Ketika era reformasi 1998 lalu, banyak tokoh Islam yang pro penegakan syariat Islam secara formal melalui undang-undang negara, Piagam Jakarta, termasuk peraturan-peraturan daerah. Tetapi isu ini hanya menarik umat Islam yang lebih suka simbol ketimbang substansi.
Fakta membuktikan, partai-partai Islam dan ormas Islam tak laku jual. Perolehan suara Partai Islam dari tahun ke tahun semakin menyusut. Pandangan Islam ala Kudus ini memang terbukti semu. Di Indonesia gejala konservatif memaksa Ideologi Arab barangkali sudah tidak berkutik lagi. Partai-partai Islam tak pernah mampu melakukan formalisasi syariat. Alih-alih memperjuangkan syariat, para politisi dari partai Islam justru paling vulgar memperlihatkan perilaku munkarnya.
Terbukti partai-partai yang dulu getol formalisasi syariat Islam kini dituntut menggeser isu yang lebih populis.
Sementara Islam gaya Kalijaga yang kultural dan nasionalis lebih diminati masyarakat. Partai-partai pluralis dan nasionalis tetap lebih menarik perhatian ketimbang partai Syariat Islam. Fakta membuktikan, tidak semua orang Islam tertarik dengan ide “politik Islam.” Islam diterima, tetapi dengan catatan harus sejalan dengan kultur Jawa pedalaman yang moderat dan stagnan. Orang Jawa, terutama yang tinggal di pedalaman sangat takut terhadap perubahan cepat.
Sangat terlihat sekali bagimana dulu Islam yang dibawa oleh kaum pedagang dan berkembang di pesisiran yang berkarakter terbuka berubah menjadi Islam yang cupet ketika berada dalam kultur agraris pedalaman.
Bagaimana dengan Jenar?
Sebagai hamba Tuhan, bukan hambanya para Tuan atau hambanya setan, manusia punya tujuan ke satu arah yang pasti, yakni Ilahi. Sebagaimana diyakini semua pemeluk agama, Tuhan adalah tujuan paling ujung dari kehidupan.
Karena itu manusia harus mendedikasikan perjalanan hidupnya ke arah Tuhan sejak dini agar secepatnya meraih tujuan. Jenar adalah cermin manusia yang memiliki etos kerja hebat dan cepat untuk meraih tujuan. Ia adalah cermin dari kemajuan jaman. Teknologi dan sistem demokrasi barangkali adalah cermin dari simbolisasi jenar.
Sayangnya, karena tidak semua manusia memiliki kualitas sumberdaya yang memadai untuk berjalan di atas kemajuan yang cepat, pandangannya tak selalu bisa diikuti setiap orang. Ini tercermin dari kenyataan penggunaan teknologi. Seharusnya dengan adanya teknologi persoalan kehidupan lebih mudah dan hemat, tetapi karena diberikan kepada orang-orang yang tidak kompeten teknologi justru sering menjadi masalah.
Demokrasi seharusnya menjadi sarana meraih kesejahteraan, tetapi karena aktor-aktor politiknya masih feodal dan tidak memahami substansi ajaran demokrasi yang terjadi justru menjadi anarki. Demokrasi yang memiliki pilar kontrol, pembagian kekuasaan dan partisipasi rakyat malah menjadi sarana korupsi dan bagi-bagi kekuasaan para elit.
Ketiga sosok tersebut tentu saja tidak boleh kita tafsirkan secara literal sebagai pribadi yang simbolis. Setiap orang tetap saja memiliki kompleksitas kepribadian. Kita yang hendak belajar dari masing-masing karakter kepribadian tersebut bisa menyerap masing-masing kelebihan dan kekurangan.