Mohon tunggu...
Fajar Dwi Ariffandhi
Fajar Dwi Ariffandhi Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Lepas

Hadir kembali di kompasiane tempat belajar nulis sejak 2014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Sudah Mayoritas Sudah Pasti Benar

1 Januari 2016   03:02 Diperbarui: 1 Januari 2016   04:07 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang sadar kalau membuang sampah sembarangan itu tidak bisa dibenarkan. Mematuhi tata tertib lalu lintas adalah juga kewajiban bagi semua pengendara. Peraturan tetaplah peraturan yang harus ditaati dan semua tahu tentang itu. Tapi, bagaimana kalau peraturan dilanggar secara berjamaah? Siapa yang akan (berani) menyalahkan?                                                  

Perayaan pergantian tahun baru masehi baru saja usai. Perayaan selalu identik dengan pesta, keramaian, bergerombol, dan sorak sorai. Apalagi perayaan tahun baru, menjadi milik hampir seluruh masyarakat di dunia. Tentu perayaan ini menjadi salah satu perayaan terbesar yang terjadwal, istiqomah dirayakan tiap tahunnya. Begitu pula “masalah” yang ditimbulkan juga selalu sama di berbagai daerah di Indonesia terutama kota-kota besar.                                                          

Sampah berserakan dan kemacetan menjadi langganan dalam setiap perayaan tahun baru, baik sesaat dan sesudahnya. Pagi hari, tanggal 1 Januari di awal tahun baru kita bisa melihat para petugas kebersihan harus berkerja ekstra. Pada hari-hari biasa petugas kebersihan ini cukup membawa satu truk sampah untuk membersihkan satu area. Lain halnya ketika sehabis perayaan seperti malam tahun baru, bukan hanya tenaga yang ekstra saat menyikat sampah di jalan. Alat pun juga harus ekstra, tidak cukup dengan hanya satu truk sampah, bisa dua atau bahkan lebih. Volume sampah tentu meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah masyarakat yang berkumpul dalam satu area.                     

Kemacetan yang timbul sebenarnya bukan hanya karena meningkatnya volume kendaraan, tapi meningkatnya juga pelanggaran lalu lintas. Jalan kota yang harusnya berfungsi sebagai “jalan” menjadi tongkrongan. Pengandara dengan antengnya berhenti di tengah jalan. Belum lagi “komunitas-komunitas” motor, yang dengan bangganya tanpa memakai helm dan menggunakan knalpot telo yang suaranya “merdu” minta ampun. Mereka berkonvoi keliling kota, dan seringkali berhenti untuk menarik gas agar suara knalpotnya yang merdu tadi dapat “dinikmati” oleh telinga orang-orang disekelilingnya.              

Sebelum petugas kebersihan turun tangan, bukan berarti para tamu undangan bebas dalam pesta akbar tersebut, hatinya tidak ada yang terbesit untuk menegur teman sebelahnya agar memungut sampah yang (tidak sengaja) dia buang sembarangan. Aparat Kepolisian juga belum tentu diam dan membiarkan para pengendara seenaknya melanggar peraturan lalu-lintas.                          

Mayoritas adalah cermin kebenaran. Kalau doktrin ini sudah diterima, apalah daya seorang biasa berhasil membujuk seorang teman di sebelahnya untuk tidak membuang sampah sembarangan. Hanya seorang, tentu tidak akan membuat petugas kebersihan agak santai membersihkan jalan. Masih banyak ” teman-teman” yang lain tetap membuang sampah sembaranagan. Seorang yang berseragam dan berpangkat saja belum tentu mampu menghalangi ribuan pengendara yang membuat kemacetan, karena hanya seorang. Mereka ini minoritas, mau tidak mau harus “mengalah” pada mayoritas.                                                              

Kalau Sudah Mayoritas Sudah Pasti Benar. Sampah dan kemacetan hanya contoh kecil kegagahan mayoritas. Korupsi tentu saja aman sentosa, tumbuh subur di negeri ini karrena sudah mayoritas, taken for granted. Kapitalisme, sudah menjadi empu-nya system ekonomi, nikung sedikit akan dikira sosialis. Sekarang bagaimana minoritas bisa bertahan di tengah mayoritas? Apakah minoritas harus mengalah dan mengakui “kebenaran” mayoritas?                                                    

“Lebih baik terasingkan daripada hidup dalam kemunafikan” begitu kata Soe, aktivis yang memilih menjadi minoritas. Menyerah adalah sebuah pilihan, tapi tersisihkan dengan perlawanan adalah keberanian. “Ketika Anda menemukan diri Anda berada dalam mayoritas, itulah saatnya Anda berhenti dan merenung”, mungkin ungkapan Mark Twain ini ada benarnya. Tapi sebelum kita menganggap itu benar, ada baiknya kita merenungkannya dulu.

“Mari Berkontemplasi”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun