Sekolah MAT dan pesantren Al-Kahfi hadir membawa secercah cahaya dan lambat-laun merubah pandangan hidup masyarakat, juga memberi pengharapan bagi masyarakat setempat untuk menuntaskan kewajiban (minimal) belajar dua belas tahun, sebab para siswa dapat menyelesaikan pendidikan tanpa dipungut biaya.
Proses pembelajaran di sekolah MAT sama seperti pada umumnya yang memadukan dua lembaga pendidikan (sekolah dan pesantren), disamping kegiatan belajar pada siang hari di sekolah, siswa juga tinggal di pesantren untuk belajar ilmu agama diluar jam sekolah. Hal ini dilakukan sebagai upaya membentuk pribadi yang unggul dan berintegritas serta pembekalan keilmuan agar para siswa memiliki kecakapan dalam hidup.
Sedangkan di Bandung terdapat Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Al-Islami (PPMU), Univarsal Language Institute, dan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), tepatnya berlokasi di Jalan Kelurahan Cipadung No.1 Rt 03 Rw 08 Kecamatan Cibiru Kota Bandung Jawa Barat 40614 (sekaligus tempat kediamannya) yang tengah dirintis sejak tahun 2010. Kegelisahan atas kondisi masyarakat di lingkungan sekitar kediamannya terkait keberagamaan menjadi alasan dirintisnya PPMU. Besar harapan PPMU dirintis agar menjadi center of exellence dalam pengkajian dan pengamalan nilai-nilai keislaman inklusif-transformatif-emansipatoris yang berorientasi mewujudkan kemaslahatan universal.
Dalam kiprahnya PPMU sudah memberikan spirit keagama yang luwes dan akomodatif terhadap berbagai realitas sosial dan kearifan lokal di sekitarnya, disamping juga memberikan paham keagamaan yang moderat dan inklusif. Perjalanan panjang ketika merintis tidak selalu mulus, semua dilalui dengan penuh kesabaran dan kerendahan hati, suka duka kerapkali hadir silih berganti. Jalan sunyi menjadi prinsip perjuangan dalam berdakwah untuk menghindari perdebatan (konfrontatif), cara pandang yang menyejukkan selalu dikedepankan dalam menyikapi segala kegaduhan.
Sikapnya yang ramah, tutur katanya yang santun serta gaya kepemimpinan yang demokratis dan karismatik selalu menjadi panutan para santri. Seingat penulis -yang sering menemani kesibukan aktivitasnya- kepribadiannya sangat tawadhu, seemosi apapun selalu berupaya untuk tidak marah dan keramahan adalah caranya dalam bergaul. Pendekatan humanistik menjadi ciri khas tersendiri dalam mengajar, terlihat pada upaya penguatan kognitif dan apektif agar para santri memiliki penguasaan ilmu yang luas disertai kepekaan terhadap lingkungan dan kemelut persoalan kemanusian.
Setiap kata yang terucap seringkali menyentuh rasa yang sanggup mengundang air mata, kehadirannya selalu dirindukan para santri. Kiai Tatang Astarudin bukan tipikal yang betah hidup berlebih-lebihan ditengah para santri yang kerapkali mengalami kesulitan, sisi kuat rasa empati telah menjadikannya sosok yang dermawan, beliau tidak kapok berbagi meskipun terkadang dikhianati. Setiap kesulitan santri dirasakannya sungguh-sungguh untuk kemudian dicari solusi pemecahannya.
Sisi Keluarga
Kiai Tatang Astarudin mempersunting Farida Mardiawati kelahiran Indramayu -puteri dari pasangan KH. Ahmad Sayuti Hasan seorang politisi dan aktivis NU dan Hj. Djaoharotul Mardliyyah Ruhiat, puteri KH. Ruhiat, tokoh NU dan Pendiri Pesantren Cipasung- sebagi pendamping hidup kala suka maupun duka.
Pernikahannya berlangsung atas dominasi kehendak orangtua (dijodohkan), meski sebelumnya -semasa kuliah di Yogyakarta- sudah saling mengenal, sikap patuh kepada orangtua telah mengabaikan stigma orang kebanyakan yang berkeyakinan bahwa dijodohkan adalah "musibah", pasalnya harus menikah bukan atas dasar cinta melainkan karena terpaksa. Sejalan waktu beliau mulai merasakan manisnya dijodohkan hingga meyakini bahwa "pilihan orang tua adalah pilihan terbaik", pernyataannya seolah menepis persepsi orang kebanyakan terkait perjodohan.
Pernikahannya dikaruniai empat anak, dua putra (Muhammad Riza Fairuzzabadi dan Ahmad Ruhiat Faqih Falahi) dan dua putri (Vita Ghania Naila Tsurayya dan Najma Nawal Rizkia Nurul Izzah). Kehidupan keluarganya penuh kehangatan, kata "sayang" penuh makna kerapkali diucapkan sebagai panggilan kepada dambaan hati (baik istri maupun si buah hati) sekaligus ekspresi kecintaannya kepada keluarga. Kata itu diucapkan selain untuk mewakili perasaan hati juga sebagai upaya membangun keharmonisan dalam keluarga.
Selaku kepala keluarga beliau selalu mengedepankan musyawarah, sikap demokratis menjadi prinsip dalam membina rumah tangga. Tidak jarang meminta pendapat sang istri untuk mengambil keputusan bersama. Hal serupa dilakukan kepada putra-putrinya yang selalu membuka ruang dialog ketika ada keinginan dan pendapat yang bersebrangan untuk kemudian dicari titik temu bersama-sama.