2. Pelanggaran PrivasiÂ
Kebebasan berpendapat di Media sosial merupakan buah dari adanya perkembangan tekonologi yang sangat pesat, dimana memungkinkan setiap orang untuk melakukan pertukaran informasi  baik dengan sesama komunitasnya ataupun dengan orang lain  diluar komunitasnya. Dalam media sosial ataupun media digital secara umum, terdapat vitur yang sangat erat tujuannya untuk memberikan informasi dalam bentuk audiovisual, visual maupun tulisan.  Dalam sekejap, seseorang di belahan bumi selatan mampu mengakses berita dari orang yang beraktivitas di wilayah Utara, tanpa terkendala waktu dan tempat. Hal ini tentu menempatkan media sosial sebagai primadona untuk menemani aktivitas manusia modern sehari-hari.
Dibalik sejuta manfaat yang ditawarkan oleh media sosial, media ini nyatanya menaruh sejumlah masalah serius yang bisa merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, bila tidak diantisipasi dengan baik. Masalah itu diantaranya adalah pelanggaran Privasi.
Pelanggaran Privasi adalah kegiatan membeberkan informasi tanpa memperhatikan kode etik yang semestinya dalam bentuk melanggar privasi seseorang  atau kelompok yang bersifat merugikan,  dengan cara mempublikasikan dokumen elektronik berupa gambar, video, tulisan dan lainnya tanpa menggunakan sopan santun yang dianjurkan (Herawati, 2019). Pelanggaran privasi yang banyak terjadi dan diakibatkan oleh ketidakbijaksanaan dalam menggunakan media sosial, adalah voyeurism surveillance yaitu tindakan pengawasan terhadap privasi seseorang tanpa persetujuan orang tersebut dan menyebarkannya. Hal itu didasari karena fitur teknologi yang canggih sehingga memungkinkan penggunanya mengambil dan menyebarkan informasi dengan cepat (Terttiaavini & Saputra, 2022). Dengan kecanggihannya, media sosial menjadi alat yang bisa merekontruksi realitas sesuai dengan kepentingan masing-masing tanpa harus memikirkan dampak ataupun resiko yang ditimbulkan.
Untuk mengantisipasi maraknya pelanggaran privasi, pemerintah sendiri telah membuat beberapa aturan yang dapat menjadi acuan dalam penegakan hukum terkait pelanggaran model ini. Misalnya, terdapat pada pasal 72 sampai dengan pasal 75 dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi "suatu delik yang perkaranya baru dapat dituntut bila telah adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atas penuntutan tersebut. Tanpa adanya pengaduan, maka delik tersebut tidak dapat dituntut perkaranya".Â
Berdasarkan pasal tersebut, penghinaan dengan beragam bentuknya dapat dimasukkan kedalam delik aduan. Oleh karena itu, masyarakat  yang merasa dirugikan melalui penyebaran privasi melalui media sosial manapun, sejatinya berhak untuk melaporkan kepada petugas keamanan dengan mengacu kepada pasal tersebut. Â
Dengan adanya penguatan hukum yang dibuat oleh pemerintah, telah cukup menggambarkan bahwa cybercrime dan pelanggaran keamanan digital merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan penanganan dengan langkah-langkah yang komprehensif. Hal tersebut tidak lain, agar menciptakan kenyamanan bagi masayakat dalam menggunakan media sosial tanpa harus merasa khawatir privasinya tersebar secara luas.Â
3. Kebencian dan Ancaman Online (Online Threats)
Kebencian online mengacu pada segala bentuk perilaku online yang memfitnah, mendiskriminasi, atau menghasut kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, agama, etnis, gender, orientasi seksual, atau karakteristik lainnya. Â Hal ini dapat terjadi melalui komentar yang menghina, meme yang merendahakn, atau kampanye terorganisir untuk menyebarkan pesan kebencian.
Ancaman online adalah pernyataan atau tindakan yang dilakukan melalui media digital yang membahayakan nyawa, keselamatan, atau integritas seseorang. Ancaman tersebut mencakup ancaman fisik, seperti ancaman kekerasan atau pembunuhan, atau ancaman keamanan non-fisik, seperti ancaman pencemaran nama baik atau penyebaran informasi pribadi yang berbahaya.