Mohon tunggu...
Fajar Dwi Ariffandhi
Fajar Dwi Ariffandhi Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Lepas

Hadir kembali di kompasiane tempat belajar nulis sejak 2014

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Serangan Pornomedia

7 Januari 2016   14:12 Diperbarui: 7 Januari 2016   15:19 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika masyarakat belum terbuka seperti sekarang ini, pun media massa dan teknologi komunikasi belum berkembang. Segala bentuk pencabulan atau tindakan-tindakan yang jorok dengan menonjolkan objek seks disebut dengan kata porno. Kini konsep pornografi juga telah bergeser dan berkembang. Karena itu secara garis besar, dalam wacana porno atau penggambaran tindakan pencabulan (pornografi) kontemporer, ada beberapa varian pemahaman porno, seperti pornografi, pornoteks, pornosuara, pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori konseptual itu menjadi sajian dalam satu media, sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan pornomedia.

Sebenarnya kalau mau kita akui batasan pornografi hampir tidak ada perbedaan di kalangan masyarakat bahwa perilaku yang menyimpang dari norma-norma kesusilaan dan agama tersebut adalah salah satu bentuk pelanggaran. Tetapi, apa yang sedang terjadi pada media saat ini, mengapa batasan yang sudah kita yakini bersama dengan mudah dilanggar? Bagaimana dampaknya terhadap keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara terutama bagi para pemuda sebagai penikmat media sekaligus generasi penerus?

Eksploitasi perempuan, menjadi hal yang memiliki daya tarik di media massa. Tak sedikit media massa yang secara vulgar menayangkan keindahan tubuh wanita, mulai dari hanya sekedar suara desah perempuan melalui media audio, hingga gambar setengah telanjang di media visual. Norma kesusilaan dan norma agama tak lagi diindahkan, eksploitasi seks sering dihalalkan dengan alasan perspektif seni dan kemenarikan dari sisi media massa.

Sebut saja Tabloid Playboy, majalah untuk dewasa ini bahkan berani mengontrak artis ibu kota ternama untuk mengisi rubriknya. Tidak bisa dipungkiri lagi, bagi media massa ekploitasi pornografi punya nilai jual. Dengan segala daya tariknya, menjadikan perempuan berada dalam ranah eksplorasi dan eksploitasi media massa untuk kepentingan pasar dan terutama pemodal sekaligus perauk keuntungan dari konstruksi ini.

Penjahat Media menyerang hampir semua bentuk media massa dengan pornografi. Majalah dewasa adalah contoh yang konkret eksistensi pornografi. Lebih mirisnya lagi, pelanggaran norma ini sampai merasuki kehidupan dan pola pikir generasi muda, lebih tepatnya kalangan pelajar. Kedekatan pornografi dengan kalangan pelajar tidak dapat terelakkan, modernisasi teknologi menjadi salah satu penyebab mudahnya dunia “sronok” ini mengenalkan diri.

Pelajar masih tergolong remaja yang sarat dengan berbagai gejolak psikologis. Sebagai remaja tentu dalam pikirannya sarat fantasi atau khayalan. Antara kekuatan emosi dan khayalan memungkinkan digunakan dalam berbagai hal yang negatif, tidak menutup kemungkinan pada penyimpangan pornografi dan seksual. Pornografi tentu sangat berpengaruh bagi perilaku seksual remaja.

Regulasi mungkin perlu ditambah, namun yang lebih penting untuk saat ini adalah penegakkan peraturan yang sudah ada sehingga peraturan tersebut tidak hanya wacana. Munculnya budaya pornografi di media massa tidak lepas dari kuasa penguasa industri media massa. Melalui pornografi mereka menjadikan media massa hanya sebagai sumber uang tanpa lagi mempedulikan aspek yang lain termasuk rusaknya pola pikir ataupun moral generasi penerus. Tak hanya itu, mereka menggunakan media massa sebagai sarana untuk menumbuhkan semangat konsumerisme maupun hedonisme.

Berbagai kasus pornografi di Indonesia masih menjadi pertanyaan bagaimana penuntasan hukumnya. Kasus Tabloid Playboy. Tabloid asal Amerika ini beredar di Indonesia bukan tanpa penolakan dari bebagaia kalangan yang menolak pornografi. Kejadian ini sudah jelas melanggar hukum baik norma kesusilaan, terlebih norma agama. Kasus Tabloid Playboy hanyalah salah satu contoh kasat mata, masih banyak kasus lain yang bahkan membawa nama-nama orang ternama dari dunia entertainment bahkan dari kalangan politikus. Pornografi, pornoteks, pornosuara, pornoaksi menjadi pornoasik dalam kemasan pornomedia.

Pelurusan kiblat media massa perlu digeser dari tidak hanya masalah komersialisasi informasi. Ketika informasi hanya sekedar tontonan maka akan hilang kekuatan terpenting dari manusia, karena kita dapat bertahan hidup dari informasi. Media massa tidak boleh hanya mempertimbangkan asas kemenarikan dalam menyajikan informasi, yang terpenting adalah asas kemanfaatan dimana sebuah informasi dapat berguna bagi penerimanya termasuk lingkungan yang tentu terkena dampak dari bermanfaat atau tidaknya sebuah informasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun