Pagi ini berlangsung sama seperti di tahun-tahun sebelumnya, hanya saja kami melaksanakan sholat id di tempat yang berbeda. Saya dan istri memutuskan pergi ke Function centre Campsie, atas ajakan pak Agis, sebuah gedung serbaguna yang di sulap menjadi tempat ibadah sementara untuk umat muslim di Sydney.
Usai shalat, pun seperti yang sudah-sudah, pulang kerumah masing-masing, sungkeman dengan istri dan bermaaf-maafan. Setelah itu, kami berdua lanjut berangkat ke situs-situs halal bi halal, seperti Ashabul Kahfi Islamic Centre, Iqro Foundation, hingga KJRI Sydney.Â
Dalam perjalanan, mulai teringat kembali segenap ragam seremonial suasana sebelum hari H lebaran 5 tahun lalu, sebelum saya merantau ke Sydney, Australia.Â
Dulu, biasanya, saya, ibu, bapak, adek, simbah, bude dan yang lain ngumpul di rumah h-1 lebaran untuk masak-masak bersama, ada juga yang bertugas beres-beres rumah.Â
Disitulah ruang dialektika mewadahi perdebatan-perdebatan dan guyonan yang kerap terjadi, dari yang penting hingga yang tidak penting. Ibu, tengah sibuk meracik rendang kesukaan bapak, saya sedang multitasking, mengaduk opor sembari membaca Lupa Endonesa milik sujiwo tejo, sementara lainnya bertugas sebagai Kitchen hand dan all rounder.Â
Simbah wedok, datang dimik-dimik dengan wajah sedikit galau, beliau sudah 67 tahun, berjalan menuju dapur. Simbah pucat, bukan karena sakit, lebih karena tahu fakta mengejutkan, yakni uang THR lebaran dari anaknya yang bernama Cemung belum cair, lebih panik lagi karena mengetahui yang lainnya sudah mendapati uang THR.Â
Cemung, anak dari simbah saya, sosok yang sangat menyayangi keluarga dan sanak saudara. Diantara yang lainnya, Cemung adalah ibu-ibu yang sangat niat dalam bagi-bagi THR, hingga setiap tahun, target price saya dalam menentukan jumlah THR dari Cemung bisa mencapai 300ribuan per lembar amplop, belum dari bapak, dan om-om yang lain.Â
" mbah, lha kan lebarannya masih besok, mosok uang THR nya sekarang?"Â saya lupa siapa yang nyeletuk begitu. Mungkin Bude, mungkin Ibu.Â
Simbah sudah panik sekujur badan. Dengan wajah kecewa, beliau gagal menjawab pertanyaan itu. Sampai akhirnya "sebenarnya, jika mengikuti aturan kementerian ketenagakerjaan uang THR itu diberikan paling lambat 7 hari sebelum hari H lebaran."Â
Fatwa bapak yang sedikit bijak itu sepertinya membuat simbah wedok sedikit lebih cerah dan optimis. Lantas, simbah pun bercerita, sebenarnya Cemung sudah telpon simbah, ia menyampaikan bahwa tidak ada uang THR tahun ini. Simbah merasa cemas, bagaimana tidak, THR tidak cair sama dengan ia tidak bisa menyisihkan uang untuk di bagi-bagi ke cucu-cucunya. Simbah wedok, memiliki banyak cucu, salah satunya saya, adik saya Epeng, juga Didot. Kemudian beberapa perbocilan seperti Jelo, Aldan, Ryan dan yang lainnya.
Saya menyimak adegan itu sambil mem plating opor ayam yang sudah siap di simpan untuk lebaran besok. Simbah, betapa tampak diam, langit mendung menggantung di hari H-1 lebarannya. Sementara, bude, ibuk, bapak dan Ncan (anak laki-laki simbah) masih saja saling melontarkan diskursus tentang per THRan sembari melanjutkan guyonan mereka.Â
Lalu kenapa saya bisa mengingat semua kejadian-kejadian itu? Kenangan-kenangan indah di hari lebaran berkelebat di sudut-sudut memori saya. Bukan tentang uang THR, ataupun takbir oncor keliling yang gemerlapnya sudah di ganti oleh lampu gadget. Juga bukan soal masak-masak bareng bersama keluarga dirumah. Jawabannya sederhana; karena, itu adalah romantisme hari lebaran. Hal-hal yang membekas sudah pasti menjadi sesuatu yang istimewa yang akan tersimpan dalam ingatan.Â
Saat saya mengetik paragraf ini, istri saya sedang bolak-balik ke kamar mandi. Tiba-tiba saya terpikir, bagaimana nasib si jabang bayi yang masih dalam kandungan itu. Bagaimana ia akan menghargai masa kecilnya ketika ia sudah lahir nanti, jika tidak pernah merasakan serunya konvoi malam takbiran, tidak merasakan senangnya take profit dari amplop-amplop lebaran?  Sebab, di Australia, suasana menjelang dan setelah lebaran cenderung sepi dan monoton.
Tidak banyak hal yang bisa dilakukan disini, selain mengunjungi situs-situs halal bi halal yang trah nya hanya segelintir orang. Tidak ada bagi-bagi THR, tidak ada konvoi takbiran, tidak ada tawuran petasan. Bagaimana anak saya nanti mendapati kenangan romantisme lebaran jika lebaran di Australia tidak se lues dan se menarik di Indonesia? Duh kasihan sekali..Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H