Mohon tunggu...
Muhammad FajarAlamsyah
Muhammad FajarAlamsyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Jakarta

Suka bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebebasan Berekspresi Dalam Jurnalisme Digital Dan Regulasinya

29 Juni 2023   15:20 Diperbarui: 29 Juni 2023   15:28 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM JURNALISME DIGITAL DAN REGULASINYA
Oleh : Muhammad Fajar Alamsyah (11200510000097)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
 
PENDAHULUAN
Paham media digital, media baru, lalu media online sering digambarkan sebagai konsep yang sama dan saling berkaitan dalam penelitian komunikasi dan media. Dalam konteks ini tentang hadirnya jejaring internet sebagai penggalan faktor teknologi mempengaruhi gerak media ataupun teknologi yang mempengaruhi gerak media. Evolusi Internet selaku digital media di rakyat setidaknya dapat dilihat dari dua perspektif berbeda: di satu sisi, dari posisi media digital bagai penemuan fisik yang muncul dari rangkaian instrumen teknis (Soukup 2015; AllenRobertson 2017). lalu, di sisi lain, dari posisi media digital sebagai media yang memberi pengaru pada kehidupan sosial (Hjarvard 2008). Menurut kedua sudut pandang ini, jurnalisme digital berevolusi dengan cara media digital bertransformasi dan berkenaan pada jurnalisme.
Pandangan dunia yang melihat jurnalisme dan media digital sebagai dua disiplin ilmu yang saling mempengaruhi dipengaruhi oleh gagasan determinisme teknologi. Evolusi jurnalisme yang dibawa oleh teknologi dikenal sebagai "jurnalisme digital" (Kawamoto 2003; Franklin 2014). Ciri-ciri yang memisahkan jurnalisme digital dari jurnalisme analog diciptakan oleh transformasi ini. Meskipun ada beberapa perbedaan, logika proses penciptaan, penyebaran, dan konsumsi jurnalisme digital umumnya mirip dengan jurnalisme di media analog. Perbedaan tersebut meliputi:
(Kawamoto 2003; Franklin 2014) Hipertekstualitas, interaktivitas, nonlinier, pemanfaatan multimedia, pertemuan, individualisasi, dan mempersonalisasi. Keberadaan kedua sudut pandang tersebut berdampak pada berkembangnya perspektif kebebasan dalam media digital. Dalam konteks media digital, kata “kebebasan” tidak hanya merujuk pada hak kebebasan berbicara tetapi juga hak kebebasan berserikat dan berekspresi, termasuk kebebasan pers dalam dunia jurnalisme online. Termasuk dalam tujuan artikel ini adalah pengembangan gagasan kebebasan dalam konteks media digital, khususnya kebebasan pers dalam konteks ekosistem jurnalisme online. Proyek ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana interaksi teknologi dan jurnalisme memengaruhi perubahan ekosistem jurnalisme digital dari sudut pandang deterministik teknologi.
 
PEMBAHASAN
Konsep Kebebasan Berekspresi
Kebebasan bersifat universal karena kebebasan pada hakekatnya adalah milik setiap individu. Dalam konteks ini, Banyak pengertian yang dapat digunakan untuk memahami kebebasan manusia, khususnya ketika menyangkut kebebasan yang terkait dengan hak-hak individu dan bagaimana hubungannya dengan masyarakat secara keseluruhan (Mill 2005:22). Pertama, kebebasan manusia berkaitan dengan ranah kesadaran batin, yang menuntut kesadaran tak terbatas. Ini menyangkut kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, kebebasan rasa praktis dan spekulatif. Dalam hal ini kebebasan berbicara dalam konteks ini lebih berfokus dengan pemikiran manusia dibanding masalah tingkah laku manusia. Kedua, kebebasan untuk membuat rancangan hidup sesuai keinginan, termasuk rela dan menerima sebab dan akibat, selagi yang dikerjakan tidak menyusahkan individu lainnya. Yang terakhir, kebebasan untuk bergabung, berserikat, dan berkumpul, sepanjang tidak merugikan orang lain. Ada beberapa macam pengertian kebebasan, yaitu kebebasan berekspresi, kebebasan aspirasi dan kebebasan berserikat, juga ditorehkan pada bahasan media relasi.
Kebebasan individu merupakan bagian dari kebebasan, dan ditentukan oleh kultur sosial yang digambarkan. Pendapat Mill mengenai kebebasan berbicara mendukung hipotesisnya bahwa kebebasan berpikir adalah milik orang secara individu. Menurutnya, tidak boleh ada usaha untuk mangatur ekspresi pendapat masing-masing individu (Mill 2005). Ini didasarkan pada wawasan Mill bahwa karena manusia tidak memiliki pemahaman teoritis yang jelas tentang realitas, semua kepercayaan harus tunduk pada pengamatan tambahan. Dalam percakapan yang lebih luas, kebebasan berekspresi menciptakan forum publik untuk penyampaian gagasan, tetapi juga memberi mereka yang memiliki otoritas sarana keterlibatan dan kontrol. Bagian ini bisa dilihat sebagai tugas untuk mengontrol administrasi jurnalistik. Menurut Locke, masyarakat membutuhkan kebebasan komunikasi untuk mempertahankan diri dari para pemimpin yang tidak jujur (O'Rourke 2003).
Mill selanjutnya berpendapat bahwa setidaknya ada tiga kondisi kebebasan berbicara dalam masyarakat sebagai sarana pemantauan dan evaluasi pemerintahan publik (O'Rourke 2003). Satu, keterangan yang diperlukan mengenai dewan lalu keadaan dewan harus tersedia untuk umum. Kedua, warga negara harus mempunyai peluang serta keleluasaan untuk menyebarkan data atau informasi. Terakhir, anggota masyarakat bebas mendiskusikan informasi yang mereka terima di antara mereka sendiri. Namun, bukan berarti ada pembatasan kebebasan berekspresi. Menurut Mill (2005), pembatasan kebebasan dilakukan dengan hukum dan dengan paksaan dan kontrol yang lebih besar, yaitu. dalam bentuk undang-undang dengan kekuatan fisik atau dengan tekanan moril pandangan publik. Hak setiap individu tidak boleh dibatasi karena pembatasan kebebasan berbicara ini. Namun, hal ini memungkinkan adanya implikasi bahwa bentuk ekspresi apa pun juga membutuhkan tugas sosial.


Regulasi Kebebasan Jurnalisme Digital
Selain kebebasan berpendapat, juga harus ada kebebasan berserikat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul secara online, dan kebebasan berkomunikasi. Kebebasan ini jelas tidak terbatas. terutama mengingat banyaknya dinamika moral dan etika yang ditimbulkan oleh kebebasan media digital. Untuk melindungi hak kebebasan berbicara dan menjunjung tinggi tanggung jawab sosial media digital, konten harus dibatasi.
Antara kebebasan dan kewajiban sosial, ada regulasi. Tanggung jawab membutuhkan kebebasan tanpa keraguan. (Bertens 2013: 99).
UU Pers, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Kebijakan Media Siber merupakan kerangka pengaturan independensi dan tanggung jawab sosial jurnalisme digital di Indonesia. Semua bentuk barang cetakan diatur oleh Undang-undang Pers dengan cara yang sangat legal. Sedangkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur beberapa aspek pengiriman data melalui media elektronik. Jurnalisme digital berada di tengah-tengah kedua norma ini. Prinsip-prinsip media siber Dewan Pers juga merupakan perwujudan nyata dari ekosistem jurnalisme digital. Etika jurnalistik Dewan Pers dan standar profesionalisme juga berlaku bagi orang-orang yang melakukan jurnalisme digital sebagai produk jurnalistik.
Kegiatan penyiaran melalui sarana penyiaran dan/atau media lain diterima secara serentak dan serentak oleh masyarakat dengan menggunakan alat penerima siaran, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Penggunaan gelombang radio dan spektrum frekuensi yang digunakan dalam penyiaran perlu diatur karena merupakan domain publik dan milik semua orang. Regulasi diperlukan untuk melindungi hak-hak publik yang menggunakan ruang publik agar tidak dilanggar oleh proses penyiaran.
Media konvensional harus inventif dan kreatif agar dapat bersaing dengan media baru dan generasi muda mengingat pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Karena “fasilitas” televisi atau radio sudah masuk ke dalam perangkat kekinian yang memudahkan penggunanya, generasi muda misalnya cenderung jarang membaca koran dan tidak lagi membeli media elektronik.
Mengingat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah tidak dapat lagi berfungsi sebagai pengatur penyiaran di tanah air karena pesatnya perkembangan dunia penyiaran di era digitalisasi dan konvergensi, maka diharapkan dengan adanya peraturan penyiaran yang baru dapat membawa semangat baru dalam hal menata kembali dunia penyiaran di Indonesia. (KPI Pusat, 2013)


Tantangan Etika Jurnalisme Digital
"Demokratisasi" media di era teknologi saat ini memungkinkan partisipasi publik dalam segala bentuk publikasi dan jurnalisme. Karena itu, sering mengaburkan konsep jurnalisme dan identitas jurnalis. Wartawan saat ini, berbeda dengan era sebelumnya, memiliki pemahaman yang jelas tentang siapa mereka sebagai sebuah kolektif. Para penulis ini adalah pakar yang bekerja untuk outlet media dan publikasi terkemuka. Secara umum, tidak sulit bagi orang untuk mengenali personel "pers".
Saat ini, orang-orang yang bukan jurnalis dan tidak bekerja untuk outlet media besar dapat mengidentifikasi diri mereka sebagai jurnalis atau sebagai penulis yang secara rutin menulis tentang peristiwa terkini untuk masyarakat umum atau audiens. Akhirnya, definisi "jurnalis" menjadi kabur. Apakah seseorang disebut jurnalis jika mereka melakukan perilaku yang menyerupai jurnalisme tetapi menolak julukan "jurnalis"?
Jurnalisme digital lebih interaktif dan langsung. Godaan untuk menerbitkan dengan cepat dapat membuat kesalahan atau lebih mungkin menyakiti orang lain. Belum lagi masalah manajemen reputasi.
Dibandingkan dengan media berita tradisional, media digital lebih mudah menerima isu "anonimitas". Surat kabar biasanya meminta penulis untuk memberikan nama mereka. Wartawan tidak diperbolehkan menggunakan sumber anonim, kecuali dalam keadaan terbatas, menurut pedoman etika media arus utama. Menurut kode etik, jurnalis diperingatkan bahwa orang dapat menggunakan anonimitas untuk alasan tertentu, seperti kenyamanan atau perlindungan dari ketidakadilan.
Anonimitas di media digital nyaman karena mendorong kebebasan berbicara dan terkadang membantu mengungkap kesalahan. Namun, beberapa menegaskan bahwa anonimitas mendorong komentar kasar dan sembrono..
Kesulitan etis lainnya adalah membuat protokol untuk menangani kesalahan informasi dan koreksi online. Verifikasi, transparansi, dan kebenaran (akurasi) adalah ide universal. Dalam rangka mendorong masyarakat atau pengguna untuk mengungkapkan pendapatnya, media baru atau pelaku media digital harus menyajikan ide-ide yang benar daripada hoaks, fitnah, kebohongan, atau materi yang menyesatkan lainnya. Pentingnya etika media terus ditekankan dan disosialisasikan untuk mengajak masyarakat memanfaatkan media digital secara bertanggung jawab dan menghormati orang lain.(Sugeng Winarno 2017)


KESIMPULAN
Pertumbuhan teknologi jurnalistik dan perubahan praktik jurnalistik yang sejalan dengan perkembangan media digital menjadi indikator hubungan antara media digital dan jurnalisme. Perspektif jurnalisme digital tidak hanya memperhitungkan ciri-ciri fundamental media digital, tetapi juga berbagai efek komunikasi dalam ekosistem media itu sendiri. Ini juga berdampak pada bagaimana kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial dalam jurnalisme digital memanifestasikan dirinya dalam konteks dunia nyata dan hukum.
Kebebasan berekspresi bukan berarti kebebasan tanpa batas. Menurut Mill (2005), kekerasan terhadap kebebasan dilakukan baik di tingkat legislatif maupun melalui paksaan dan kontrol yang lebih luas, terutama kekerasan tubuh dalam bentuk undang-undang atau tuntutan moral pandangan masyarakat. Kebebasan individu ini tidak terbatasi dengan pembatasan kebebasan berekspresi. Konsekuensinya, bagaimanapun, adalah bahwa semua kebebasan berekspresi sejalan dengan tanggung jawab sosial
Oleh karena itu, dengan memadukan teknologi internet (streaming) dengan teknologi transmisi siaran berbasis frekuensi, media massa (TV, radio, koran, dan majalah) telah berkembang pesat. Meski peraturannya belum terbentuk, diharapkan dapat menggantikan undang-undang yang ada dan menjadi lebih baik karena mampu mengontrol kebebasan dan akses publik terhadap konvergensi media.  

     
REFERENSI
Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Franklin, B. 2014. “The Future Of Journalism”. Digital Journalism, 2(3), 254–272. doi:10.1080/21670811.2014.930253.
Hjarvard, S. 2013. The Mediatization of Culture and Society. London, New York: Routledge.
Kawamoto, Kevin. 2003. Digital Journalism: Emerging Media and the Chaning Horizons of Journalism. Lanham, Boulder, New York, Toronto, Oxford: Rowmand & Littlefield Publishers, Inc.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. 2013. Kedaulatan Frekuensi; Regulasi Penyiaran, KPI, dan Konvergensi Media. Jakarta Kompas
Mill, John Stuart. 2005. On Liberty: Perihal Kebebasan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
O’Rourke, K.C. 2003. John Stuart Mill and Freedom of Expression. London, New York: Routledge
Soukup, Paul A. 2015. “Smartphones”. Communication Research Trends, 34(4), 3-39
Sugeng Winarno. 2017. Turn Back Hoax Tantangan Literasi Media Digital. Jawa Timur: Buku Litera dan Aspikom Korwil Jawa Timur
 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun