Tak dendam bukan berarti melupakan, kan mas Budiman?
Masa iya Budiman lupa bagaimana kelamnya sejarah Indonesia. Masa iya, dia lupa pernah disiksa dan dipenjara. Masa iya, dia mencintai orang yang telah menghilangkan belasan bahkan puluhan rekan seperjuangannya?
Apa sih alasan yang memperkuat Budiman merapat ke Prabowo?
Tak ada yang tahu. Hanya Budiman dan Prabowo yang tahu. Kalau kita sih menduga, ada udang di balik batu. Tapi ada dua analisis saya soal itu.
Pertama karena dendam pada PDIP. Manuver Budiman ini sepertinya berkaitan dengan perlakuan PDIP padanya. Budiman yang sudah nyaman dua periode menjabat anggota DPR RI ini 'dibuang' dari dapilnya sendiri pada Pileg 2019. Ia 'dibuang' di dapil neraka, Jatim 7 dengan wilayah Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan dan Ngawi. Alhasil, ia gagal mempertahankan kursinya di Senayan.
Pembuangan Budiman ke dapil neraka dan tak jelas itu mungkin dirasanya sebagai 'penyingkiran' secara halus. Ia yang merasa sudah mengabdi dan berjuang membesarkan PDIP sudah tak dianggap lagi.
Kemarahannya itu ia lampiaskan dengan mendekati lawan PDIP, yakni Prabowo Subianto. Selain kans menangnya cukup besar, Budiman seolah menjadikan ini sebagai ajang pembalasan. Ia ingin membuktikan pada PDIP, mereka salah telah menyia-nyiakannya.
Alasan kedua, ini soal perut. Bagaimanapun, seorang Budiman masih butuh hidup. Ia harus menghidupi keluarganya, membiayai pendidikan anak-anaknya dan mempersiapkan tabungan untuk hari tua. Karena di PDIP ia melihat tak ada kepastian, ia mencoba mencari peluang. Dan ternyata, peluang itu ada pada Prabowo.
Kita tidak tahu apa yang dijanjikan Prabowo pada Budiman, sehingga idealisme pun berani ia gadaikan. Mungkin bisa jadi uang, atau jabatan mentereng ketika kelak Prabowo memimpin kekuasaan.
Yang jelas, bukan hal remeh remeh tentunya, yang mampu membuat Budiman mau mengambil keputusan kontroversial itu.
Kita tidak perlu menduga-duga. Karena apapun alasannya, Budiman pasti tahu resikonya.