Mohon tunggu...
Fajar Meihadi
Fajar Meihadi Mohon Tunggu... Dosen - اقرأ

Belajar melukis dengan kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam dalam Dimensi Sosial

22 Agustus 2021   11:07 Diperbarui: 22 Agustus 2021   16:58 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika dikaji lebih cermat, proporsi ajaran agama lebih banyak membahas tentang ibadah yang bersifat sosial (muamalah atau al-'adah), dari pada ibadah yang bersifat personal (mahdhah). 

Menurut Ayatullah Khomeini, dalam al-Hukumah al-Islamiyah, perbandingan ayat-ayat ibadah mahdhah dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan sosial (muamalah) satu berbanding seratus (satu ayat ibadah mahdhah, seratus ayat tentang muamalah).

Pendapat lain yang diungkapkan Jalaluddin Rahmat, dari dua puluh jilid Fath al-Bari, Syarah Shahih Bukhari, hanya empat jilid yang membahas tentang ibadah mahdhah. Dari dua jilid Shahih Muslim, yang berkaitan dengan ibadah mahdhah hanya terdapat pada sepertiga jilid pertama.

Tentu perbandingan ini bukan untuk menunjukkan yang paling banyak porsinya adalah yang paling penting dan yang sedikit dianggap "enteng". Setidaknya dengan perbandingan ini kita menjadi paham bahwa tidak boleh bertikai karena perbedaan pendapat penafsiran sehingga merusak persaudaraan dalam kehidupan sosial, karena berbuat baik (muamalah) sama pentingnya dengan melaksanakan ibadah mahdhah yang keduanya merupakan ajaran suci dari Ilahi.

Tetapi anehnya, dewasa ini umat Islam terkesan lebih mementingkan ibadah mahdhah dan abai pada ibadah sosial, merasa (paling) sholeh jika istiqomah mendirikan "ibadah ritual" sekalipun tajamnya lisan melukai hati orang lain. 

Padahal dalam sebuah hadis "dikatakan kepada Rasulullah Saw. bahwa seorang perempuan shaum di siang hari dan mendirikan shalat di malam hari, tetapi ia menyakiti tetangganya. Rasulullah Saw menjawab: ia di neraka" (HR. Ahmad dan al-Hakim dari Abu Hurairah). Betapa shalat dan puasa (ibadah mahdhah) menjadi tidak berarti jika merusak hubungan baik dengan tetangga atau sesama (ibadah sosial).

Bahkan terkadang perbedaan kecil dalam urusan ibadah dibesar-besarkan sehingga menjadi penyebab ketidaksholehan dalam kehidupan sosial. Padahal indikator totalitas dalam beragama ialah memiliki pemahaman dan perliaku secara integral antara kesholehan personal dan kesholehan sosial.

Fenomena lain  yang tragis terjadi dibagian negara ketiga yang mayoritas penduduknya adalah muslim justru malah mempertontonkan konflik sosial tanpa berkesudahan yang itu adalah paradoks dengan ajaran Islam, alih-alih menegakkan perintah Tuhan tetapi disaat yang sama merendahkan harkat martabat kemanusiaan.

Tentu perbuatan jahat dan kejam dalam kehidupan sosial tidak dapat "ditebus" melalui shalat dan puasa, yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan shalat tahajud, yang berbuat zalim tidak hilang dosanya dengan mebaca zikir. 

Tapi sebaliknya, jika dalam ibadah mahdhah (semisal puasa dan haji) pelaksanaannya tidak sempurna atau batal karena melanggaran larangan tertentu, maka kifarat-nya dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah.

Dengan demikian, Islam sudah sangat jelas tidak mengajarkan untuk egoisme spiritual secara personal, terbatas pada pengamalan agama yang formalistik dan berbuat zalim pada sesama atau mengabaikan tetangganya yang kelaparan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun