Mohon tunggu...
Fajar Saputro
Fajar Saputro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ia Sujud Terlalu Lama

17 Agustus 2018   18:11 Diperbarui: 18 Agustus 2018   05:43 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itupun ia beli hanya satu tahun sekali, sebab dalam sekali pembelian---rubber compound  bisa ia gunakan untuk menambal ratusan ban yang bocor. Maka tak heran, meskipun profesinya tampak remeh, ia bisa membeli rumah dan mobil dari kegiatannya itu.

Selain Cak Fuad, ada Lik Yanto, penjual nasi goreng yang cukup laris-manis. Saking larisnya, dalam kurun lima tahun, keuntungannya bisa ia gunakan untuk membeli dua rumah: satu di kota ini, dan satunya lagi di kampung istrinya.

Dan yang terakhir adalah Mbah Min, pria berusia tujuh puluh tahun penjual buah-buahan. Ia menjajakan dagangannya di atas gerobak dorong, dari pagi hingga malam hari ia berkeliling ke pemukiman warga. Rutinitasnya begini: sebelum azan Subuh Mbah Min telah bergegas ke pasar untuk belanja, kemudian ia jual lagi dengan cara berkeliling kampung satu ke kampung yang lain dengan mengambil selisih harga beli di pasar.

Jika malam telah datang, Mbah Min pulang ke perempatan jalan, tidur di depan teras ruko hanya dengan beralas lembaran kardus. Mbah Min melakukan kegiatan sehari-harinya juga terhitung tidak sebentar, tapi ia nyaman-nyaman saja menghabiskan jam istirahatnya di pinggir jalan. Sebab, dari kabar yang beredar, Mbah Min tidur berbantal uang hasil kegiatan berdagangnya. Mungkin sebab itulah ia merasa tak kekurangan suatu apa.

Meskipun nasib Pak No tampak lebih beruntung dari Mbah Min yang tidur di emperan toko, sesungguhnya tidak demikian. Mbah Min hidup sendiri, tak memiliki tanggungan biaya-wajib-bulanan. Sedangkan Pak No, setiap bulan harus mengirim hasil jerih payahnya ke kampung halaman.

Pak No berasal dari Kediri, memiliki seorang istri dan dua orang anak yang masing-masing telah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Ia datang ke kota ini pada awal tahun '90-an, saat itu ia bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik rokok yang lumayan besar. Setelah bekerja sekian lama, pada tahun 1998, pabrik itu tutup dan akhirnya Pak No harus kehilangan pekerjaannya.

Selama berbulan-bulan ia bertahan hidup tanpa kepastian, hingga akhirnya Pak No memutuskan untuk menekuni pekerjaan sebagai penarik betor dengan sistim bagi hasil. Rupanya, pekerjaan itu berjodoh dengannya.

Saya sangat mengetahui setiap inci riwayat hidup Pak No, begitu juga sebaliknya---sebab kami merasa kawan sepenanggungan yang menggantungkan nasib di tempat yang sama. Itu kenapa tidak ada yang kami tutup-tutupi, maka saya tak pernah sungkan bertanya macam-macam kepada Pak No---termasuk mengenai alasan---kenapa ia tak memutuskan pulang setelah kehilangan pekerjaan.

"Saya malu, mas, jika harus menjadi pengangguran di rumah." Katanya dengan mata yang menerawang.

"Sekarang usia Pak No kan sudah tidak muda lagi," saya menanggapi, "anak-anak kan sudah lulus dan punya pekerjaan sendiri-sendiri. Lalu mau cari apa lagi?"

"Menjadi pengangguran itu tidak enak, mas. Apalagi hidup di desa: dengan usia yang setua ini, ditambah dengan---tidak memiliki tanah untuk digarap, keberadaan saya hanya akan menjadi bahan omongan orang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun