Dengan tangan bergemetar, aku angkat teleponnya. "Selamat pagi, dengan Ibu Maria?" sapa wanita dibalik telepon tersebut. Kujawab dengan terbata-bata, "Pagi Mba, saya dengan anaknya." Dia membalas, "Oh ya sudah, kami hanya ingin mengingatkan akan janji temu ke-9 Ibu dengan psikiater kami pada pukul 8 pagi. Mohon hadir tepat waktu ya Bu." Aku bingung, apa yang terjadi selama ini? Apa Ibu pergi ke psikiater tanpa memberitahu kami akan kondisi beliau? Mengapa pertemuannya sudah sampai ke-9 kali?
Suster di telepon menjelaskan semuanya kepadaku. Sejak tiga tahun lalu, Ibu rutin pergi ke psikolog untuk melepaskan pikirannya. Hanya saja, 5 bulan terakhir kondisinya makin parah dan membutuhkan medikasi dari psikiater. Ini semua menjelaskan obat-obat yang terdapat di dalam laci mejanya. Aku tersuntuk, terjatuh duduk di lantai, menutupi muka sambil tak kuasa meneteskan air mata.Â
Mengapa Ibu menyembunyikan ini semua dari kami? Mengapa aku sebagai anak tertua tidak bertanya terkait kondisi Beliau lebih dahulu? Penyesalanku tidak terhenti-henti dan pikiranku hanya terkait dengan Ibu. Aku memberitahu Adik tentang ini, dia juga tidak dapat menahan rasa sedih dan penyesalannya. Kami bingung, apa yang harus dilakukan sekarang? Apa Ibu masih baik-baik saja?
Suara pintu terketuk, Ibu pulang. Aku dan Damar berlari menghampiri dan memeluk Ibu. Dengan mata lesuhnya, beliau kaget akan apa yang terjadi. Kami meminta maaf akan semuanya. Ibu tetap tenang, hingga menangis pula menyadari apa yang sedang terjadi. Beliau menceritakan semua yang terjadi. "Ibu rindu Ayah, Nak. Rindu, sangat rindu," kata Ibu sambil menangis. Semua pertanyaanku tentang mengapa Ibu selalu murung akhirnya terjawab, memang harusnya tahun ini ulang tahun pernikahan Ayah dan Ibu yang ke-15. Tetapi, sejak 9 tahun yang lalu tidak bisa dirayakan secara langsung, cinta mereka hanya terikat dengan doa.
"Ibu ingat ini kan Bu? Liontin pemberian ayah ke Vina. Ini jadi bukti bahwa Ayah akan selalu ada di samping kita Bu," kataku sambil membawakannya ke Ibu. Ibu memeluknya, "Ini merupakan liontin sebagai hadiah ulang tahun yang Ayah berikan ke Ibu saat kami masih menjalin kasih, Vin. Ini sangat istimewa bagi kami berdua, jaga baik-baik ya. Terima kasih kalian sudah peduli dengan Ibu, maaf kalian harus mengetahuinya seperti ini." Kami bercerita sepenuhnya akan apa yang kami rasakan selama ini, saat itu aku merasakan kembalinya kehangatan keluarga yang aku rindukan sejak berbulan-bulan lalu.
Layaknya Ibu, aku berusaha tegar. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah selalu ingat. Ingat untuk memerhatikan keluarga, merekalah pendukung pertamaku dalam melakukan hal apapun. Mereka yang ada di baris terdepan saat aku mencapai atau gagal dalam mencapai sesuatu. Mereka tempat aku berasal dan tempat aku akan selalu pulang.Â
Apa yang mereka rasakan sebenarnya memang bisa jadi dipendam dalam hati, wajah yang selalu ceria di depan anak-anaknya tidak berarti kondisi orang tua baik. Beri perhatian pada mereka apabila sedang dalam kondisi yang kurang baik. Jangan lupa untuk selalu menyayangi dan mendoakan mereka, karena tanpa mereka kita bukan apa-apa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI