nyuwito surut. Dan  puncaknya, Nyuwito dihajar hingga babak-belur. Hidungnya berdarah, telinganya berdarah, matanya juga berdarah.

"Sudahlah, pak, jual saja. Jangan mempersulit diri. Kasihan anak-anakmu." Kata istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun