Mohon tunggu...
FAJAR
FAJAR Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Saya berminat pada literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Resensi Buku Sewindu Bincang Buku GPU

31 Januari 2025   23:56 Diperbarui: 31 Januari 2025   23:56 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Rijsttafel

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Penerbitan: 2011

Buku yang ditulis oleh Fadly Rahman ini secara garis besar menceritakan kebudayaan makan masyarakat Hindia Belanda ketika Tempo Doeloe. Tempo Doeloe sendiri adalah periode kemakmuran koloni Belanda di Nusantara setelah Perang Jawa hingga sebelum pendudukan Jepang. Masa kemakmuran ini salah satunya ditandai dengan kemudahan akses pangan bagi kalangan Eropa di Hindia Belanda.

Kalangan Eropa di Hindia Belanda mempunyai taraf hidup yang lebih baik sehingga dapat mengakses beragam jenis makanan baik makanan Eropa maupun makanan lainnya termasuk makanan masyarakat lokal. Hal tersebut dimungkinkan karena makanan Eropa pada saat itu hanya dapat dinikmati oleh kalangan Eropa dan kalangan lain yang dianggap setara dan kalangan Eropa biasanya mempunyai asisten rumah tangga (ART) yang berasal dari kalangan Bumiputera. Para ART lazimnya ditugaskan untuk menyajikan menu makan sehari-hari kepada tuannya sehingga momen inilah para ART secara tidak langsung memperkenalkan kelezatan hidangan lokal kepada majikan mereka yang berasal dari kalangan Eropa. Perpaduan bahan-bahan yang disertai rempah-rempah sebagai penyedap rasa membuat siapapun yang menikmatinya akan jatuh cinta kepada hidangan tersebut. Kegemaran kalangan Eropa akan cita rasa rempah bukanlah sesuatu yang aneh karena faktor utama kedatangan mereka ke Asia termasuk Nusantara adalah usaha pencarian rempah hingga lokasi rempah-rempah berasal.

Menu lokal yang disajikan kepada kalangan Eropa kerap disebut dengan rijsttafel dengan makna sajian nasi di atas meja namun tidak bermakna hanya nasi yang disajikan di atas meja karena terdapat beragam menu pendamping nasi yang juga disajikan. Pendamping-pendamping nasi tersebut sebetulnya masih dapat kita temukan hingga kehidupan kita sehari-hari saat ini bahkan mungkin kita tidak menyangka apa yang kita nikmati sehari-hari ternyata digemari juga okeh kalangan Eropa pada saat itu. Hidangan seperti perkedel dan ikan asin yang kini dapat kita jumpai di warung dan di rumah pada saat itu menjadi kegemaran warga Eropa. Aneka ragam kuliner yang tersaji adalah contoh nyata adanya percampuran budaya Eropa dengan budaya lokal yang biasa disebut dengan budaya Indis.

Kalangan Eropa yang menggemari sajian lokal dapat menikmati sajian rijsttafel di rumah maupun di hotel atau restoran. Cara menikmati sajian tersebut dengan cara Eropa yaitu duduk di kursi dengan piring di atas meja lalu menyantap sajian dengan menggunakan sendok dan garpu. Hal ini tentu berbeda dengan kebiasaan awal warga Bumiputera yang makan dengan menggunakan tangan. Kalangan Eropa hanya mengadopsi sajian Bumiputera tetapi tidak dengan cara makannya. Hidangan rijsttafel dibawakan oleh para pelayan dalam jumlah banyak ke meja makan. Para pelayan tersebut masing-masing membawa satu hidangan. Tentunya teknis penyajian seperti itu terbaca megah namun di sisi lain kurang praktis. Kepopuleran rijsttafel membuat hotel-hotel di kota-kota besar seperti Des Indes berlomba untuk menyajikan rijsttafel dengan cara yang terbaik. Rijsttafel pada saat itu seolah-olah menjadi simbol kemapanan masyarakat kolonial. Rijsttafel pada kemudian hari kehilangan popularitas ketika masa pendudukan Jepang hingga masa kemerdekaan.

Buku ini menjelaskan rijsttafel seperti yang tergambarkan di atas dan buku ini juga menceritakan resep-resep yang hidangan yang kerap disajikan di dalam rijsttafel. Resep-resep tersebut tertulis dalam Bahasa Belanda sehingga menggambarkan kecintaan orang-orang Belanda akan hidangan Nusantara karena sampai berusaha menuliskan resep yang bukan berasal dari mereka dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. Buku ini sangat layak dibaca bagi yang tertarik dengan sejarah dan kebudayaan era kolonial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun