Mohon tunggu...
Faiz Aulia
Faiz Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa di Universitas Malikussaleh di jurusan teknik sipil, dan saya memiliki hobi bermain badminton dan otomotif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Implementasi Pilar Cinta Damai Kemalikussalehan: Dalam Kerusuhan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

8 Desember 2024   13:55 Diperbarui: 8 Desember 2024   13:55 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mata uang dirham zaman samudra Pasai (sumber:dok faiz) 

Kerajaan Samudra Pasai, juga dikenal sebagai Pasai, merupakan kerajaan Islam tertua di Nusantara.  Sejarahnya masih menyimpan beberapa misteri, karena sumber-sumber sejarah yang tersedia terbatas dan seringkali saling bertentangan.  Namun, berdasarkan berbagai sumber seperti catatan Marco Polo, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan beberapa prasasti, kita dapat merangkum beberapa poin penting:

Perkiraan berdirinya kerajaan ini bervariasi, antara abad ke-13 hingga awal abad ke-14.  Beberapa sumber menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malikussaleh sekitar tahun 1267 M. Masuknya agama terjadi melalui jalur perdagangan dan dakwah dari para ulama dan pedagang dari Gujarat, Persia, dan Arab.

Nissan peninggalan samudra Pasai (sumber:dok faiz) 
Nissan peninggalan samudra Pasai (sumber:dok faiz) 
Pada masa ini, Samudra Pasai mencapai puncak kejayaannya.  Letaknya yang strategis di jalur perdagangan rempah-rempah antara India dan Tiongkok membuatnya menjadi pusat perdagangan yang penting.  Kerajaan ini menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan berbagai kerajaan dan negara, termasuk Tiongkok (Dinasti Yuan dan Ming), India, dan beberapa kerajaan di Nusantara.  Catatan perjalanan Ibnu Battuta, seorang penjelajah Maroko, memberikan gambaran tentang kemakmuran dan kekuasaan Samudra Pasai pada masa ini.  Ia menggambarkan kota Pasai sebagai pelabuhan yang ramai dan kaya.

Nah disini penulis akan mengangkat tragedi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kerusuhan yang menyertainya merupakan babak penting dan kompleks dalam sejarah Indonesia.  Bukan sekadar kerusuhan, melainkan perang gerilya yang berlangsung selama hampir tiga dekade (1976-2005),  diwarnai oleh kekerasan dari kedua belah pihak dan meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Aceh.  Konsep "cinta damai" dalam konteks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan hal yang kompleks dan multi-interpretatif.  Tidak ada definisi tunggal yang diterima secara universal.  Perlu dibedakan antara tujuan politik GAM dan tindakan yang dilakukan selama konflik. 

Warga sedang memegang senjata (sumber:dok faiz) 
Warga sedang memegang senjata (sumber:dok faiz) 
GAM, pada awalnya, menuntut kemerdekaan Aceh.  Ini merupakan tujuan yang, secara inheren, melibatkan konflik dan kekerasan.  Namun,  seiring berjalannya waktu,  terutama setelah perundingan damai,  GAM menunjukkan keinginan untuk mencapai penyelesaian konflik melalui jalur damai.  Ini tercermin dalam negosiasi dengan pemerintah Indonesia dan penerimaan otonomi khusus Aceh.  Dalam konteks ini, "cinta damai" dapat diartikan sebagai komitmen untuk menyelesaikan konflik melalui dialog dan negosiasi, bukan melalui kekerasan. Selama konflik bersenjata,  

GAM melakukan tindakan kekerasan.  Ini merupakan realitas yang tidak dapat diabaikan.  Namun,  perlu dipertimbangkan konteksnya:  GAM berjuang melawan apa yang mereka anggap sebagai penindasan dan ketidakadilan.  Beberapa tindakan kekerasan mungkin dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan diri atau sebagai taktik untuk mencapai tujuan politik mereka.  Menilai tindakan kekerasan ini melalui lensa "cinta damai" modern akan menjadi reduksionis dan mengabaikan kompleksitas situasi. 

Proses perundingan damai yang menghasilkan MoU Helsinki (Memorandum of Understanding) pada tahun 2005 menandai titik balik signifikan. Baik GAM maupun pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan konflik melalui jalur damai. Ini merupakan manifestasi nyata dari "cinta damai" dalam konteks ini. Penerimaan otonomi khusus Aceh dan pemulangan para kombatan GAM merupakan bukti nyata dari upaya untuk membangun perdamaian.

Sekumpulan warga sedang bersorak (sumber:dok faiz) 
Sekumpulan warga sedang bersorak (sumber:dok faiz) 
Mengkaji "cinta damai" dalam sejarah GAM membutuhkan pemahaman yang nuansa.  Tujuan awal GAM untuk kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata jelas bertentangan dengan konsep cinta damai secara literal.  Namun,  evolusi GAM menuju negosiasi dan penerimaan otonomi khusus menunjukkan komitmen untuk mencapai perdamaian.  Oleh karena itu,  "cinta damai" dalam konteks GAM lebih tepat dipahami sebagai sebuah proses evolutif,  dimana komitmen untuk perdamaian muncul sebagai hasil dari negosiasi dan kompromi,  bukan sebagai karakteristik inheren sejak awal gerakan.  Penting untuk melihat keseluruhan sejarah, termasuk kekerasan yang terjadi,  untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan seimbang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun