Mohon tunggu...
M. Faiz Satrio Pradiansyah
M. Faiz Satrio Pradiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMAN 28 Jakarta, Mahasiswa Mikrobiologi ITB

Prodi Mikrobiologi NIM 10422002

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cerpen: Hal yang Dipendam di Balik Ketegaran Seorang Ibu

1 Desember 2020   19:51 Diperbarui: 1 Desember 2020   20:03 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Maria Rosanti, wanita tercantik yang pernah kutemui. Tidak cukup kata sifat yang dapat mendeskripsikan dirinya. Ibu dari dua orang anak, yang beliau besarkan secara susah payah. Elegan parasnya, tegas sifatnya, dan bijak pendiriannya. 

Ya, itulah Ibu. Yang selalu aku kagumi. Bayangkan saja, bliau harus menyelesaikan semua pekerjaan baik di kantor maupun di rumah. Lebih dari itu, beliaulah guru di rumah yang tetap harus memastikan bahwa makanan sehat dan bergizi selalu ada untuk anaknya di meja. Tahun ini beliau akan menjadi wanita berkepala empat, tidak sabar aku untuk memberikan vinil antik berisi lagu penyanyi 70-an yang beliau idolakan.

Perkenalkan aku Levina Jayabaya, tinggal serumah dengan sosok idola nomor satuku yang kupanggil Ibu dan adik kecil laki-lakiku, Adamar Hadiwarman. Ayah kami merupakan seorang sejarawan yang jatuh cinta selain dengan Ibu, juga dengan sejarah di Indonesia. Itulah asal nama belakang kami. Ayah pergi dari dunia untuk selamanya saat aku berumur 6 tahun dan adik berumur 4 tahun. Sejak saat itu, Ibu berusaha tegar namun tidak dapat dipungkiri bahwa seiring waktu berjalan Ibu tetap mengingat kejadian perginya Ayah. Kami setiap pekan selalu mengunjungi makam Ayah untuk didoakan. 

Bagiku, Ayah merupakan cinta pertama. Belajar jalan, naik sepeda, hingga menanam tanaman yang merupakan Ayah akan selalu menjadi memori yang selalu terjaga di lubuk hatiku. Satu peninggalan yang Ayah berikan kepadaku, liontin antik berharga yang selalu aku jaga. Setiap melihat dan memakainya rasa rinduku pada beliau berkurang. Memang terdengar sepele, tapi ini barang yang akan aku selamatkan pertama kali jika rumah kami terkena bancana.

Rumah kami sederhana namun terkesan modern. Banyak sekali barang-barang kesukaan ayah yang antik, dipadukan dengan selera modern ala seorang wanita desainer interior seperti Ibuku. Hal-hal ini mengingatkanku pada Ayah. Sama seperti Ibu, beliau juga merupakan lelaki yang tegas namun penyayang pada keluarganya. Beliau selalu bersedia untuk maju di paling depan untuk keperluan anak-anak dan istri tercinta. Sungguh, tidak ada idola yang lebih tepat aku idolakan dari kedua orang tuaku sendiri. Selalu kuusahakan untuk membuat Ibu yang terus berjuang hingga sekarang bangga, serta Ayah yang kuyakin akan kutemui lagi di surga nanti bersama.

"Yuk Damar, bunganya ditaburkan," perintah Ibu ke Damar. Langkah kaki kami menjauhi makam Ayahku. Sepertinya sudah biasa kami melakukan ini, toh sudah rutin pula tiap minggunya berziarah ke makam Ayah. Tetapi, saat itu Ibu meneteskan air matanya. Pertama kali aku lihat beliau bersedih setelah pulang dari makam Ayah. Biasanya kami merasakan duka di makam lalu berusaha untuk tetap tegar dan yakin bahwa Ayah sudah ada di tempat yang terbaik di sisi Tuhan. 

"Ada apa Ibu? Kok menangis," tanyaku pada Ibu. Ibu menjawab, "Tidak apa-apa Vin, hanya saja besok hari ulang tahun pernikahan Ayah dan Ibu." Aku membalas, "Oh begitu Bu, ya sudah ayo kita segera pulang saja." Kami pulang ke rumah dengan perasaan sendu.  Sebenarnya, aku ingin bertanya sesuatu pada Ibu, tapi kupikir ini bukan saat yang tepat.

"Kak, Kakak menyadari tidak Ibu sering pulang malam akhir-akhir ini?" tanya Damar padaku. "Iya Mar, paling kerjaan Ibu sedang banyak. Atau mungkin Ibu sedang kangen sama Ayah. Biarkanlah Ibu sendiri dulu sekarang," jawabku tanpa berpikir hal lain. Tetapi dalam hatiku sebenarnya aku juga khawatir dengan kondisi Ibu. Sejak Mba Putri kerja di rumah, Ibu jadi jarang memasak. Lebih lagi, Ibu selalu kerja lembur, lalu berdiam diri di kamar tanpa menyapa aku dan Damar terlebih dahulu. Perilaku Ibu memang tidak seperti biasanya, akhir-akhir ini makin murung juga. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku tidak ingin membuat Ibu lebih sedih dengan apa yang aku lakukan.

Malam demi malam berlalu, Ibu masih terus murung. Aku kangen bercanda tawa dengan Ibu. "Tuhan, tolong beri Ibu kekuatan melewati apapun yang sedang beliau lewati. Aku ingin melihat Ibu bahagia lagi, berkumpul bersama kami," pintaku pada tuhan. Setiap malam aku akhiri dengan doa agar Ibu dapat kembali bahagia lagi. Esoknya hari Sabtu, senangnya aku libur sekolah sejenak. 

"Non, Ibu tadi titip pesan sama Mba, ada kerjaan dulu jadi beliau pergi pagi-pagi, katanya kalau mau makan apa bilang saja ya sama Mba," kata Mba padaku. "Loh, kok Ibu pergi begitu saja, ya sudah Mba, masak apa saja pasti aku makan," jawabku. Hari itu benar-benar aneh, Ibu tidak pernah pergi tanpa memberitahu malam sebelumnya, lagipula ini hari Sabtu memang ada kerjaan apa Ibu.

Telepon terdengar berdering dari dalam laci di kamar Ibu, Ibuku meninggalkan ponselnya. Aku merasa tidak enak untuk mengangkatnya, tetapi juga merasa bahwa bisa jadi ini telepon penting. Kubuka laci kamar Ibu, terkejut aku melihat isinya. Berbagai obat-obatan ada di dalamnya. Aku tidak mengerti, untuk apa ini semua? Apa Ibu sedang sakit? Atau bahkan, apa Ibu menggunakan obat terlarang? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun