Mohon tunggu...
Fajar Sutrisno
Fajar Sutrisno Mohon Tunggu... Hamba Allah -

Pengelana Kata...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Kegelapan Menuju Cahaya

16 Mei 2019   13:17 Diperbarui: 16 Mei 2019   13:50 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu aku bangun. Aku mendapati diriku sedang duduk disamping ranjang yang semalam aku tiduri. Bedanya, kali ini aku berada di samping diriku yang sedang terbaring.

Anakku nampak sedang duduk disamping ranjang, menangis. Aku berusaha mencoba untuk berkata-kata. Apa daya, dia tidak mendengarku. Hanya isak tangis yang aku dengar darinya. Ya, dia tidak bisa mendengar dan melihatku, namun suaranya bisa dengan jelas dan jernih aku dengarkan.

Nampaknya jiwaku telah meninggalkan ragaku pagi itu. Aku bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa orang tetanggaku mulai datang. Mereka nampak memindahkan jasadku ke ruang tengah, ruang dimana aku biasa bersenda gurau dengan orang-orang yang aku kasihi dan sayangi.

Kemudian datang satu orang yang aku kenali wajahnya. Dia adalah seorang pengurus jenazah yang sekali waktu pernah membantuku mengurus jenazah tetanggaku beberapa tahun yang lalu. Baru kemarin malam aku mengganti dan memakai bajuku sendiri, rupanya kali ini seseorang melakukannya untukku.

Kain kafanpun dibentangkan, disaat yang sama tubuhku dipindahkan ke tempat permandian jenazah. Terlihat dua gayung kecil untuk menyirami jenazah dan selang air bersih.

Kali ini kamar mandi yang biasa aku gunakan sehari-hari tidak aku gunakan lagi. Aku dimandikan didepan rumahku. Annakku dan sang pengurus jenazah mulai menyiramkan air yang begitu dingin terasa di sekujur tubuhku.

Sesaat setelah kain kafan digelar dan dipotong, tubuhku pun dibaringkan diatasnya. Kain murah berwarna putih itu mulai dililitkan ditubuhku yang sudah selesai dimandikan.

Beberapa waktu kemudian datanglah kedua orangtuaku, kakak-kakakku, adikku dan mantan istriku. Ya, beberapa tahun yang lalu kami berpisah. Tidak nampak kesedihan diwajahnya. Hening, diam seribu bahasa dengan raut bingung. "Bagaimana kondisi si mayit?", tanya kakakku. Ya, bahkan namaku pun sudah tidak disebut lagi, hilang bersama ragaku yang masih terpaku melihat semua yang ada dihadapan.

Satu persatu tetangga berdatangan diiringi isak tangis keluargaku yang mulai terdengar. Suara tangis yang membuat telingaku sakit. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang terdengar bisa sedikit mengurangi sakit.

Kemudian sekelompok lelaki yang aku kenali sebagai tetangga baikku mulai mengangkat jenazahku, memindahkannya ke sebuah tandu yang biasa disebut keranda. Tidak pernah aku sangka dan duga bahwa kini giliranku untuk berbaring disitu, setelah sebelumnya, mungkin keranda yang sama pernah digunakan oleh tetanggaku. Entahlah. Ketika keranda diangkat dan digotong bersama, jiwaku berteriak dengan teriakan yang tidak akan pernah didengar oleh jin dan manusia. "Mau dibawa kemana aku?".

Dengan perlahan keranda yang telah ditutup oleh kurung batang dan kain hijau dengan bordir warna emas bertuliskan "Laa Ilaha Ilallah" bergerak perlahan.

Iring-iringan kurung batang yang membawa tubuhkku tiba di Mesjid di dekat rumahku. Mesjid As-suada, berasal dari kata Su'ada yang artinya 'beruntung'.

Sepatah dua patah kata disampaikan oleh pengurus Mesjid. Di akhirnya dimintakan maaf atas segala kesalahan si mayit selama hidup. Ya, aku kini sedang berada di Mesjid. Bedanya bukan dengan kehendak sendiri, namun dengan digotong.

Prosesi menshalatkan jenazahku yang diikuti oleh sedikit orang pun selesai. Kembali kurung batang diangkat kembali. Kali ini dimasukkan ke dalam ambulans.

Berjalan pelan, iring-iringan kendaraan yang membawa jenazahku kemudian berjalan pelan. Kembali aku bertanya "Mau dibawa kemana jenazahku?". Namun seperti sebelumnya, tidak ada yang menjawab.

Sampailah rombongan yang mengantar jenazahku di suatu tempat, Pemakaman Umum. Ya, tempat yang ketika aku hidup dulu selalu aku lewati dengan terburu-buru, kini aku datangi dengan terpaksa.

Terlihat tumpukan tanah merah disamping kubur yang sudah digali. Kurung batang dibuka, jenazahku digotong kembali. Dimasukkan dengan perlahan ke dalam liang lahat. Dengan dibaringkan, wajahku dihadapkan ke arah Baitullah. Kemudian kafan penutup wajahku pun dibuka, disentuhkan ke dasar liang lahat dengan gumpalan tanah yang telah dibentuk sebelumnya sebagai bantal untukku.

Papan kayu pun di tutupkan disepanjang liang lahat. Gundukan tanah disamping liang lahat mulai kembali dimasukkan untuk menutupi jenazahku. Terdengar isak tangis dan tahlil mengiringi.

Semua pergi meninggalkanku. Langkah kakinya terdengar begitu jelas ditelingaku. Tiga hal mengantarku sampai disini, keluargaku, harta bendaku berbentuk kendaraanku dan amal ibadahku. Namun, keluargaku dan harta bendaku kembali pulang. Tinggallah aku dan amal baikku yang bertahan.

Demikian kisahku. Dalam satu dua hari, rekan-rekan kerja, karib kerabat akan melupakanku dan kembali disibukkan dengan dunia. Keluargaku pun begitu, hanya beberapa minggu masih berduka mengingat kenangan bersamaku saat hidup untuk kemudian secara perlahan mulai melupakanku.

Aku kini hanyalah sebuah nisan bernama yang segera terlupa. Sebutir pasir di semesta yang tiada artinya. Dari tanah, kembali ke tanah.

Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Cukuplah kematian sebagai nasehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun