Pada tahun 1922, jumlah penduduk Yahudi di Palestina masih berkisar 11% dari keseluruhan warga Palestina. Jumlah mereka terus bertambah seiring eksodus yang tidak tertahankan di wilayah tersebut. Sampai akhir perang dunia II jumlah penduduk Yahudi yang menetap di Palestina telah menembus angka 600.000 jiwa atau hampir mendekati setengah dari jumlah warga Palestina kala itu yang berkisar 1,3 juta jiwa. Angka ini akan terus mengalami peningkatan, sejalan dengan ambisi besar zionis untuk memulangkan semua bangsa Yahudi ke tanah yang dijanjikan. (Tiar Anwar Bachtiar, Hamas Kenapa Dibenci Israel, 2008)
Kedatangan Yahudi di Palestina sebenarnya tidak sepi dari protes dan  penolakan masyarakat Arab-Palestina. Tidak sedikit protes yang dilancarkan oleh mereka menimbulkan ketegangan di wilayah kedaulatan Palestina. Bahkan pada tahun 1937 muncul pemberontakan Arab terhadap penguasa mandat Inggris. Pemberontakan ini membawa kerugian bagi pihak Palestina seiring keputusan Inggris untuk merubah kebijakan yang memperlonggar eksodus bangsa Yahudi dari berbagai belahan dunia, terutama Eropa, ke Palestina.Â
- Peranan PBB Yang Masih Belum Tegas
Tidak bisa dipungkiri, bahwa upaya yang telah ditempuh PBB untuk menciptakan perdamaian di Palestina selama ini adalah sesuatu yang harus diapresiasi. Sebagai  mahkamah Internasional, PBB mempunyai peran yang cukup strategis untuk menghentikan peperangan dan memberikan sanksi bagi anggotanya yang 'ngeyel' untuk mematuhi resolusi.
Sejumlah pakar bidang  Hukum Internasional menilai, Palestina sebagai sebagai negara berdaulat berhak menentukan nasibnya sendiri dan tinggal di tanah airnya. Apalagi Israel sebagai penjajah telah menampilkan sejumlah pelanggaran dimulai dari  genosida, pengusiran, pembantaian baik sebelum ataupun sesudah masa pendirian Israel. Namun, perkara di level mahkamah Internasional dalam memperjuangkan kedaulatan Palestina,  tidak akan mendatangkan angin segar selama PBB sebagai pemegang hak sengketa antar kedua negara belum bisa bertindak tegas. Dampaknya semakin parah ketika korban jiwa dari pihak sipil terus berjatuhan dan bantuan kemanusiaan sulit dilakukan.
KesimpulanÂ
       Sejak awal telah diduga bahwa resolusi apapun yang dikeluarkan oleh PBB sebagai mahkamah Internasional selalu dilanggar oleh pihak Israel dan sekutunya. Ini yang kemudian oleh beberapa faksi perlawanan di Palestina,  semisal Hamas dan sayap militernya, diterjemahkan bahwa perdamaian dengan Israel hanya bisa dilakukan dengan peperangan bukan perundingan.
Meskipun begitu, proses konsensus antara Palestina dan Israel  tetap menjadi bagian dari cita-cita masyarakat dunia yang terus dinantikan implementasinya. Dinamika konflik yang dialami bangsa Palestina, sudah terlalu lama membawa kesempitan, penindasan dan ketidakjelasan setiap harinya bagi masyarakat yang tidak bersalah. Arah kebijakan perdamaian yang dijanjikan oleh PBB semestinya bisa mengeluarkan mereka dari jurang penderitaan, bukan sebaliknya.  Sebab, sebagai negara yang merdeka, bangsa Palestina mempunyai hak seperti bangsa lainnya  untuk  hidup dan menentukan sendiri nasib mereka kedepannya.
Perlu adanya komitmen yang kuat dari negara-negara Islam (OKI), terutama negara-negara Arab untuk membantu penyelesaian konflik Palestina -- Israel. Dan perlu adanya juga  komitmen yang kuat antara Palestinan-Israel-Amerika dan negara-negara tetangga untuk menjaga setiap perjanjian yang sedang berlangsung dan menerapkan sanksi yang tegas kepada setiap pelanggaran butir-butir perjanjian yang telah disepakati.
Sumber Pustaka :
Tiar Anwar Bachtiar, 2008, Hamas Kenapa Dibenci Israel.
Mahmud Husein  & Saiful Ahmad, 2021, DINAMIKA KONFLIK DAN UPAYA KONSENSUS PALESTINA-ISRAE (Studi Kasus Perjanjian Perdamaian Oslo (Oslo Agreement) Tahun 1993, Jurnal Cakrawala Ilmiah