Mohon tunggu...
Faiz ulin Nuha
Faiz ulin Nuha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Aktif HKI UMM

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoal Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold)

24 Januari 2021   17:18 Diperbarui: 24 Januari 2021   17:53 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2020 telah usai saatnya kita mengevaluasi apa yang telah kita lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Layaknya seorang yang bijaksana setiap apa yang telah dilakukan haruslah dilakukan evaluasi setelahnya. Begitu juga kita sebagai bangsa, kita sebagai bangsa telah melewati masa sulit dan suram namun hal itu diselamatkan oleh gagasan ke depan dengan mengevaluasi yang telah lalu yang dilakukan oleh founding father kita.

Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu eksis di setiap gempuran problem peradaban. Jika kita lihat bangsa indonesia apakah bangsa indonesia adalah suatu bangsa yang besar yang diimpi-impikan oleh bung karno.

Jika kita lihat kondisi perpolitikan Nasional saat ini seakan menuju jurang kehancuran namun saya tetap optimis akan harapan kejayaan bangsa ini seperti masa para founding father dahulu.

Pemilu 2024 masih sangat jauh namun eforia dan gonjang-ganjing politiknya telah terasa sampai sekarang. Ada yang mengatakan bahwa pemilu 2024 adalah pemilu sebenarnya dikarenakan incumbent tidak bisa mencalonkan untuk ketiga kalinya. Meski ada wacana bahwa pembatasan masa jabatan Presiden dari 2 periode menjadi 1 periode.

Masalah tentu selalu ada menjelang dihelatnya sebuah pesta demokrasi akbar ini, dari masalah polarisasi masyarakat sampai masalah kecurangan pemilu seperti money politik. Namun ada masalah yang selalu muncul setiap sebelum dihelatnya pemilu yaitu perdebatan tentang Presidential Threshold atau biasa kita sebut ambang batas pemilu.

Kubu yang pro berpendapat bahwa presidential Threshold itu tepat adanya diberlakukan di Indonesia karena dengan adanya itu, calon presiden yang di usung tidak terlalu banyak, yang mana semakin banyak calon presiden yang diusung maka hal itu akan berbanding lurus dengan biaya KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk menyelenggarakan sebuah Pemilu.

Kubu yang kontra berpendapat hal itu bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia karena disitu tertulis yang berhak menjadi presiden adalah calon yang memenuhi syarat suara 50 persen plus satu.  Tentu hal ini akan menguras energi publik jika tidak segera ditemukan jalan tengahnya.

Apa itu Presidential Threshold?

Presidential Threshold singkatnya adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Misalnya pada pemilu 2019, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh koalisi partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 20% suara sah nasional.

Secara Konstitusi Pemilu diatur di Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945. Adapun ambang batas pencalonan presiden diatur di Pasal 222 Undang-Undang No.5 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dimana ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya (Pemilu Serentak).

Pada sejarahnya sebelum diberlakukan pasal 222 UU No.5 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. Ambang batas pencalonan presiden diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.Lebih tepatnya pembatasan tersebut dirumuskan dalam Bab II tentang Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya pada Pasal 5 ayat (4). Namun hal itu tidak berlaku lagi.

Dalam sejarahnya Presidential Threshold selalu bertambah seiring berkembangnya zaman. Dari 5% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. Sampai saat ini 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam pemilu legislatif.

Sudahkah Presidential Threshold Konstitusional?

Pernah terjadi Judicial Review terhadap Pasal 222 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu serentak di tahun 2019 dan seterusnya. Hal ini termasuk penggunaan Threshold yang dinyatakan konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017. Dalam putusan tersebut MK menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.

Dengan ditetapkan Putusan MK tersebut maka secara teori Presidential Threshold dianggap konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Namun dalam putusan tersebut terdapat dua hakim Mahkamah Konstitusi. Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Menurut saya MK seharusnya melakukan peran konstitusionalnya mengoreksi atau melakukan review Terhadap substansi Undang-Undang dasar 1945. Muncul semangat untuk menyederhanakan partai politik atau lebih memberikan prioritas terhadap hak konstitusional dari partai politik.

Wacana Presidential Threshold di Pemilu 2024

Akhir-akhir ini kita mendengar beberapa wacana akan pengurangan Presidential Threshold, bahkan Fadil Zon seorang politisi partai Gerindra mengatakan dikutip dari Tribun News bahwa seharusnya Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan itu diubah menjadi nol persen. Fadli memberikan analogi bahwa Presidential Threshold tetap 20% dikhawatirkan terjadi polarisasi masyarakat yang sangat tajam. Mengingat hanya 2 calon presiden dan wakil presiden.

Bukanlah hal aneh ketika kita mendengar wacana yang cukup menggemparkan, bahkan ketika 2019 beberapa orang bahkan melayangkan Judicial Review terhadap pemberlakuan ambang batas presiden yang dinilai tidak Konstitusional atau bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

Perdebatan akan ambang batas pencalonan presiden tidak akan selesai jika tidak diberi jalan tengah oleh para ahli. Mungkin salah satu pendapat yang menurut saya sangat relevan adalah pendapat peneliti LIPI Nurhasim yang menyatakan perlunya diturunkan Presidential threshold untuk 2024. Dari 20% total suara di DPR atau 25% suara sah dalam pemilu nasional menjadi 10 % jumlah kursi DPR atau 15% Persen total suara sah Nasional.

Pilihan ditiadakannya ambang batas pencalonan presiden atau nol persen threshold menurut saya juga kurang tepat mengingat jika itu terjadi memungkinkan ada 10 calon bahkan lebih. Serta hal ini menyebabkan fragmentasi politik yang sangat tinggi dan menyebabkan ketidakstabilan politik di republik ini. Serta memerlukan energi yang lebih besar dalam pelaksanaannya.

Bukan sampai situ saja menurut saya ambang batas pencalonan harus dibarengi dengan batas maksimal pencalonan. Atau lebih mudahnya adalah pembatasan koalisi agar tidak muncul calon tunggal presiden. Karena hal ini akan berdampak buruk bagi kualitas demokrasi kita.

Kenapa Threshold Harus Diturunkan?

Pertanyaan ini muncul ketika saya membaca sebuah artikel tentang Presidential Threshold dan melihat diskusi-diskusi di televisi nasional. Menurut saya pertanyaan ini harus bisa dijawab dengan tepat dan relevan. Karena mengingat pada dasarnya Pemilu adalah sarana dalam menjaga eksistensi kedaulatan rakyat. Jika pemilu rusak maka kedaulatan rakyat ikut cacat.

Terlepas dari pro-kontra akan ambang batas pencalonan capres, Presidential Threshold menurut saya perlu untuk diturunkan karena dengan diturunkannya threshold atau ambang batas pencalonan maka akan ada lebih besar peluang partisipasi warga negara dalam mencalonkan diri sebagai Presiden. Hal ini akan berdampak pada kualitas demokrasi kita yang lebih memberi ruang pada orang-orang baru dan berkompeten untuk memimpin bangsa ini.

Dengan tingginya Presidential Threshold menurut saya berkemungkinan menyebabkan sempitnya ruang partisipasi, dan berkemungkinan untuk munculnya calon tunggal. Tentu hal ini sangat tidak diharapkan oleh publik.

Terlepas dari itu semua pengurangan ambang batas dari 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional menjadi 10% Kursi DPR atau 15% suara sah pemilu legislatif. Hal tersebut bukanlah akhir dari semua ini, namun pelaksanaannya. Maksudnya adalah dengan diturunkannya semoga bangsa ini bisa menemukan sosok pemimpin yang merepresentasikan rakyatnya, yang berpihak pada kepentingan bersama bukan kepentingan sekelompok para elit atau bahkan kepentingan golongannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun