Mohon tunggu...
Faiz Zawahir Muntaha
Faiz Zawahir Muntaha Mohon Tunggu... -

KADER BIASA HMI tumbuh dan berkembang di HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung alumni Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung Akun lama kompasiana saya http://www.kompasiana.com/faiz_alzawahir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Manusia Paripurna Sebagai Usaha Pencarian Identitas Diri

11 Februari 2016   07:47 Diperbarui: 11 Februari 2016   08:05 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Oleh : faiz alzawahir

 

Memang dari dulu sampai sekarang tidak ada hasil final yang dapat memuaskan manusia mengenai siapa dia sebenarnya. Meski demikian, memahami manusia sudah menjadi kemestian awal yang harus manusia lakukan sebelum ia beranjak untuk memahami hal-hal lain yang berada di luar dirinya sendiri. Manusia yang tidak mengenal dirinya, akan kesulitan dalam memahami yang lainnya. Hal ini sebagaimana telah di ungkapkan oleh Socrates[1] kepada murid-muridnya ketika ia membicarakan pemikirannya tentang manusia.

“adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri lebih dahulu, jika ia hendak mengetahui hal-hal lain di luar dirinya” [2]

Selain ungkapannya tersebut, Socrates juga mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya adalah belajar tentang manusia. Kalimat tersebut memang sederhana, namun jika dikaji secara fiosofi, kalimat itu mengandung makna yang amat dalam. Manusia merupakan sentral segalanya. Manusia mengatur dirinya, ia membuat peraturan untuk itu; manusia mengatur alam dan ia membuat peraturan untuk itu. Manusia mengurus dirinya juga alam berdasarkan manusia itu sendiri (Ahmad Tafsir, 2006: 7-8).

Tulisan ini, yang saya beri judul “Memahami Manusia Paripurna Sebagai Upaya Pencarian Identitas Diri” berusaha membongkar konsep manusia paripurna. Dengan harapan di era moral yang hampir punah ini, setiap manusia mampu memahami dirinya, dan hal-hal lain di luar dirinya, serta mampu memahami keterkaitan dirinya dengan yang lainnya. Misalnya memahami siapa dirinya, historitasnya, memahami antara keterkaitan dirinya dengan orang lain, alam semesta, bahkan dengan Tuhan yang menjadi sumber segala sesuatu.

MANUSIA; DARI HISTORI SAMPAI PEMIKIRAN

HISTORITAS MANUSIA

 

DAFTAR PUSTAKA

Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Rosdakarya.

Murtiningsih, Wahyu, 2012, Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah, Jogyakarta: IRCiSoD.

 

[1] Socrates adalah seorang filusuf dari ahena yang lahir pada tahun 470 SM. Ia merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, dan pada kurun waktu berikutnya, Plato menjadi guru Aristoteles. Selain menjadi tokoh penting bagi masyarakat Yunani, ia juga merupakan salah satu figur tradisi filosofis Barat yang paling penting. Dan dengan metode yang digunakannya (metode elenchos atau metode majeutike – kebidanan atau menguraikan) dalam mengkaji dan menguji konsep segala sesuatu, Socrates juga dikenal sebagai bapak serta sumber filsafat.

Socrates hidup di tengah keruntuhan imperium Athena. Dimana bermunculan para penguasa politik yang sombong juga para pemuda yang terbius oleh doktrin relativisme dari kaum sofis. Sebuah doktrin yang mengatakan bahwa semua kebenaran itu relatif. Doktrin relativisme telah menggoyahkan teori-teori sains yang telah mapan, serta mengguncankan keyakinan agama. Sehingga menimbulkan kebingungan dan kehancuran tatanan kehidupan. Melihat kondisi Athena yang demikian, Socrates bangkit, kemudian meyakinkan kepada masyarakat Athena bahwa tidak semua kebenaran itu bersifat relatif, tetapi ada juga kebenaran umum yang dapat menjadi pegangan semua orang. Kebaikan dalam pandangan Socrates berasal dari pengetahuan diri. Sebab menrutnya, manusia terlahir untuk suatu tujuan. Manusia pada dasarnya jujur, dan kejahatan merupakan suatu tindakan akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang.

Socrates menikah dengan seorang perempuan yang bernama Xantippe, dan dikarunia tiga anak darinya. Socrates meninggal pada tahun 399 SM dalam usia tujuh puluh tahun, dengan kematiannya yang sangat ironis, yaitu dengan meminum racun sebagai hasil putusan peradilan atas tuduhan bahwa ia telah merusak generasi muda lewat pemikirannya. Putusan tersebut dilakukan secara voting, dengan hasil 280 mendukung hukuman mati baginya, dan 220 menolaknya.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, 2006, hal. 8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun