Manusia  mulai memasuki era digitalisasi, dimana hal itu ditandai dengan penggunaan teknologi informasi yang cukup signifikan di semua aspek kegiatan sehari-hari. Secara perlahan kemampuan menggunakan teknologi informasi nampaknya sangat dibutuhkan, mengingat kebutuhan yang mendesak dan ditambah dorongan untuk  beradaptasi secara baik dan mengikuti  perkembangan zaman yang semakin canggih. Hal inilah yang menjadikan sebagian orang menilai bahwa era digitalisasi telah menciptakan dunia baru yang memberikan keluasan beraktivitas pada ruang virtual tanpa batas. Beberapa aktivitas yang langsung beradaptasi pada era digitalisasi diantaranya adalah bidang ekonomi, pendidikan, politik dan tidak terkecuali sosial budaya (Terttiaavini & Saputra, 2022).
       Media sosial, sebagai ruang nyaman bagi manusia modern untuk berekspresi, termasuk bidang yang mau tidak mau harus menerima pengaruh cukup signifikan dari adanya literasi digital. Dalam ruang siber, kebebasan berpendapat menawarkan platform yang luas bagi individu untuk menyampaikan gagasan dan pikiran mereka kepada audiens yang lebih luas cakupannya, tanpa batasan geografis dan waktu.  Bagi negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia, berekspresi di ruang siber mampu melahirkan implikasi penting yaitu kemampuannya untuk mempromosikan demokrasi dan ajakan untuk berpartisipasi dalam politik. Hal ini tentu menjadi gambaran sederhana dari sederet manfaat  yang ditawarkan  literasi digital bagi kehidupan manusia, demi memenuhi hajat hidupnya.
       Di sisi lain Literasi digital juga menimbulkan persoalan yang tidak kalah penting dibandingkan manfaat yang ditawarkannya. Hal itu tercermin melalui sejumlah tantangan yang harus dihadapi demi mempertahankan keutuhan kebebasan berpendapat sehingga tidak terbelenggu dan kembali ke era orde baru yang pernah dialami masyarakat Indonesia khususnya.  Tulisan ini akan mencoba menjabarkan beberapa tantangan dalam berpendapat di media sosial, sebagai dampak  literasi digital yang tengah terjadi.
1. Penyebaran HoaksÂ
Pendapat adalah hak asasi yang diakui dan dijunjung tinggi dalam sebuah masyarakat yang demokratis. Kebebasan berpendapat memberikan jaminan bagi setiap  individu untuk menyuarakan pikiran, keyakinan dan pandangan mereka tanpa khawatir terjerat hukum atau intimidasi. Namun dalam era digital yang semakin terhubung, penyebaran hoaks telah menjadi tantangan serius bagi kebebasan berpendapat.
Menurut Dian rahmawati, Hoaks didefiniskan sebagai informasi yang belum pasti dan tidak sesuai kenyataan. Hoaks sendiri tidak hanya sebatas pada satu bentuk saja, melainkan bisa menyentuh ranah media audio, media tulis bahkan perbuatan yang menyesatkan orang lain pun dapat dikategorikan sebuah hoaks. Hoaks berasal dari kata "Hocus Pocus" yang dilafalkan oleh para penyihir di masa lalu untuk menipu orang banyak(Rahmawati et al., 2023).
Penyebaran hoaks dalam konteks  Digital di Indonesia telah menjelma menjadi masalah yang cukup serius dimana dalam beberapa tahun belakangan, Indonesia telah menjadi salah satu negara dengan tingkat penyebaran hoaks yang tinggi melalui platform digital. Dalam pandangan sosiolog UGM, Derajad Widhyharto, tingkah laku masyarakat sangat berperan besar dalam penyebaran hoaks. Budaya komunikasi kita yang selama ini terbiasa kaku dan formal, menggerakkan masyarakat untuk mencari cara lain dalam membagikan informasi. Dampak ini semakin parah karena  masyarakat Indonesia sulit untuk menghidupkan kebiasaan literasi secara baik,  dan lebih senang mencari informasi melalui media sosial yang serba instan tanpa memverifikasi kebenaran informasi tersebut.Â
Dari sudut pandang yang lebih luas, hoaks dapat menggangu kepercayaan publik terhadap suatu informasi, mempengaruhi proses demokrasi dan bahkan mengancam stabilitas sosial. Bagi pemerintah sebagai pejabat yang mempunyai kewenangan dalam membuat kebijakan publik, hoaks bisa menimbulkan kedilemaan. Pada satu sisi ada kebutuhan untuk melindungi kebebasan pendapat dan menghindari sensor informasi bagi masayarakat. Namun di sisi yang lain penyebaran hoaks justru dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh sebab itu, perlu ada keseimbangan yang tepat dan terukur  antara menjaga kebebasan pendapat dan upaya untuk memberantas penyebaran hoaks (Syamsidar, S.Sos. et al., 2023).
Maka dari itu, untuk melawan penyebaran hoaks yang semakin massif diperlukan upaya yang terintegrasi secara baik dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pertama, pemerintah perlu mengajak dan mendorong literasi media dan Pendidikan informasi bagi masyarakat.  Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara memverifikasi informasi dan mengidentifikasi hoaks,  mereka mampu lebih kritis dalam mengkonsumsi informasi  secara online.  Kedua, platform media sosial dan pengembang teknologi harus berperan aktif dalam mengatasi penyebaran hoaks. Disini perlu adanya pengembangan sistem untuk mendeteksi penyebaran suatu informasi. Selain itu, pemerintah dapat bekerjasama dengan  perusahaan teknologi untuk menghapus hoaks yang beredar di tengah masyarakat. Ketiga, media dan jurnalis membawa peran penting untuk menekan penyebaran hoaks dimana mereka terus meningkatkan komitmen untuk menyediakan informasi yang akurat dan terpercaya dihadapan masyarakat. Dengan tersebarnya informasi yang bisa dipercaya, maka secara tidak langsung hal itu mampu meminimalisir tumbuhnya berita hoaks.
Tiga solusi diatas, sejatinya bukan menjadi satu-satunya solusi yang bisa dilakukan demi menghilangkan penyebaran hoaks di Indonesia. Tapi setidaknya, ini bisa menjadi alat bantu untuk memberikan perubahan yang cukup berarti, khususnya bagi dunia informasi di tanah air. Â