Mohon tunggu...
Faiz Manshur
Faiz Manshur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Jika kamu tak tentram dengan angan-angan, sikap realistis menyediakanmu untuk bahagia.\r\nhttp://faizmanshur.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tafsir Simbolis Islam-Jawa

12 April 2010   17:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak cara menafsir kebudayaan. Seorang Antropolog Amerika, Clifford Geertz pernah menggulirkan teori tafsir melalui simbol kebudayaan. Tafsir yang dikenal dengan istilah ‘thick description” ini mampu mendalami sesuatu kebudayaan secara efektif.

Tafsir simbolik ini akan saya gunakan untuk melihat bagaimana tiga tokoh di Tanah Jawa yang nantinya akan saya tafsirkan sebagai simbol dari tiga kelompok masyarakat.  Tujuan penafsiran ini penting untuk melihat bagaimana corak pemikiran politik dan budaya (termasuk mentalitas) masyarakat, terutama para priyayi yang berada di jajaran pemerintahan Pemerintahan Daerah.

Ada empat sosok yang sangat menarik kita tafsirkan di sini, yakni Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar dan Sunan Drajat yang pernah mewarnai perjalanan sejarah tanah Jawa di peralihan Abad 15-16 Masehi.

Kudus Vs Kalijaga

Ja Tik Su, demikian nama asli dari Ja’far Sadiq. Sosok yang popular dengan sebutan Sunan Kudus ini memainkan peranan politik yang cukup kuat di istana Demak. Ia menjabat kadi, semacam menteri kehakiman bagi kerajaan.

Jabatan formal ini sebenarnya terbatas pada urusan keagamaan, tetapi Kudus sering terlibat jauh campur tangan politik. Pandangan hidupnya sangat bergantung pada politik-kekuasaan. Ia merasa bahwa perubahan di masyarakat harus diwujudkan melalui struktur kekuasaan. Nalar politisnya yang kuat membuat dirinya harus terus mengejar kekuasaan.

Bagi yang tidak sepakat dengan kebijakannya akan dianggap sebagai pembangkang dan dengan kekuasaannya pula ia akan menaklukkan. Ketika Raja Pengging (di Kawasan Boyolali sekarang) tak mau tunduk dengan kekuasaan Demak, Kudus murka  meminta Raden Fatah agar menyetujui agresi. Pengging dibunuh karena tak sepakat dengan Demak. Karena Demak Islam, pengging yang tak sepakat otomatis kafir karena itu halal darahnya.

Begitu pula dengan Jenar, sekalipun pada massa itu popularitas Jenar sebagai ulama sudah meluas tetap saja Jenar dianggap tidak sejalan dengan Islam. Alasan yang dipakai karena menyebarkan ajaran sesat, tetapi catatan sejarah membuktikan Jenar tidak sepakat dengan Demak yang semakin mulai merajalela menaklukkan berbagai kawasan. Jauh sebelum dua kasus ini, Kudus sudah pernah memimpin penyerangan sisa-sisa kerajaan Hindu Majapahit antara tahun 1526-1527.

Berbeda dengan Kudus, Gan Si Cang atau yang dikenal Sunan Kalijaga adalah seorang agamawan barisan walisongo yang anti formalitas. Kalijaga yang juga menjabat sebagai penasehat Raden Fatah sangat toleran terhadap kebudayaan Jawa, sekalipun di dalam budaya Jawa kala itu masih kuat aroma Hindhu-Buddha. Kalijaga berpikir bahwa Islam adalah sesuatu yang substansial, bukan sesuatu yang harus diformalkan.

Pernah Kudus dan Kalijaga berdebat tentang penegakan syariat Islam di tata negara Kerajaan Demak. Kudus mengajukan argumen bahwa untuk menjadi Muslim sejati harus menjadi Islam Kaffah. Artinya semua aturan yang dilaksanakan oleh orang Islam harus serba Islam. Makan, minum, pakaian, politik, seni sampai urusan ranjang harus serba Islam. Dengan kata lain kalau makan harus seperti Nabi, pakaian, kendaraan juga harus seperti Nabi, termasuk urusan politik; harus dengan undang-undang Islam.

Kalijaga yang subtansialis menjawab, “tugas kita bukan mengarabkan orang jawa, tapi mengislamkannya,” ujarnya mendebat. Munculnya istilah Arab dan Islam ini mempertegas pandangan Kalijaga bahwa apa yang dipahami oleh Kudus adalah sesuatu yang simbolis, artinya lebih mengutamakan kaleng daripada isi.

Bagi Kalijaga, tak perlu semua harus serba Islam. Ketoprak misalnya, sekalipun bukan dari tradisi Islam tetapi bisa di-Islamkan dengan menyusupkan nilai-nilai ke-Islaman. Sementara bagi Kudus ketoprak dianggap kesenian non Islam dan harus diganti kesenian padang pasir.

Jenar

Di luar kedua sosok itu, kita mengenak Sitibrit, atau Lemah Abang dan yang lebih popular dikenal Syekh Siti Jenar 829 H/1348 C/1426 M. Berbeda dengan Ulama Walisongo yang berada di lingkar kekuasaan kerajaan Demak, Jenar adalah seorang agamawan yang berada di Kerajaan Pengging dan dekat dengan penguasanya, Ki Ageng (Kebo Kenanga) Pengging.

Kerajaan Pengging ini beradadi Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Boyolali sekarang.  Paham Islamnya tidak sesaklek Kudus, tak juga serupa paham Kalijaga. Bagi Jenar, Islam hanyalah sarana, karena itu tak perlu ada gerakan dakwah Islamisasi, apalagi syariatisasi, yang berarti Arabisasi. Saat Kebo Kenanga meminta nasehat tentang perbedaan Islam dengan Hindu dan Buddha, Jenar menjawab, “semua agama sama, sama-sama menyembah Tuhan yang esa, hanya saja tata cara peribadatannya yang berbeda.”

Jenar. Seorang intelektual berpaham eksistensialis dan progresif, selalu mencoba menerobos kebekuan untuk meraih kualitas hidup manusia.  Ajaran paling terkenal untuk mencapai kesejatian hidup ialah konsep “Kenyataan Tertinggi Manusia yang menyatu dengan Allah.” Seperti Sufi al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj ia sangat memuja kematian karena dengan begitu ruhnya lebih bebas menjadi bagian dari Tuhan. Ajaran penyatuan manusia dengan Tuhan ini sering disalah-artikan sebagai “manunggaling kawula lan gusti”. Bagi Jenar, manusia memiliki kewajiban menuju tuhan, bukan penyatuan antara Tuhan dengan Manusia sebagaimana yang dipahami aliran kejawen itu.

Jenar menempatkan Tuhan dalam nuraninya. Tuhan sebagai sentral yang tak boleh diganggu oleh unsur keduniawian, termasuk syariat.

Tafsir kekinian

Kudus adalah simbol manusia yang berpikir stagnan. Hanya karena ia seorang Islam, maka semuanya harus serba Islam dan setiap ketentuan sudah bersifat pasti. Kebudayaan atau adat istiadat dianggap sebagai objek yang harus ditaklukkan oleh subyek (manusia) dengan garis ideologi islamismenya. Semua harus berwajah Islam karena menurut ideologinya, setiap yang bukan islam adalah kafir.

Bahkan sesuai paham kaffah-nya, sesuatu yang menyerupai kafir bisa mengindikasikan kekafiran. Memang bahwa Kudus juga memahami Islam secara baik, dalam maupun luar. Tetapi dalam kerangka penyebaran ajaran hal ini tidak realistis dilakukan. Mereka yang tidak bisa sepenuhnya menyerap ide Islam secara baik hanya akan berkutat pada perubahan simbolis; gemar ganti baju tapi gak gemar mengubah pola pikir dan pelaku.

Kalijaga lebih kreatif dengan hanya mengambil intisari Islam dan membiarkan kebudayaan setempat sebagai sunnatullah. Ajaran Sunan Kalijaga ini nampaknya lebih menarik perhatian masyarakat karena sikap moderatnya, bahkan sampai sekarang di mana masyarakat Jawa mau menjadi muslim tanpa kehilangan adat istiadatnya.

Sementara ajaran Kudus hanya diterima oleh kalangan terbatas. Karakter politisnya bisa kita lihat pada masyarakat sekarang yang menginginkan formalisasi syariat Islam.

Ketika era reformasi 1998 lalu, banyak tokoh Islam yang pro penegakan syariat Islam secara formal melalui undang-undang negara, Piagam Jakarta, termasuk peraturan-peraturan daerah. Tetapi isu ini hanya menarik umat Islam yang lebih suka simbol ketimbang substansi.

Fakta membuktikan, partai-partai Islam dan ormas Islam tak laku jual. Perolehan suara Partai Islam dari tahun ke tahun semakin menyusut. Pandangan Islam ala Kudus ini memang terbukti semu. Di Indonesia gejala konservatif memaksa Ideologi Arab barangkali sudah tidak berkutik lagi. Partai-partai Islam tak pernah mampu melakukan formalisasi syariat. Alih-alih memperjuangkan syariat, para politisi dari partai Islam justru paling vulgar memperlihatkan perilaku munkarnya.

Terbukti partai-partai yang dulu getol formalisasi syariat Islam kini dituntut menggeser isu yang lebih populis.

Sementara Islam gaya Kalijaga yang kultural dan nasionalis lebih diminati masyarakat. Partai-partai pluralis dan nasionalis tetap lebih menarik perhatian ketimbang partai Syariat Islam. Fakta membuktikan, tidak semua orang Islam tertarik dengan ide “politik Islam.” Islam diterima, tetapi dengan catatan harus sejalan dengan kultur Jawa pedalaman yang moderat dan stagnan. Orang Jawa, terutama yang tinggal di pedalaman sangat takut terhadap perubahan cepat.

Sangat terlihat sekali bagimana dulu Islam yang dibawa oleh kaum pedagang dan berkembang di pesisiran yang berkarakter terbuka berubah menjadi Islam yang cupet ketika berada dalam kultur agraris pedalaman.

Bagaimana dengan Jenar?

Sebagai hamba Tuhan, bukan hambanya para Tuan atau hambanya setan, manusia punya tujuan ke satu arah yang pasti, yakni Ilahi. Sebagaimana diyakini semua pemeluk agama, Tuhan adalah tujuan paling ujung dari kehidupan.

Karena itu manusia harus mendedikasikan perjalanan hidupnya ke arah Tuhan sejak dini agar secepatnya meraih tujuan. Jenar adalah cermin manusia yang memiliki etos kerja hebat dan cepat untuk meraih tujuan. Ia adalah cermin dari kemajuan jaman. Teknologi dan sistem demokrasi barangkali adalah cermin dari simbolisasi jenar.

Sayangnya, karena tidak semua manusia memiliki kualitas sumberdaya yang memadai untuk berjalan di atas kemajuan yang cepat,  pandangannya tak selalu bisa diikuti setiap orang. Ini tercermin dari kenyataan penggunaan teknologi. Seharusnya dengan adanya teknologi persoalan kehidupan lebih mudah dan hemat, tetapi karena diberikan kepada orang-orang yang tidak kompeten teknologi justru sering menjadi masalah.

Demokrasi seharusnya menjadi sarana meraih kesejahteraan, tetapi karena aktor-aktor politiknya masih feodal dan tidak memahami substansi ajaran demokrasi yang terjadi justru menjadi anarki. Demokrasi yang memiliki pilar kontrol, pembagian kekuasaan dan partisipasi rakyat malah menjadi sarana korupsi dan bagi-bagi kekuasaan para elit.

Ketiga sosok tersebut tentu saja tidak boleh kita tafsirkan secara literal sebagai pribadi yang simbolis. Setiap orang tetap saja memiliki kompleksitas kepribadian. Kita yang hendak belajar dari masing-masing karakter kepribadian tersebut bisa menyerap masing-masing kelebihan dan kekurangan.

Drajat: Simbol Wirausahawan Sosial

Kudus cermin politisi formal yang konsevatif. Kalijaga cermin tokoh kultural yang membasis ke massa rakyat. Jenar cermin pribadi individualis yang progresif.  Bagaimana kita mencari cermin sosok manusia yang berjiwa sosial tinggi? Bukankah di tengah-tengah masyarakat kita juga selalu ada karakter manusia yang penuh perhatian terhadap kesejahteraan ekonomi dan spiritual?

Kalau ini pertanyaannya, maka Bong Tak Keng, Syarifudin alias Raden Kosim, atau yang dikenal luas Sunan Drajat adalah jawabannya. Anak Sunan Ampel ini sejak kecil sangat perhatian dengan gerakan sosial, khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan. Sekalipun karakter ini juga dimiliki oleh Kalijaga dan Jenar, tetapi dalam hal kepemimpinan membangun ekonomi kaum miskin Drajat memiliki strategi yang lebih jelas. Di Paciran Lamongan ia mendirikan pesantren yang sekarang dikenal sebagai Pondok Pesantren Sunan Drajat.

Pesantren ini sampai sekarang dikenal melahirkan wirausahawan-wirausahawan mandiri. Drajat punya pemikiran bahwa untuk mencapai harkat kehidupan yang baik seseorang harus memiliki kemandirian ekonomi. Agama bagi Drajat juga ditafsirkan sebagai jalan meraih kemandirian ekonomi.

Ia sangat terinspirasi oleh prinsip Nabi Muhamad bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan dibawah. Kemandirian ekonomi dalam pandangan Drajat bisa dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, etos kerja. Apapun pekerjaan seseorang jika ditekuni akan menghasilkan sesuatu yang baik. Kedua pembangunan manusia dengan jiwa sosial. Dalam pandangan Drajat manusia satu sama lain saling membutuhkan. Jika seseorang ingin meraih kesuksesan dalam usahanya maka harus memegang prinsip kerjasama secara baik. Ketiga, memberi adalah strategi investasi yang baik.

Atas jasa kreativitasnya membangun kegiatan wirausaha sosial, pada tahun 1520 ia mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Fatah, Raja Demak dan diberikan hadiah berupa tanah perdikan di Paciran.

Beberapa prinsip yang terkenal dari Drajat sangat terkenal dalam lirik teks berikut ini:

Menehono teken marang wong kang wuto/ Menehono mangan marang wong kang luwe/Menehono busono marang

wong kang wudo/Menehono ngiyup marang wong kang kudanan.

Terjemahan literalnya:

Berilah tongkat kepada orang buta/ berilah makan kepada orang lapar/ berilah pakaian pada orang yang tidak memiliki sandang. Berilah tempat pada orang yang sedang tertimpa hujan.

Terjemahan kontekstual:

Berbagilah ilmu-pengetahuan kepada mereka yang bodoh agar menjadi pandai. Sejahterakan kehidupan orang miskin agar tidak menjadi beban kehidupan masyarakat. Ajarilah kesusilaan pada orang yang amoral. Berikanlah perlindungan bagi orang yang menderita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun