Mohon tunggu...
Fajar Meihadi
Fajar Meihadi Mohon Tunggu... Dosen - اقرأ

Belajar melukis dengan kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menapaki Jejak Kiai

26 Februari 2021   21:30 Diperbarui: 26 Februari 2021   22:41 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Fajar Meihadi

Kiai Tatang Astarudin adalah putra kedua dari seorang ayah bernama H. Raden Soleh Sukari Sukantawirja (keluarga Keraton Kesepuhan Cirebon) dan ibu Hj. Umaeroh Husen (puteri seorang tokoh tarekat di Cirebon) yang dilahirkan di Kota Cirebon pada 26 Mei 1969. Beliau mendapatkan didikan di tengah kondisi keluarga yang sederhana, sehingga membuatnya terbiasa dengan gaya hidup bersahaja.

Orangtuanya yang taat beragama memberi nasehat agar tidak boleh hidup jauh dari pesantren, nasehat itupun membekas dan menjadi alasan mengapa beliau keluar-masuk pesantren.

Sedari kecil beliau menghabiskan waktu untuk meregup madu ilmu di pesantren dan pengalaman itu menjadi wasilah kedalaman dan keluasan ilmu agama yang dikuasainya. Beberapa pesantren seperti Pesantren Buntet Cirebon, Pesantren Jagasatru Kesepuhan Cirebon, Pesantren al-Munawwir Krapyak, dan Pesantren Cipasung Tasikmalaya menjadi saksi bisu tempat menempa diri.

Keilmuan yang dikuasainya tidak terbatas dari pesantren tapi juga bersumber dari pendidikan formal. Beliau menuntaskan Sekolah Dasar dikampung halamannya, Desa Gumulung Lebak Kecamatan Greged Kabupaten Cirebon Jawa Barat, setelah menyelesaikan Sekolah Dasar beliau melanjutkan ke jenjang berikutnya di SMP Islam Buntet, MAN Mertapada dan PGAN Cirebon.

Kecintaannya pada ilmu telah meneguhkan semangat untuk terus belajar, sehingga menggerakkan niat dan tekad untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, walaupun dihadapkan dengan kondisi ekonomi keluarga yang kurang memadai, tetapi dengan tekad kuat dan dukungan dari orangtua beliau melanjutkan pendidikan tinggi pada program sarjana (S1) di IAIN Sunan Kalijaga Jurusan Peradilan Agama dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada program magister (S2) mengambil jurusan Demografi di Universitas Gajah Mada (UGM), dan jenjang akademik program doktor (S3) diselesaikannya di Universitas Padjajaran (UNPAD) dengan mengambil konsentrasi Hukum Bisnis.

Dua lembaga pendidikan (formal dan non formal) disertai pendidikan dalam keluarga (informal) memberikan pengaruh cukup kuat dan signifikan dalam terbentuknya cakrawala berpikir dan keilmuan yang luas diimbangi kepribadian yang baik (akhlak mulia). Capaian keilmuan yang dipelajari di pesantren dan perguruan tinggi telah menjadikan ia sebagai seorang kiai sekaligus akademisi.

Semasa muda Kiai Tatang dikenal sebagai seorang aktivis, semangat belajar yang tidak pernah pudar menghantarkannya pada ketertarikan untuk mengikuti berbagai organisasi -khususnya organisasi kemahasiswaan (ormawa)- sebagai upaya pengaktualisasian potensi diri. Sejalan waktu meskipun usia terus menua, kegemarannya terhadap organisasi terus berlanjut hingga saat ini, organisasi dijadikannya sebagai kawah candradimuka.

Sejumlah aktivitas yang pernah dan sedang dijalaninya antara lain sebagai Wakil Ketua Tanfidziyyah Nahdhatul Ulama (NU), Wakil Ketua Forum Pondok Pesantren (FPP) Kota Bandung, Ketua Lembaga Wakaf Nahdhatul Ulama (LWPNU) Jawa Barat, Anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, Anggota Dewan Pakar ICMI Jawa Barat, Anggota Bidang Zakat dan Wakaf, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Barat, Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) Jawa Barat, keanggotaan Badan Wakaf Indonesia Pusat, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islami Bandung, dan beliau aktif mengajar di kampus UIN Bandung yang diakui kepakarannya di bidang hukum.

Proses yang cukup panjang melintang dalam berorganisasi telah mengasah jiwa kepemimpinan (leadership), hal ini ditandai dengan kecakapannya sebagai Ketua Yayasan Suwargi Buana Djati yang tengah dikembangkan. Yayasan Suwargi Buana Djati merupakan lembaga yang fokus di bidang pendidikan dan terletak di dua Kota, yaitu di Cirebon terdapat Madrasah Aliyah Terpadu (MAT) dan Pondok Pesantren Al-Kahfi, sedangkan di Bandung terdapat Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islami (PPMU), Univarsal Language Institute, dan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT).

Motivasi yang rendah dan menganggap bekerja lebih penting -karena menghasilkan pundi-pundi rupiah- dari pada sekolah -yang sebaliknya menghabiskan uang- karena faktor ekonomi keluarga yang tidak berkecukupan telah menyebabkan sebagian besar hanya melanjutkan pendidikan sampai jenjang Menengah Pertama (SMP), sehingga memicu rasa keprihatinan pada masyarakat sekitar sebagai tempat kelahirannya.

Sekolah MAT dan pesantren Al-Kahfi hadir membawa secercah cahaya dan lambat-laun merubah pandangan hidup masyarakat, juga memberi pengharapan bagi masyarakat setempat untuk menuntaskan kewajiban (minimal) belajar dua belas tahun, sebab para siswa dapat menyelesaikan pendidikan tanpa dipungut biaya.

Proses pembelajaran di sekolah MAT sama seperti pada umumnya yang memadukan dua lembaga pendidikan (sekolah dan pesantren), disamping kegiatan belajar pada siang hari di sekolah, siswa juga tinggal di pesantren untuk belajar ilmu agama diluar jam sekolah. Hal ini dilakukan sebagai upaya membentuk pribadi yang unggul dan berintegritas serta pembekalan keilmuan agar para siswa memiliki kecakapan dalam hidup.

Sedangkan di Bandung terdapat Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islami (PPMU), Univarsal Language Institute, dan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), tepatnya berlokasi di Jalan Kelurahan Cipadung No.1 Rt 03 Rw 08 Kecamatan Cibiru Kota Bandung Jawa Barat 40614 (sekaligus tempat kediamannya) yang tengah dirintis sejak tahun 2010. Kegelisahan atas kondisi masyarakat di lingkungan sekitar kediamannya terkait keberagamaan menjadi alasan dirintisnya PPMU. Besar harapan PPMU dirintis agar menjadi center of exellence dalam pengkajian dan pengamalan nilai-nilai keislaman inklusif-transformatif-emansipatoris yang berorientasi mewujudkan kemaslahatan universal.

Dalam kiprahnya PPMU sudah memberikan spirit keagama yang luwes dan akomodatif terhadap berbagai realitas sosial dan kearifan lokal di sekitarnya, disamping juga memberikan paham keagamaan yang moderat dan inklusif. Perjalanan panjang ketika merintis tidak selalu mulus, semua dilalui dengan penuh kesabaran dan kerendahan hati, suka duka kerapkali hadir silih berganti. Jalan sunyi menjadi prinsip perjuangan dalam berdakwah untuk menghindari perdebatan (konfrontatif), cara pandang yang menyejukkan selalu dikedepankan dalam menyikapi segala kegaduhan.

Sikapnya yang ramah, tutur katanya yang santun serta gaya kepemimpinan yang demokratis dan karismatik selalu menjadi panutan para santri. Seingat penulis -yang sering menemani kesibukan aktivitasnya- kepribadiannya sangat tawadhu, seemosi apapun selalu berupaya untuk tidak marah dan keramahan adalah caranya dalam bergaul. Pendekatan humanistik menjadi ciri khas tersendiri dalam mengajar, terlihat pada upaya penguatan kognitif dan apektif agar para santri memiliki penguasaan ilmu yang luas disertai kepekaan terhadap lingkungan dan kemelut persoalan kemanusian.

Setiap kata yang terucap seringkali menyentuh rasa yang sanggup mengundang air mata, kehadirannya selalu dirindukan para santri. Kiai Tatang Astarudin bukan tipikal yang betah hidup berlebih-lebihan ditengah para santri yang kerapkali mengalami kesulitan, sisi kuat rasa empati telah menjadikannya sosok yang dermawan, beliau tidak kapok berbagi meskipun terkadang dikhianati. Setiap kesulitan santri dirasakannya sungguh-sungguh untuk kemudian dicari solusi pemecahannya.

Sisi Keluarga

Kiai Tatang Astarudin mempersunting Farida Mardiawati kelahiran Indramayu -puteri dari pasangan KH. Ahmad Sayuti Hasan seorang politisi dan aktivis NU dan Hj. Djaoharotul Mardliyyah Ruhiat, puteri KH. Ruhiat, tokoh NU dan Pendiri Pesantren Cipasung- sebagi pendamping hidup kala suka maupun duka.

Pernikahannya berlangsung atas dominasi kehendak orangtua (dijodohkan), meski sebelumnya -semasa kuliah di Yogyakarta- sudah saling mengenal, sikap patuh kepada orangtua telah mengabaikan stigma orang kebanyakan yang berkeyakinan bahwa dijodohkan adalah "musibah", pasalnya harus menikah bukan atas dasar cinta melainkan karena terpaksa. Sejalan waktu beliau mulai merasakan manisnya dijodohkan hingga meyakini bahwa "pilihan orang tua adalah pilihan terbaik", pernyataannya seolah menepis persepsi orang kebanyakan terkait perjodohan.

Pernikahannya dikaruniai empat anak, dua putra (Muhammad Riza Fairuzzabadi dan Ahmad Ruhiat Faqih Falahi) dan dua putri (Vita Ghania Naila Tsurayya dan Najma Nawal Rizkia Nurul Izzah). Kehidupan keluarganya penuh kehangatan, kata "sayang" penuh makna kerapkali diucapkan sebagai panggilan kepada dambaan hati (baik istri maupun si buah hati) sekaligus ekspresi kecintaannya kepada keluarga. Kata itu diucapkan selain untuk mewakili perasaan hati juga sebagai upaya membangun keharmonisan dalam keluarga.

Selaku kepala keluarga beliau selalu mengedepankan musyawarah, sikap demokratis menjadi prinsip dalam membina rumah tangga. Tidak jarang meminta pendapat sang istri untuk mengambil keputusan bersama. Hal serupa dilakukan kepada putra-putrinya yang selalu membuka ruang dialog ketika ada keinginan dan pendapat yang bersebrangan untuk kemudian dicari titik temu bersama-sama.

"Doa terbaik saya panjatkan teruntuk kiai beserta keluarga"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun