Di era modern yang diprakarsai oleh kecepatan laju globalisasi dan teknologi ini, soft power adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk menyebarkan paham dan ideologi dari suatu kelompok, terutama negara. Penggunaan hard power yang mengedepankan kekuatan kasar dan paksaan tidak lagi diandalkan oleh suatu negeri dalam mengedarkan cara pandangnya.
Soft power sendiri menurut Joseph Nye (2008), merupakan sebuah kekuatan emosional yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain agar dapat memahami pemikiran pengirim. Dalam konteks negara, soft power biasanya digunakan secara terang-terangan untuk pertukaran budaya dan pembahasan humaniora. Namun, unsur vital lainnya seperti politik dan ekonomi juga dapat "diselipkan" di dalamnya. Penggunaan soft power oleh negara bukanlah sesuatu yang asing di abad ke-21. Implementasinya dapat dilihat masyarakat umum di berbagai kalangan. Salah satu negara yang secara aktif menggunakan soft power adalah Korea Selatan melalui industri hiburannya: K-Pop.
K-Pop merupakan kependekan dari Korean Pop yang berisikan lagu-lagu trendi dan populer. Istilah K-Pop dipopulerkan sejak dekade 90-an melalui agensi-agensi yang telah berdiri sejak generasi pertama, seperti SM dan YG. Saat ini, eksistensi K-Pop semakin melejit lewat kehadiran girl group dan boy group dengan berbagai variasi konsep. Nama-nama besar seperti BTS dan Blackpink sudah tidak asing lagi di telinga pendengar, bahkan beberapa dari orang awam pun yang aktif bersosial media mengenal mereka. Melalui K-Pop, suatu citra khusus terhadap Korea Selatan untuk publik internasional terbentuk tanpa disadari.
Berdasarkan informasi dari The Diplomat, gagasan umum yang hendak disebarkan Korea Selatan melalui K-Pop adalah ikatan emosional yang erat dan positif antara para idol dan penggemarnya, di mana K-Pop berperan sebagai inspirasi atau harapan. Oleh karena itu, meski skandal atau tuduhan yang—bahkan—melibatkan ranah politik menerpa para idol, K-Pop tetap berdiri tegak. Kekuatan soft power milik Korea Selatan ini telah terbukti keabsahannya di berbagai negara, salah satunya di Indonesia.
Di Indonesia, soft power melalui K-Pop memiliki dampak yang sangat signifikan, terutama di kalangan remaja dan dewasa awal. Efek yang paling terlihat secara gamblang adalah perubahan preferensi kaum milenial dan gen z. Secara tidak langsung, fans K-Pop yang tergabung dalam sebuah fandom telah menerapkan nilai budaya Korea Selatan dalam kesehariannya; memeragakan adab Korea (contoh: membungkuk untuk berterima kasih) dan menyesuaikan diri dengan kultur Korea ketika berinteraksi dengan sesama fans (contoh: menggunakan istilah Bahasa Korea). Di samping itu, pengadopsian visi para idola di kalangan penggemar juga mempengaruhi cara pandang penyuka K-Pop dan masyarakat umum terhadap mereka.
Bagi para penggemar, keinginan dan harapan milik para idolanya adalah hal yang sangat penting untuk dipahami dan diteladani. Jumlah fans yang aktif membela artis kesukaannya, baik secara daring maupun luring, dari hinaan para haters tidak sedikit.
Salah satu contoh nyata dari kekuatan soft power K-Pop dapat dilihat melalui kasus Safa, seorang hater dari member NCT DREAM: Jaemin dan Renjun (terutama Jaemin), yang dirudung oleh para solo stan (fans individual) kedua idol tersebut. Kasus ini terjadi di media sosial Twitter pada malam hari tanggal 18 Mei 2022. Akun Twitter Safa (@ljnmyboy) yang berisi ujaran kebencian terhadap Jaemin dan Renjun ditemukan oleh para penggemar sebelum menghilang tertera dalam tangkapan layar sebagai berikut.
Adu argumen tertulis kemudian bereskalasi menjadi adu argumen verbal melalui fitur space. Sayangnya, alih-alih menyadarkan Safa, diskusi tersebut justru berubah menjadi rudungan sepihak yang dilakukan oleh beberapa pihak berumur lebih tua.
Dilansir dari akun Ara's Wifey (@oolatte) sebagai salah satu saksi, benar adanya bahwa Safa menghina kedua anggota NCT DREAM, terutama Jaemin, hingga diperkarakan lewat space karena masalah pribadinya dengan salah satu mutual-nya (akun yang mem-follow akun pengguna dan di-followback olehnya):